Teruslah Promosikan Wakaf

Teruslah Promosikan Wakaf
Share


Oleh: Nurzaitun, S.Pd.l.

Baitul Mal Aceh (BMA) bekerjasama dengan FEBI UIN Ar-Raniry mengadakan Webinar seri ke-4 dengan tema zakat dan wakaf melalu via zoom meeting,  25 November 2020 pukul 08.30 sampai dengan 11.30 WIB. Saya alhamdulillah bisa masuk ke dalam zoom meeting satu menit lebih dari jadwal yang tertera tersebut.

Saya akan memaparkan intisari Webinar tersebut. Webinar kali ini dipandu Jalaluddin, ST, MA. Memang banyak hikmah dari covid-19, salah satunya adalah melakukan Webinar melalui dunia maya, yang bisa menyatukan yang jauh dan yang dekat. Baik dari dalam negeri maupun luar negeri bisa hadir dalam satu layar komputer. Sungguh teknologi yang luar biasa.

Webinar seri ke-4 ini dibuka Ketua Badan BMA, Prof Nazaruddin A Wahid. Dia mengatakan,  Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahanh Aceh (UUPA) menetapkan Baitul Mal  sebagai lembaga tunggal untuk mengelola harta agama di Aceh. Yang jadi masalah saat ini adalah, zakat sebagai pengurang pajak belum dapat dilaksanakan sebagaimana ketentuan UUPA. Pajak dipotong 15 persen, sedangkan masih ada kewajiban zakat 2,5 persen. Karena disana dipotong disini dipotong, akhirnya masyarakat mengeluh. Problem yang lainnya adalah, zakat masuk ke dalam Kas Umum Daerah (sebagai PAD). Sementara zakat tidak ada batas waktu pencairannya.

Harta wakaf telah dilindungi oleh negara, ini berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf. Lalu, mengapa pengelolaan wakaf di Aceh tidak berjalan dengan baik? Karena masyarakat belum memahami wakaf secara sempurna.

Nara sumber pertama, Bobby Purman Manullang. Dia mengatakan,  wakaf sekarang cukup terkenal tapi belum dikenal dengan baik. Di era covid-19 ini terkenal dengan gerakan 3M, yaitu memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak. Begitu pula dengan wakaf di dalam masyarakat telah tertanam 3M pula, yaitu: Masjid, Makam, dan Madrasah. 

Selain itu,  tertanam dalam benak masyarakat bahwa wakaf adalah ibadahnya orang-orang kaya, dan butuh uang yang besar untuk mewakafkan sesuatu.  Padahal tidak demikian. Menurut Prof Nurul Huda, berwakaf itu mudah, berwakaf itu tidak harus dalam jumlah yang besar.

Bobby menambahkan, kita bisa belajar dari Aqua. Dulu Aqua tidak diterima dalam masyarakat, karena masyarakat terbiasa memasak air sebelum diminum. Aqua tidak menyerah begitu saja, tetap mempromosikannya. Akhirnya apa yang terjadi? 20 tahun kemudian ternyata masyarakat bisa menerima air minum dalam kemasan itu dan Aqua bisa mengajak lagi air minum dalam kemasan yang lainnya untuk ikut sukses bersama. 

Begitu juga dengan wakaf ini, kita harus terus mengajak masyarakat berwakaf.  Memang tak semudah membalikkan telapak tangan, tapi kita ajak mereka yang punya harta untuk terjun ke lapangan langsung menyaksikan apa saja yang telah dilakukan dengan harta wakaf yang dikelola dengan baik dengan baik. Misalnya, ada sepetak tanah wakaf yang telah didirikan rumah sakit wakaf, kemudian kita tunjukkan fasilitas-fasilitas yang tersedia. Baru menawarkan apa yang dapat diwakafkan. 

Dengan demikian, mereka tergerak hati untuk berwakaf. Karena harta yang mereka keluarkan bisa bermanfaat bagi orang banyak. Untuk pembiayaan operasional rumah sakit wakaf tersebut sebenarnya bisa saja diambil dari uang hasil pengelolaan rumah sakit tersebut. “Tetapi kalau uang diambil terus, maka akan dihabis. Di sinilah Baitul Mal berperan membantu operasional tersebut, seperti gaji dokter dan lain-lain,” kata Bobby mengakhiri presentasinya. 

Editor: smh

0 Response

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel