Indeks Wakaf Harus Komprehensif
Jakarta (Wakafnews.com) -- Wakil Ketua Badan Wakaf Indonesia, Imam T Saptono, menyambut baik jika Indeks Wakaf Nasional (IWN) dikembangkan di Indonesia. Dukungan ini disampaikan, selama parameter yang digunakan sudah komprehensif.
"Kami menyambut baik adanya indikator IWN, sejauh parameter yang digunakan mencerminkan pengukuran yang komprehensif dan sesuai dengan parameter kunci keberhasilan wakaf," kata Wakil Ketua BWI, Imam T Saptono.
Yang dimaksud dengan komprehensif adalah mencakup kinerja dari unsur-unsur wakaf. Beberapa di antaranya yakni aspek pengukuran kinerja wakif dan kinerja nadzir.
Tak hanya itu, Imam menyebut dalam perhitungannya, perlu diperhatikan pula aspek kinerja pengembangan aset wakafnya, serta kinerja distribusi/penyaluran. Terakhir, dampak wakaf di lapangan juga menjadi salah satu pertimbangan.
Sejauh ini, ia menyebut Badan Wakaf Indonesia telah melakukan kerja sama dengan Kementerian Agama (Kemenag) dan Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS). Kerja sama dilakukan dalam hal pengukuran indeks literasi wakaf nasional.
Terkait keberadaan Sistem Informasi Wakaf (Siwak) Kementerian Agama, ia menyebut hal itu lebih ke arah inventaris aset wakaf. Sementara keberadaan IWN, nantinya sebagai alat untuk mengukur efektivitas dari program wakaf.
Sebagai negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam, Indonesia memiliki potensi wakaf yang besar. Menurut data Kementerian Agama, tahun 2020 wakaf tanah di Indonesia memiliki potensi seluas 52.475 hektar, sementara potensi wakaf uang Rp 3 triliun.
Meski demikian, masih terdapat permasalahan serta kesenjangan yang tinggi antara wakaf tanah dengan zakat. Beberapa permasalahan yang ada yakni kurangnya profesionalisme nazhir wakaf, dukungan anggaran dari pemerintah yang minim, minimnya data, serta perkembangan wakaf antarwilayah dan waktu yang tidak dapat diperbandingkan.
Dosen IPB University dari Departemen Ekonomi Syariah, Dr Irfan Syauqi Beik, sebelumnya menyebut permasalahan di atas muncul karena belum adanya suatu indikator atau indeks yang menjadi acuan terkait kondisi perwakafan di Indonesia. Hal ini mencakup tingkat makro maupun mikro.
“Berangkat dari pentingnya hal tersebut maka kami melakukan riset serta mengembangkan indeks wakaf nasional,” kata dia.
Ruang literasi wakaf
Sementara Ketua Umum Forum Zakat (Foz) Bambang Suherman menilai, pembuatan indeks wakaf nasional merupakan langkah yang produktif jika dapat dilaksanakan. Sebab, itu akan membuka ruang literasi kepada masyarakat tentang wakaf. Keberadaan indeks tersebut akan melengkapi informasi wakaf yang dibutuhkan.
"Itu akan melengkapi banyak informasi yang nanti pada akhirnya dibutuhkan, meski memang hari ini PR besarnya wakaf itu adalah sosialisasi konten wakaf ke masyrakat. Sebab hari ini proses sosialisasi wakaf itu masih fokus pada format yang sama dengan zakat, padahal karakteristik customer-nya berbeda," ujar dia.
Bambang mengatakan, ada beberapa lembaga amil anggota FOZ yang juga berfokus pada wakaf. Dia mengatakan, secara umum lembaga-lembaga amil itu dalam proses belajar menumbuhkan organisasi. Pola belajar baik di zakat maupun wakaf secara kultural adalah melihat atau mencontoh lembaga-lembaga yang lebih dulu eksis.
"Kalau nanti dilihat dan ternyata memberi efek produktif pada kepercayaan publik terhadap lembaga maka teman-teman anggota FOZ akan ikut alur ini atau model ini," paparnya.
Untuk saat ini, lanjut Bambang, lembaga amil yang dapat dijadikan contoh dalam mengembangkan wakaf di antaranya Dompet Dhuafa, Daarut Tauhid Peduli Umat, dan Al-Azhar Peduli Umat. Namun ketiga lembaga tersebut pun belum menggunakan indeks wakaf dan belum ada pola yang baku dalam pengembangan wakaf.
Bambang mencontohkan, fokus Dompet Dhuafa dalam mengembangkan wakaf yaitu memastikan setiap aset wakaf yang masuk dikelola secara produktif. Tujuan utamanya menghasilkan portofolio pengelolaan aset wakaf. Semua aset wakaf diarahkan untuk memiliki aliran pendapatan sendiri agar bisa tumbuh menjadi salah satu faktor penting dalam menumbuhkan perekonomian negara karena menciptakan ruang masuknya investasi.
"Misalnya program peternakan di atas aset wakaf lahan di Serang, Banten. Hari ini program tersebut sudah relatif cukup mapan dan sudah mampu membuka investasi wakaf sebesar Rp 2,3 miliar. Nah ini model yang sedang diupayakan. Jadi, memastikan setiap aset wakaf memiliki nilai produktivitas secara ekonomi dan mampu menumbuhkan revenue stream baru," tuturnya.
Bambang menerangkan, basis zakat ialah umat Islam yang sifatnya mandatori, sehingga kalau penghasilannya sudah mencapai nisab maka wajib mengeluarkan zakat. Sedangkan wakaf, basisnya adalah sebagian atau kelompok umat Islam yang memiliki pemahaman investasi yang cukup bagus dan terbiasa mengelola keuangan.
"Jadi wakaf itu levelnya tengah ke atasnya umat Islam. Untuk kelompok dengan kapasitas keuangan yang bagus, maka yang ditawarkan adalah portofolio pengelolaan bisnis aset wakaf. Jadi bukan aspek kemanusiaan atau kemiskinannya," kata dia.
Menurut Bambang, ini sering masih menjadi kendala karena sebagian besar lembaga pengelola wakaf masih memandang wakaf sama dengan zakat. Sehingga, yang ditawarkan ke masyarkat adalah faktor kemiskinan atau manfaat berupa bantuan kemanusiaan.*
Editor: smh
Sumber: Republika.co.id
0 Response
Posting Komentar