Anjuran Wakaf dalam Surah Ali Imran 92

Anjuran Wakaf dalam Surah Ali Imran 92
Share

Oleh: Husni A. Jali, MA

Sekretaris Prodi Hukum Tata Negara (Siyasah) Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry

Salah satu aspek hukum Islam yang menjadi perhatian ahli tafsir dan fuqaha adalah wakaf. Ketika bicara wakaf, maka yang menjadi pembicaraan utama adalah tentang landasan hukum pensyariatannya, baik dari al-Qur’an maupun hadis. Setelah tuntas pembicaraan mengenai dalil pensyariatannya baru kemudian diskusi diarahkan tentang tata cara pelaksanaanya.

Pada tulisan kali ini, saya mencoba menyoroti wakaf dari sudut pensyariatannya dalam al-Qur’an, adakah perintah tegas atau lafal tegas dalam al-Qur’an yang dalam bahasa ushul fiqh sering diistilahkan dengan qath’i dilalah atau berdasarkan dhanni dilalah. 

Ketika mengulas wakaf, maka biasanya para ulama mendasarkannya pensyariatan ibadah tersebut pada al-Qur’an surah al-Hajj ayat 77, al-Baqarah ayat 267 dan surah Ali Imran ayat 92. Pada kesempatan ini saya hanya akan melihat bagaimana surah Ali Imran ayat 92 bicara wakaf, karena ayat tersebut lebih sering digunakan oleh fuqaha sebagai dalil wakaf.

Bunyi surah Ali Imran ayat 92 yang artinya: Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.

Sorotan saya terhadap ayat di atas adalah bagaimana kemudian ulama tafsir mengulas makna dari lafal al-bir dan tunfiqu karena dari dua lafal itulah kemudian lahir pemahaman dari ulama tafsir dan ulama fikih tentang pensyariatan wakaf.

Secara kasat mata kita melihat pada ayat di atas tidak ada satupun lafal wakaf, oleh karenanya sangat penting bagi umat untuk mengetahui apa argumen yang dibangun, sehingga  kemudian ulama mendasarkan pensyariatan wakaf salah satunya kepada ayat di atas.

Para ulama tafsir memberikan penafsiran yang bermacam-macam terhadap lafal al-bir. Al-Qurthubi menafsirkannya dengan surga dan amal shaleh, Ibnu Katsir memberikan penafsiran surga, Wahbah Zuhaili menafsirkan surga, amal shaleh dan ketaatan, Hamka menafsirkan hidup atau jiwa yang baik dan M Quraisy Shihab menafsirkan dengan keluasan dalam kebaikan.

Sedangkan lafal tunfaqu juga dipahami berbeda oleh para ulama tafsir. Al-Qurthubi dan Wahbah Az-Zuhaili menafsirkan sebagai sedekah wajib yaitu zakat yang fardhu, sedangkan menurut Mujahid dan al-Kalbi ayat tersebut dinyatakan mansukh (terhapus) oleh ayat tentang zakat. Dalam kitab Fathul Baari disebutkan bahwa maksud nafkah pada firman Allah SWT hatta tunfaqu adalah lebih umum, tidak sekedar mencakup sedekah wajib atau sedekah sunnah saja.

Perbedaan pendapat ulama di atas sangat dapat dipahami karena lafal di atas adalah termasuk katagori dhanni dilalah. Dhanni dilalah adalah lafal yang menunjukkan kepada banyak  makna, sehingga semua ayat yang dhanni dilalah  menjadi objek ijtihad para ulama. 

Jadi, lafal al-bir dan tunfaqu adalah lafal yang dhanni dilalah, oleh karenanya para ulama mencoba melakukan usaha sungguh-sungguh untuk menggali maksud dari dua lafal itu yang dalam dalam ilmu ushul fiqh dinamakan sebagai ijtihad.

Kembali pada tafsiran dua lafal tadi, al-bir dapat ditafsirkan dengan surga, amal shaleh, ketaatan dan segala kebaikan, sedangkan tunfaqu dapat diartikan sedekah wajib dan juga sedekah sunnah, maka salah satu sedekah sunnah yang sangat dianjurkan dalam Islam adalah wakaf.

Maka, maksud surah Ali Imran ayat 92 adalah, “Sekali-kali kalian tidak akan mendapatkan surga atau ketaatan kepada Allah SWT atau kebaikan sebelum kalian bersedekah/berwakaf dari harta yang paling kalian cintai”.

Untuk dapat memahami maksud ayat di atas, maka kita perlu meneropong jauh ke belakang tentang bagaimana kemudian respon para sahabat kala itu ketika turunnya surah Ali Imram ayat 92. 

Ayat di atas menjadi inspirasi yang memompa semangat beribadah para sahabat. Para sahabat meresponnya dengan suka cita, karena mereka ingin meraih ridha Allah dalam setiap derap langkahnya.

Satu cerita adalah kisah Abu Thalhah, seorang sahabat dari kalangan Anshar Madinah. Beliau mempunyai harta yang sangat dicintainya yaitu kebun Bairaha’. Ketika turunnya surat Ali Imran, Abu Thalhah seakan tidak sabar ingin segera berjumpa dengan Rasulullah saw. Ketika berjumpa dengan Rasulullah, Abu Thalhah menyampaikan maksud dan perasaan imannya untuk menyedekahkan tanah di  Bairaha’ yang sangat dicintainya. Ketika mendengar tujuan dari Abu Thalhah, Rasulullah menyambutnya dengan positif dan beliau menyarankan supaya harta itu dapat disedekahkan kepada kerabatnya, lalu Abu Thalhah menyahuti saran produktif dari Rasulullah saw. 

Menurut Sayyid Sabiq, praktik Abu Thalhah yang menyedekahkan hartanya di Bairaha’ adalah permulaan dimulainya wakaf ahli atau wakaf keluarga.

Ada kisah lain yang juga sangat inspiratif yaitu kisah Zaid bin Haritsah setelah mengetahui turunnya surah Ali Imran ayat 92. Zaid bin Haritsah langsung datang kepada Nabi saw dengan membawa kuda tunggangannya yang sangat dicintainya yang diberi nama “Subul”, berkata ia kepada Nabi saw, aku ingin mengamalkan ayat itu ya Rasulullah! Inilah kuda tungganganku yang seperti engkau tahu sangat aku cintai, terimalah ia sebagai sedekahku dan sudilah  Rasulullah saw memberikannya kepada yang patut menerimanya.

Selain itu banyak para sahabat lain juga menginfakkan hartanya di jalan Allah Swt setelah turunnya ayat tersebut, diantaranya adalah Ibnu Umar melakukan infak dengan memerdekakan Nafi’ yang merupakan budaknya. Sedangkan Abdullah bin Ja’far  memberikan uang sebanyak seribu dinar untuk diinfakkan.

Ada satu lagi respon sahabat yang dapat menjadi motivasi bagi kita semua untuk berwakaf yaitu paktik Umar bin Khattab setelah turunnya surah Ali Imran ayat 92. Umar bin Khattab mempunyai tanah di Khaibar yang sangat ia cintai, maka begitu mendengar surah Ali Imran ayat 92, beliau bergegas menjumpai Rasulullah saw dan meminta petunjuk kepada Rasulullah saw tentang tanah di Khaibar itu, lalu  Rasulullah bersabda: 

“Jika kamu mau tahanlah pokoknya dan bersedekahlah dengannya.” Kemudian Umar bin Khattab meresponnya dengan menyedekahkan/mewakafkan tanah itu dengan tidak menjual, mewariskan dan menghibahkan kepada siapapun.

Para ulama sepakat bahwa praktik Umar bin Khattab yang menahan tanahnya di Khaibar dan menyedekahkan hasilnya merupakan praktik ibadah wakaf. Para ulama mengatakan, lafal habasa mempunyai arti waqafa.

Jadi, surah Ali Imran ayat 92 sejatinya bukanlah secara khusus bicara perintah berwakaf, tapi bicara perintah melaksanakan sedekah wajib dan sunnah, maka salah satu sedekah sunnah yang sangat dianjurkan adalah wakaf. Hal ini dapat dipahami dari beberapa respon sahabat yang melaksanakan berbagai amal kebaikan. Amal-amal kebaikan tersebut dipahami oleh ulama sebagai ibadah wakaf. Jadi surah Ali Imran ayat 92 adalah anjuran melaksanakan ibadah wakaf. 

Editor: smh

0 Response

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel