Blang Padang Tanah Wakaf Masjid Raya

Blang Padang Tanah Wakaf Masjid Raya
Share

Oleh Murizal Hamzah 
Jurnalis Gema Baiturrahman

Penetapan Darurat Militer pada 19 Mei 2003 mengiring rakyat Aceh pada koridor-koridor ketakutan dan lemah. Perasaan was-was dan curigai memuncak. Tak pelak, warga yang bicara pelan-pelan pada malam hari di kedai kopi, esoknya dia ditemukan meninggal dunia dengan bekas tembakan atau siksaan. Kala itu, pemilik kekuasaan berada di tampuk kaum militer. Telunjuknya menjadi titah bagi anggotanya. Dalam kegalauan rakyat, dipancanglah papan pemberitahuan di pojok-pojok lapangan Blang Padang di Banda Aceh. Pancangan yang menghantui ini juga merayap di kawasan lain seperti tanah kuburan umum di Beurawe Banda Aceh. Isinya, Tanah ini Milik Kodam IM. Tidak ada protes. Maklum, rakyat diliputi ketakutan untuk buka mulut. Itu semua dilakukan kala hak rakyat Aceh dipasung.

Mata rantai ketakutan ini putus berkeping-keping setelah gempa bumi berkekuatan 8,9 Skala Richter disusul hempasan gelombang Tsunami pada Ahad, 26 Desember 2004. Lalu dialog RI-GAM berakhir pada 15 Agustus 2005. Euforia kebebasan melambung-lambung setelah dua tahun dibenam ketakutan. Lalu rakyat Serambi Mekkah memasuki alam kemerdekaan.  Aspirasi yang terpendam selama perang di Aceh dimuntahkan.

Adalah  Walikota Banda Aceh Mawardiy Nurdin pada 11 Agustus 2008 yang secara terbuka menyebutkan lapangan Blang Padang bukan milik TNI.  Mawardy menjelaskan, tanah ini milik masyarakat Aceh. Demikian ungkapnya pada peresmian Mushalla Arafah di Blang Padang. Sebaliknya, Kodam Iskandar Muda berdalih, lapangan seluas 8 hektar ini dipercayakan kepada TNI untuk dijaga agar tidak diambil alih oleh masyarakat atau dikomersialkan. Tanah  itu tetap milik masyarakat Aceh, bukan militer. Kapan pun Pemda membutuhkan untuk kepentingan rakyat maka dapat dipergunakan. Demikian pledoi dari pihak militer. 

Berdasarkan peraturan-peraturan yang dimilikinya, TNI tidak hanya mengklaim Blang Padang tapi juga rumah Pangdam Iskandar Muda yang berada di seberang Blang Padang juga sudah puluhan tahun dikuasainya. Padahal menurut riwayat, rumah bergaya panggung itu pada era tahun 1960-an adalah milik Djawatan Kereta Api alias Kepala Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA) Ir Chatib. Tentu Kodam punya alasan jika rumah yang dibangun oleh Belanda itu dikuasai oleh Kodam. Siapa tahu, ada tukar guling seperti sebahagian tanah milik Gereja Hati Kudus yang bersebelahan dengan Makodam Iskandar Muda.

Klaim siapa pemilik Blang Padang alias Desah Arafah semakin meruak pada awal 2010 setelah Ketua DPR Aceh Hasbi Abdullah yang meminta Pemerintah Aceh untuk mengurus sertifikat tanah tersebut. Ibarat berbalas pantun, hal ini dibalas oleh Kodam Iskandar Muda. Bagaimana rakyat menyikapi siapa pemilik tanah yang bersejarah tersebut? 

Bagaimana rakyat bisa menggunakan lapangan itu untuk kegiatan publik tanpa perlu birokrasi yang berbelit-belit di Kodam Iskandar Muda. Patut dilakukan segera menetapkan sertifikat pemilik tanah. Ini menjadi vonis telah ada ada kepastian pemilik tanah untuk masa kini atau puluhan tahun ke depan. Jadi tidak ada debat kusir, klaim atau polemik sesama pemberi pelayanan kepada masyarakat. Boleh jadi sekarang pihak TNI dan Pemerintah Aceh bisa memahami atau membiarkan tanah itu digunakan oleh siapa pun. Namun siapa yang bisa menduga, jika tidak ada selembar sertifikat, maka ini menjadi bom waktu untuk 50 atau 100 tahun ke depan. Saling adu mulut --bukan adu senjata-- bakal terulang lagi. 

Ketika saling klaim antara dua institusi negara hilir-mudik di media ditambah dukungan bupati melalui iklan-iklan di koran, ada sumber lain lain yang menyatakan bahwa justru ini merupakan tanah wakaf Masjid Raya Baiturrahman. Pernyataan ini bisa diakses dari internet di situs http://www.acehbooks.org. Dalam buku yang dipublis gratis itu menyatakan bahwa Blang Padang dan Blang Punge merupakan umeung musara (tanah wakaf) Masjid Raya.  

Demikian sebut Karel Frederik Hendrik Van Langen, pegawai pemerintah Belanda yang diperbantukan di kantor Gubernur Aceh dan daerah taklukannya tahun 1879. ”Tanah wakaf ini tidak boleh diperjualbelikan atau dijadikan harta warisan dan  tidak ada pihak yang dapat menggangu gugat status keberadaan hak miliknya.” Belanda saja tidak berani mengotak-atik tanah wakaf itu, mengapa ada pihak-pihak tertentu yang berbuat lebih dari sepak terjang Belanda?

Namun,  aspek sejarah yang menyebutkan bahwa tanah itu milik Masjid Raya ditolak oleh TNI. Disebutkan fakta sejarah tidak bisa dijadikan bahwa tanah itu milik Masjid Raya. Mereka bersikukuh pada bukti surat yang dimilikinya bahwa lapangan itu milik TNI. 

Sudah sewajarnya, polemik tanah bisa diselesaikan secara arif dengan mengutamakan kepentingan rakyat. Mengembalikan status milik tanah kepada Masjid Raya berarti mengembalikan tanah kepada rakyat Aceh sebagai pemilik tunggal tanah yang digunakan untuk kegiatan yang menyehatkan fisik dan pikiran di sana. Alunan zikri bisa melantun di Blang Padang sebelum kita dihadirkan di Padang Masyar.

Editor: smh

Sumber: Gema Baiturrahman

0 Response

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel