JANGAN SALAH KAPRAH MENGARTIKAN WAQAF

JANGAN SALAH KAPRAH MENGARTIKAN WAQAF
Share



Oleh: Nurzaitun, S.Pd.I

Ustazah TPQ Terpadu Ruhul Jadid MIN 6 Model Banda Aceh. 

Berbicara tentang waqaf, pasti terbayang di benak kita sepetak tanah yang telah diberikan oleh pihak tertentu kepada pihak yang diinginkannya. Betul, tidak salah. Tetapi harta waqaf itu bukan hanya sepetak tanah. 

Sebelum kita membahas lebih jauh tentang harta waqaf, siapa yang berhak menerima waqaf, apa saja rukun waqaf, dan apa saja syarat-syarat waqaf tersebut, terlebih dahulu disini kita bahas pengertian dari waqaf itu sendiri. Baiklah penulis akan menguraikan terlebih dahulu pengertian dari waqaf tersebut.

Berdasarkan wawancara penulis dengan Teungku Jufrizal,  Sekretaris Dayah Ulee Titi, Aceh Besar, pada sore hari pukul 15.30 WIB 9 November 2020. Menurut dia, dalam kitab Hasyiah Al-Bajuri dijelaskan, bahwa waqaf berasal dari bahasa Arab. Secara etimologi atau harfiah berarti menahan. Sedangkan waqaf menurut istilah syariat artinya menahan harta tertentu yang bisa diambil manfaat untuk tidak lagi dijual, dihadiahkan atau diwariskan dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Dari definisi di atas bisa kita simpulkan bahwa harta yang telah diberikan oleh seseorang kepada pihak tertentu berarti tidak bisa diganggu gugat lagi. Baik oleh yang memberi waqaf itu sendiri ataupun ahli warisnya. Karena tujuan waqaf adalah semata-mata hanyalah untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Setelah kita tahu pengertian waqaf itu apa, kemudian kita juga harus mengetahui rukun-rukun dari waqaf tersebut. Baiklah penulis akan menjabarkan rukun-rukun waqaf tersebut disini. Tentu juga dari hasil wawancara dengan Teungku Jufrizal tersebut.

Berdasarkan kitab Hasyiah Al-Mahalli rukun waqaf ada empat, yaitu: 1) Waqif (orang yang mewaqafkan), 2) Mauquf (barang yang diwaqafkan), 3) Mauquf ‘alaih (penerima waqaf), 4) Sighat (pernyataan waqaf).

Setelah kita mengetahui rukun-rukun waqaf, disini kita juga harus mengetahui syarat-syarat dan ketentuan dari orang yang mewaqafkan hartanya, barang yang diwaqafkan dalam bentuk apa, siapa saja yang berhak menerima waqaf, dan pernyataannya seperti apa. Penulis akan menguraikannya satu per satu berdasrkan kitab Hasyiah Al-Mahalli juga.

Syarat waqif (orang yang mewaqafkan) adalah sah pernyataannya dan punya wewenang memberi. Maka tidak sah waqaf seperti yang diberi oleh anak-anak yang belum baligh dan orang gila, karena tidak sah pernyataannya dan tidak punya wewenang.

Orang yang mewaqafkan harta harus milik sendiri. Jika harta orang lain, kemudian kita mewaqafkannya dengan nama kita, maka waqaf tersebut tidak sah. Karena tidak adanya wewenang dari kita untuk memberikannya. Begitu pula dengan pemberian waqaf oleh anak-anak, itu juga tidak sah dan tidak ada wewenang baginya untuk menyerahkan harta orangtuanya  kepada pihak lain. Terlebih lagi jikalau orang gila, yang sudah jelas-jelasnya tidak sehat lagi akal dan pikirannya, memberikan waqaf kepada pihak tertentu, maka waqaf tersebut tidak sah hukumnya.

Sedangkan syarat mauquf (barang yang diwaqafkan) adalah sesuatu yang manfaatnya berkekalan atau tahan lama. Maka tidak sah mewaqafkan seumpama makanan, karena manfaatnya hanya pada menyantapnya.

Berdasarkan penjelasan di atas, bisa penulis simpulkan bahwa barang yang diwaqafkan tersebut adalah barang yang tahan lama. Seperti: sepetak tanah yang bisa digarap dan diambil manfaatnya untuk kemaslahatan umat.

Jikalau seseorang mewaqafkan hartanya berupa sepetak tanah, dengan melafadzkan ‘tanah ini saya waqafkan untuk pembangunan meunasah A’. Kemudian meunasah A sudah ada. Nah, bagaimana ini? Tanah yang diwaqafkan tersebut, bisa kita ambil manfaatnya untuk renovasi meunasah A tersebut. Bukan dalam artian harus mendirikan meunasah A yang lain di tanah yang diwaqafkan tersebut.

Maksud mengambil manfaat disini adalah sebagai contoh, sepetak tanah persawahan yang diwaqafkan untuk meunasah A. Bisa digarap oleh seseorang dan hasil dari sawah tersebut digunakan untuk kemaslahatan meunasah A tersebut. Ataupun sepetak tanah yang diwaqafkan katakanlah berada di tempat yang strategis, bisa kita dirikan rumah sewa atau toko di atasnya. Kemudian hasil dari sewa rumah atau toko tersebut digunakan untuk kemaslahatan meunasah A tersebut. Mengambil manfaat hukumnya boleh. Tetapi tidak sah mewaqafkan barang yang tidak tahan lama. Seperti, sebungkus nasi goreng ataupun segelas juz, karena syarat mewaqafkan harta harus berupa barang yang tahan lama.

Syarat penerima waqaf (al-mauquf ‘alaih) berdasarkan klarifikasinya, orang yang menerima waqaf ada dua macam, yang pertama, tertentu (mu’ayyan) dan tidak tertentu (ghairu mu’ayyan).

Tertentu adalah orang yang telah jelas menerima waqaf itu, apakah seorang, dua orang, atau satu kumpulan yang semuanya tertentu dan tidak boleh diubah. Sedangkan yang tidak tertentu maksudnya tempat berwaaf itu tidak ditentukan secara terperinci. Contohnya  untuk orang faqir, miskin, tempat ibadah, dan lain-lain.

Persyaratan bagi orang yang menerima waqaf tertentu ini (al-mauquf mu’ayyan) yakni orang yang boleh memiliki harta (ahlan li al-tamlik). Maka orang muslim, merdeka, dan kafir zimmi yang memenuhi syarat ini boleh memiliki harta waqaf. Sementara itu orang bodoh, gila, dan hamba sahaya tidak sah menerima waqaf. Waqaf tidak diperkenankan untuk membangun atau mengambil manfaat untuk sesuatu yang dilarang oleh Allah SWT.

Syarat yang terakhir yaitu sighat (pernyataan waqaf). Harus sharih (tegas) seperti ucapan: ‘aku waqafkan tanah ini untuk Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh’ misalnya. Seandainya seseorang berkata: ‘aku sedekah ini’ walau diniatkan untuk waqaf sekalipun, maka tidak tercapai untuk waqaf karena ucapannya tidak jelas untuk waqaf.

Seandainya seseorang sudah mewaqafkan hartanya kepada pihak tertentu, kemudian anak atau ahli warisnya mengambil kembali harta yang sudah di waqafkan tersebut, maka anak atau wali tersebut telah melakukan dosa besar.


 

 

 

 

 

0 Response

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel