Manajemen Pengelolaan Harta Benda Wakaf

Manajemen Pengelolaan Harta Benda Wakaf
Share

Oleh: Prof. Dr. Syahrizal Abbas, MA       Dosen Pasca Sarjana IAIN Ar-Raniry

Wakaf merupakan salah satu  institusi keagamaan dalam ajaran Islam. Dalam hukum Islam, wakaf termasuk kategori ibadah kemasyarakatan (ibadah ijtima’iyah). Sepanjang sejarah Islam, wakaf menjadi sarana dan modal ekonomi yang amat penting dalam memajukan  kehidupan  keagamaan.  Di Indonesia, menurut data Departemen Agama RI, terdapat 403.845 lokasi tanah wakaf dengan luas 1.566.672.406 M2.  Dari total tersebut 75% di antaranya sudah bersertifikat dan sekitar 10% memiliki potensi ekonomi yang cukup tinggi.  Data ini menggambarkan betapa harta wakaf dan tentu banyak harta agama lainnya, menjadi potensi ekonomi yang sangat besar, bila dikeola dan dikembangkan dengan secara  baik dan terencana (Data Direktorat Pemberdayaan Wakaf Kemenag RI, 2006). 

Realitas faktual, kemampuan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat muslim Indonesia cenderung  masih sangat rendah, sehingga keberadaan golongan fakir miskin memiliki jumlah yang cukup banyak di tengah-tengah masyarakat. Padahal ajaran Islam, memiliki sejumlah institusi keagamaan yang mengandung upaya  penciptaan kesejahteraan dan peningkatan kemampuan ekonomi masyarakat. Institusi keagamaan tersebut antara lain  zakat, wakaf, infak, sedakah, hibah, wasiat, u’thiya dan lain-lain. Salah satu institusi ekonomi keagamaan yang dapat menjadi tulang punggung ekonomi umat adalah wakaf. Namun sayangnya, institusi ini belum dikembangkan secara maksimal. Pada umumnya pemanfaatan harta benda wakaf masih dominan bersifat konsumtif tradisional dan belum dikelola secara produktif profesional. 

Pemanfaatan tanah wakaf dalam masyarakat muslim umumnya digunakan untuk masjid, mushalla, meunasah, dayah, pesantren, rumah yatim piatu, makam/kuburan dan sedikit sekali harta wakaf dikelola secara produktif dalam bentuk usaha yang hasilnya dapat dimanfaatkan bagi pihak yang memerlukan, khususnya bagi kaum fakir miskin. Pemanfaatan harta wakaf selama ini, bila dilihat dari sisi kepentingan peribadatan memang sangat efektif, tetapi dampaknya kurang berpengaruh positif  dalam kehidupan ekonomi masyarakat.  Bila harta wakaf hanya diperuntukan pada hal-hal seperti ini, tanpa diimbangi  pengelolaan secara produktif, maka kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat yang diharapkan dari lembaga wakaf,  tidak akan terealisasi secara optimal. Padahal, wakaf dapat dijadikan sebagai lembaga ekonomi potensial untuk dikembangkan, jika  dapat dikelola secara optimal. 

Mengacu pada realitas masyarakat muslim yang kebetulan lebih banyak kalangan fakir miskin (mungkin muslim Indonesia mayoritas), dan tanah wakaf yang cukup  banyak sebagai potensi ekonomi umat yang belum dikelola, dikembangkan dan dimanfaatkan secara optimal, maka pemerintah Indonesia mengeluarkan berbagai regulasi dalam rangka mengatur harta wakaf agar dapat dikelola dan dimanfaatkan sesuai dengan tujuan wakaf. Regulasi tersebut antara lain: UU Nomor 41 tentang Wakaf, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan UU Nomor 41 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, serta berbagi regulasi teknis lainnya. Tujuan dari adanya sejumlah regulasi adalah membantu berbagai pihak dalam melakukan wakaf, sehingga perbuatan hukum tersebut dapat bermanfaat sesuai dengan tujuan wakaf.  

Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan  sebagian harta bendanya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahtreaan umum menurut syariat. Harta benda wakaf  adalah harta benda yang memiliki daya tahan lama dan/atau manfaatnya jangka panjang serta mempunyai nilai ekonomi menurut syariah yang diwakafkan oleh wakif.  Ikrar wakaf adalah pernyataan kehendak wakif yang diucapkan secara lisan dan/atau tulisan kepada nazhir untuk mewakafkan harta benda miliknya. Nazhir  adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya. (Pasal 1 UU Nomor 41 Tahun 2004). 

Pengelolaan adalah upaya sistematis yang dilakukan nazhir terhadap harta wakaf berupa pendataan, pensertifikatan, pengembangan, dan  upaya produktif lain serta pemanfaatannya yang tetap mengacu pada tujuan dan peruntukan harta wakaf.  Pengelolaan harta benda wakaf berdasarkan manajemen yang baik, akan mampu mendongkrak kehidupan ekonomi dan kesejahteraan umat. Upaya pembenahan  manajemen dan pengelolalaan terhadap harta wakaf   harus dilakukan secara bertahap dan terus menerus, sehingga  tidak menimbulkan kesulitan bagi nazir maupun masyarakat.  

Banyak faktor yang menjadi hambatan selama ini dalam penerapan manajemen pengelolaan harta wakaf. Di antaranya adalah pemahaman dan kepedulian umat terhadap wakaf, SDM wakaf yang belum profesional dan pengaruh ekonomi global. Dalam konteks pemahaman masyarakat terhadap harta wakaf, umumnya hanya terbatas dalam bentuk tanah (tahan lama), tujuannya untuk peribadatan dan tidak boleh dialihfungsikan dalam kondisi apapun.  Pandangan ini, ternyata telah menyempitkan ruang gerak dari harta wakaf, sehingga para nazhir tidak mampu melakukan upaya strategis untuk pengembangan harta wakaf, karena khawatir akan bergeser dari tujuan yang diikrarkan oleh wakif. Bahkan masih terdapat pandangan dalam masyarakat dimana uang  tidak dapat diwakafkan,  atau dengan kata lain wakaf tunai  (cash waqf)  tidak dikenal di dalam berbagai kitab fikih.  Pada sisi lain, nazhir sebagai pengelola harta juga tidak memahami konstruksi keilmuan yang baik tentang wakaf, dan tidak memiliki profesionalitas dalam pengelolaan harta wakaf, sehingga harta wakaf tidak  dapat berkembang dan tidak banyak dimanfaatkan untuk kepentingan yang lebih besar.  Pengaruh ekonomi global juga ikut menghambat dan menekan tatanan kehidupan ekonomi syariah yang sudah mulai dikembangkan di Aceh dan Indonesia. 

Persoalan di atas sebenarnya  telah mendapat jawaban konkret dalam hukum positif, yaitu UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 42 Tahun 2006. Jenis harta benda yang dapat diwakafkan meliputi: benda tidak bergerak (hak atas tanah, hak bangunan, kepemilikan rumah susun, hak atas tanaman, dan benda-benda lain), benda bergerak selain uang (kapal, pesawat, kenderaan bermotor, mesin untuk  industri yang tidak menancap atas tanah, logam mulia dan lain-lain, surat berharga; saham, surat utang negara, obligasi, HAKI; hak cipta, hak merek, hak paten, hak desain industri, dan hal lain)  dan benda bergerak berupa uang. 

Harta benda wakaf pada dasarnya tidak boleh diubah status, sehingga ia tidak dapat dijadikan jaminan, disita, dihibahkan, dijual, diwariskan, ditukar atau dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya. Ketentuan ini dikecualikan untuk dipergunakan bagi kepentingan umum sesuai dengan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR), berdasarkan ketentuan perundang-undangan dan tidak bertentangan dengan syariat.  Perubahan status ini dapat dilakukan setelah mendapat izin tertulis dari Menteri Agama dan pertimbangan Badan Wakaf Indonesia. Harta benda wakaf yang telah berubah status  wajib ditukar dengan harta benda  yang manfaat dan nilai tukar sekurang-kurangnya sama dengan harta benda wakaf semula (Pasal 41 UU Wakaf) . 

Nazhir wajib mengelola dan mengembangkan harta wakaf sesuai dengan peruntukannya yang tercantum dalam Akta Ikrar Wakaf (AIW). Pengelolaan  dengan pihak lain  dapat dilakukan berdasarkan prinsip syariah. Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf uang hanya dapat dilakukan melalui investasi pada produk-produk Lembaga Keuangan Syariah (LKS) atau instrumen keuangan syariah lainnya. Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf uang yang dilakukan pada bank syariah harus mengikuti  program lembaga penjaminan  simpanan. Sedangkan bila wakaf uang yang dilakukan dalam bentuk investasi di luar bank syariah harus  diasuransikan pada asuransi syariah. 

Pengelolaan dan pengembangan wakaf dapat dilakukan melalui beberapa langkah konkret antara lain: 

Pemantapan Regulasi 

Secara nasional regulasi wakaf dianggap memadai dengan lahirnya UU wakaf dan berbagai Peraturan Pemerintah yang berkaitan dengan pelaksanaan undang-undang tersebut. Dalam konteks Aceh, regulasi yang dilahirkan di daerah dalam rangka  memperkuat pengelolaan dan pengembangan institusi wakaf  diharapkan memiliki garis hukum linear, sehingga  lembaga Baitul Mal dan nazhir memiliki pemahaman yang sama dalam menjalankan tugasnya tentang wakaf.  Ketidaksingkronan regulasi antara pusat dan daerah  akan berimplikasi pada keragaman tingkat pemahaman dari lembaga yang memiliki tanggung jawab mengenai wakaf.   

Peningkatan pemahaman masyarakat

Peningkatan pemahaman masyarakat terhadap  institusi wakaf akan berdampak pada meningkatnya jenis-jenis harta benda yang dapat diwakafkan oleh masyarakat, sehingga harta benda wakaf tersebut dapat dikembangkan dan dimanfaatkan untuk kepentingan yang lebih luas, dan tidak hanya terbatas pada tujuan pemanfaatan wakaf sebagaimana disebutkan wakif secara eksplisit dalam Akta Ikrar Wakaf. Peningkatan pemahaman masyarakat terhadap institusi wakaf juga akan berpengaruh pada dukungan mereka terhadap pengembangan wakaf pada sektor produktif dengan tetap berpegang pada prinsip syariat Islam. 

Nazhir sebagai pengelola harta wakaf juga harus ditingkatkan pemahaman dan keahlian (skill) dalam manajemen pengelolaan harta wakaf melalui pendidikan, latihan (training) dan berbagai kursus manajemen wakaf. Bagi masyarakat dan nazhir dapat dilakukan upaya sosialisasi melalui brosur, training, seminar, lokakarya dan berbagai pertemuan lainnya. Bagi Baitul Mal dan Nazhir dapat juga melakukan studi banding ke beberapa negara muslim yang telah cukup berhasil mengembangkan harta wakaf, seperti Malaysia, Mesir, Yordan, Maroko, Pakistan  dan lain-lain 

Pemetaan dan Sertifikasi Tanah Wakaf 

Baitul Mal Aceh termasuk Baitul Kab/Kota sebagai lembaga yang diberi kewenangan  mengurus harta agama, termasuk harta  wakaf  mesti melakukan pemetaan harta wakaf di seluruh wilayahnya. Tujuannya untuk mengetahui jumlah, jenis, pengelola (nazhir), dan peruntukan harta wakaf. Pemetaan ini menjadi amat penting, sehingga dapat diketahui harta wakaf mana yang dapat dikembangkan dalam bentuk usaha produktif dan harta wakaf mana yang hanya dapat digunakan untuk kepentingan pribadatan semata. Harta benda wakaf berupa tanah milik diupayakan secepat mungkin dilakukan pensertifikatan.  Tujuan pensertifikatan tanah wakaf adalah memperjelas status hukum tanah wakaf, dan bukan dimaksudkan untuk diambil alih oleh Negara (beberapa pandangan masyarakat yang berkembang).  Pensertifikatan tanah juga akan menjamin bahwa tanah wakaf tidak akan dapat diselewengkan pemanfaatan tanah wakaf oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Jelasnya, pensertifikatan harta wakaf ditujukan untuk menjamin harta wakaf dan peruntukannya sebagaimana yang diikrarkan oleh si wakif. 

Baitul Mal Menjadi Motivator, Fasilitator dan Pelayan Publik

Baitul Mal sudah saatnya menjalankan tugas sebagai motivator yang mendorong pihak calon wakif yang memiliki kemampuan untuk memisahkan/memberikan sebagaian hartanya untuk wakaf, dan juga mendorong para nazhir melakukan upaya-upaya serius dalam rangka pengelolaan dan pengembangan harta wakaf secara lebih produktif demi kesejahteraan umat.  Baitul Mal juga harus mampu memfasilitasi berbagai pihak  yang berkepentingan dengan wakaf (masyarakat, nazir dan lain-lain). Dengan menjalankan tugas ini, maka dengan sendirinya, Baitul Mal sebagai lembaga pengelola harta agama dapat menjalankan pelayanan publik dengan baik. 

Melakukan Kerjasama dengan BWI 

Badan Wakaf Indonesia (BWI) merupakan lembaga yang  memiliki peran strategis dalam pengembangan harta wakaf, terutama untuk wakaf produktif. Lembaga ini akan sangat berperan dalam manajemen pengelolaan harta  wakaf,  melakukan pembinaan terhadap nazir, pertukaran harta wakaf, pemberhentian nazhir dan hal-hal lain yang berkaitan dengan perwakafan.  Oleh karena itu, Baitul Mal perlu melakukan kerjasama dalam konteks pembinaan dan manajemen wakaf dengan lembaga ini. BWI adalah badan yang memiliki otoritas dalam hal wakaf di Indonesia. 

Menjalin Kerjasama dengan Berbagai Lembaga

Dalam rangka penguatan manajemen wakaf, perlu pula dilakukan kerjasama dengan Perguruan Tinggi, MPU, Lembaga Manajemen, Konsultan Hukum, Lembaga Keuangan Syariah dan berbagai institusi kemasyarakatan lainnya.  Kerjasama ini ditujukan untuk membangun jaringan dan memperoleh masukan dari lembaga-lembaga ini, agar wakaf dapat berkembang dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat umum, terutama kaum fakir dan miskin. 

Demikianlah beberapa hal yang dapat saya tulis, mudah-mudahan Allah akan selalu memberi taufiq, hidayah dan  perlindungan kepada kita semua. Amin, Ya Rabbal ‘Alamin. Wallahu a’lam Bisshawab.

Editor: smh 

Sumber: Baitul Mal Aceh

0 Response

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel