Menelusuri Wakaf Diaspora Aceh di Mekkah

Menelusuri Wakaf Diaspora Aceh di Mekkah
Share

 


Oleh: Fahmi M. Nasir dan Sayed Muhammad Husen

Pemberitaan di berbagai media baik lokal, nasional, internasional, cetak, elektronik serta media sosial mengenai pembangunan Menara Zam Zam di Makkah beberapa tahun lalu telah membuat wakaf kembali menjadi pusat perhatian. 

Betapa tidak, pembangunan Menara Zam Zam atau Wakaf Raja Abdul Aziz ini dibangun dengan model pembiayaan inovatif yang dikenal sebagai sukuk al-intifa’ (hak penggunaan manfaat bangunan). Dana sebesar USD 390 juta (sekitar Rp 5,7 triliun) yang diperlukan untuk mendanai proyek itu, terkumpul dalam masa dua minggu saja. Tidak heran, dalam masa tiga tahun (2003-2006) pembangunan Menara Zam Zam sudah selesai. Proyek ini merupakan bukti keberhasilan mengembangkan aset wakaf menggunakan model pembiayaan yang inovatif. 

Bagi kita yang sejak tahun 2006 membaca berita mengenai dana bagi hasil usaha Wakaf Habib Bugak Asyi di Makkah yang diterima oleh jamaah calon haji (JCH) asal Aceh, secara otomatis apapun pemberitaan mengenai wakaf di Makkah menjadi menarik untuk dicermati.

Awal Maret 2019, Wakaf Habib Bugak Asyi yang juga dikenali dengan nama Baitul Asyi kembali menjadi pusat perhatian ketika terjadi pro dan kontra terhadap wacana rencana Badan Keuangan Haji Indonesia (BPKH) melakukan investasi pada aset wakaf Baitul Asyi. Pro dan kontra ini, pada dasarnya, terjadi lebih karena kurangnya pemahaman kita terhadap sistem tata kelola wakaf di Arab Saudi. 

Pada masa yang sama maraknya pro dan kontra rencana BKPH ini kembali membuat wakaf dan isu-isu tata kelola wakaf menjadi buah bibir sampai ke pelosok-pelosok Aceh. Masyarakat pun bertanya-tanya, bagaimana sejarah keberadaan Baitul Asyi, bagaimana sebenarnya sistem tata kelola wakaf Baitul Asyi itu, siapa dan apa peran masing-masing pemangku kepentingan wakaf Baitul Asyi, bagaimana proses penunjukan nazir, siapa yang mengawasi nazir, serta bagaimana sikap kita mensikapi polemik pro dan kontra itu. Bahkan, ada yang kemudian bertanya bagaimana tata kelola wakaf produktif seperti itu dapat kita dilakukan di Aceh?

Untuk peminat kajian-kajian wakaf, isu-isu seputar Baitul Asyi ini sangat menarik untuk ditelusuri secara mendalam. Apalagi bila dikaitkan dengan perkembangan terkini studi wakaf di berbagai belahan dunia lain. Misalnya saja Nada Moumtaz, pakar wakaf di Universitas Toronto dalam tulisannya “Theme Issue: A Third Wave of Waqf Studies”, mengatakan, bahwa studi wakaf sekarang ini sedang berada dalam gelombang ketiga di mana kajian wakaf akan diintegrasikan ke dalam pembahasan antar disiplin ilmu yang lebih luas. Ini berarti bahwa wakaf akan dilihat secara integral sebagai institusi yang memiliki beragam aspek baik ekonomi, politik, agama, moral, diaspora, hukum dan negara serta banyak lagi.

Salah satu aspek kajian yang relevan untuk kita telusuri dalam kaitannya dengan Baitul Asyi adalah wakaf diaspora Aceh di Makkah khususnya dan di Arab Saudi pada umumnya. Sudah tentu dalam penelusuran wakaf diaspora Aceh ini, di samping menemukan berbagai fakta sejarah yang inspiratif seputar wakaf diaspora Aceh, kita juga akan menemukan jawaban terhadap sistem tata kelola wakaf produktif yang mungkin dapat kita replikasikan di daerah kita.

Keinginan yang kuat untuk dapat mengetahui sejarah wakaf diaspora Aceh dan memahami seluk beluk wakaf Baitul Asyi telah menjadi dorongan yang kuat bagi penulis untuk berangkat ke tanah suci untuk berjumpa langsung dengan nazir wakaf Baitul Asyi dan juga pihak-pihak lain yang mungkin mengetahui bagaimana perjalanan lembaga ini dari masa ke semasa. Dorongan ini menjadi semakin kuat, karena dalam perjalanan menelusuri wakaf diaspora Aceh di Makkah ini, kita juga akan berkesempatan untuk menunaikan ibadah umrah.

Kedua faktor itulah yang membuat kami membulatkan tekad untuk dapat menelusuri wakaf diaspora Aceh secara langsung ke tanah suci. 

Ketika keputusan menelusuri wakaf diaspora Aceh secara langsung ke Makkah sudah dibuat, maka langkah selanjutnya perlu dilakukan adalah mencoba membangun kontak dengan Nazir Wakaf Baitul Asyi dan pihak-pihak yang mungkin mengetahui informasi mengenai wakaf di sana. 

Segera saja, kami menghubungi berbagai pihak yang kami kenal untuk meminta tolong memfasilitasi pertemuan dengan pihak-pihak terkait di sana. Kalau saja pihak-pihak terkait ini tidak bersedia untuk ditemui, atau ada kegiatan lain ketika kami berada di sana, sudah tentu perjalanan ini tidak akan membawa hasil signifikan seperti yang diharapkan.

Beruntung sekali kami mengenal baik Tgk Jamaluddin Affan Asyi yang selama ini menjadi penghubung antara Nazir Wakaf Baitul Asyi dan Pemerintah Aceh. Lelaki asal Peudada ini sudah hampir 26 tahun berdomisili di Makkah, sehingga ia sangat dipercaya oleh Nazir Wakaf Baitul Asyi.

Dia juga mengenal dengan baik keturunan Aceh yang tinggal di Makkah yang mungkin mampu memberikan informasi yang jelas tentang seluk beluk Baitul Asyi dan wakaf Aceh yang lain, jika ada. Sudah tentu, dia sendiri merupakan salah seorang yang sangat mengerti kondisi wakaf diaspora Aceh di Makkah. Hal ini yang membuat kami merasa bahwa dalam pertemuan dengan nazir nantinya, Tgk Jamaluddin Affan harus ikut serta menemani kami.

Alhamdulillah, ketika kami mengutarakan rencana tersebut, Tgk Jamaluddin Affan menyambutnya dengan sangat positif. Dia segera saja menghubungi Nazir Wakaf Baitul Asyi, Dr Abdul Latief bin Muhammad Baltho dan Prof Dr Abdurrahman Abdullah Ba’id Asyi untuk menyampaikan permohonan kami tersebut. Tgk Jamal, begitu dia sering dipanggil, juga menghubungi Tgk Sulaiman Asyi, orang Aceh yang sudah bermukim di Makkah sejak 1966, untuk memberitahukan rencana kami itu.

Tak lama kemudian sudah ada jawaban positif dari nazir wakaf yang mengabarkan mereka bersedia memberikan kesempatan untuk kami bertemu dengan dua opsi pilihan waktu, akhir Maret 2019 atau minggu pertama April 2019.

Kami memutuskan untuk memilih opsi kedua, mengingat perlu mengadakan beberapa persiapan yang terkait dengan keberangkatan. Untuk memudahkan proses keberangkatan, akomodasi selama di Makkah dan urusan yang lain, kami memutuskan untuk berangkat bersama dengan travel umrah yang banyak terdapat di Aceh sekarang ini.

Opsi ini lebih mudah karena segala urusan keberangkatan, tiket, visa, akomodasi dan lain-lain akan diurus oleh pihak travel. Sudah tentu dengan banyaknya travel umrah yang ada di Aceh sekarang, pilihan kami pun cukup banyak. Pihak travel yang kami pilih itu pun sangat profesional dalam mengatur perjalanan itu berjalan dengan lancar. 

Ketika kami berangkat dengan travel umrah, sudah tentu keberangkatan ke sana juga akan bersama-sama dengan jamaah umrah yang lain. Bagi kami, ini juga suatu pengalaman yang menarik dapat bersilaturrahmi dengan rakyat Aceh yang berasal dari berbagai daerah dan dari beragam latar belakang yang berbeda. 

Ini adalah sebuah kesempatan yang patut kami syukuri, karena dalam perjalanan menelusuri jejak wakaf diaspora Aceh di Makkah, kami secara tidak langsung menapaktilasi perjalanan pendahulu kita berangkat ke tanah suci bersama jamaah yang lain. Tentu saja sarana transportasi yang kami gunakan sekarang jauh berbeda dengan mereka dahulu. Dahulu mereka berangkat dengan kapal laut, sehingga tidak heran di setiap pelabuhan yang menjadi tempat persinggahan mereka di kemudian hari banyak ditemui jejak rekam mereka yang berupa rumah persinggahan. Beberapa literatur yang ada memberitahukan bahwa rumah-rumah singgah ini kemudian hari menjadi aset wakaf. 

Segala urusan keberangkatan yang diurus oleh travel pun berjalan dengan lancar. Tanggal keberangkatan pun sudah ditentukan, yaitu pada 3 April 2019 dari Banda Aceh menuju Jeddah dan kembali ke Banda Aceh pada 16 April. Program umrah dan ziarah, bersama jamaah umrah yang lain pun sudah diatur dengan rapi, begitu juga dengan program perjumpaan dengan Nazir Wakaf Baitul Asyi di sana. Insya Allah tidak lama lagi impian kami menapaktilasi jejak wakaf diaspora Aceh di Makkah akan terwujud.

Pada 3 April 2019 kami bergegas ke Bandara Sultan Iskandar Muda (SIM), Blang Bintang karena pukul 11:40 pagi pesawat Garuda Indonesia, dengan nomor penerbangan GA 984, akan berangkat membawa jamaah terus ke Bandara Internasional King Abdul Aziz di Jeddah. Pesawat dijangka sampai di sana pukul 16:10 sore waktu setempat atau pukul 21:10 waktu di tempat kita. 

Di Bandara SIM, jamaah umrah yang satu rombongan dengan kami pun sudah sampai, ditemani oleh keluarga masing-masing. Kami segera bergabung dengan jamaah yang berjumlah 50 orang itu. Proses check in yang difasilitasi oleh travel umrah berjalan dengan lancar, sehingga jamaah hanya tinggal menuju ke ruang ruang tunggu menanti kedatangan pesawat GA 984 yang berangkat dari Surabaya.

Begitu pesawat sampai, segera saja kami dipersilahkan masuk ke pesawat. Tepat pukul 11:40 pagi, kami pun berangkat menuju ke Jeddah. Perjalanan selama delapan  jam 30 menit itu merupakan kesempatan baik untuk membaca. Tentu saja membaca buku yang berkaitan dengan Makkah adalah salah satu pilihan tepat. 

Buku karya Ziauddin Sardar yang berjudul Mecca: The Sacred City pun menjadi pilihan. Buku ini menelusuri sejarah Makkah, yang awalnya hanya lembah gersang, berevolusi menjadi kota perdagangan dan kota suci umat Islam. Ziauddin, melalui buku yang merupakan kombinasi antara memoir dan sejarah, berhasil menyelami perkembangan dimensi agama, fisik, sosial dan budaya yang telah mentransformasi kebudayaan orang Islam dan apa makna dan pengaruh semua dimensi tadi bagi masa depan Makkah. 

Sudah pasti kita merindukan hadirnya buku serupa yang mampu menelusuri kisah wakaf diaspora Aceh baik di Makkah atau di kota-kota lain yang disinggahi selama dalam perjalanan pulang dan pergi menunaikan ibadah haji di masa lalu.

Tak terasa, pesawat GA 984 pun mendarat di Jeddah. Setelah melalui pemeriksaan imigrasi, kami bersiap menuju bus yang akan membawa kami ke Madinah sebagai destinasi pertama sebelum bergerak ke Makkah selaku tujuan utama perjalanan ini.

Sambil menikmati pemandangan di sepanjang perjalanan yang dipandu oleh Munzir, anak muda yang berasal dari Meunasah Drang, selaku muthawif nanti di Makkah, kami segera menghubungi beberapa sahabat, anak-anak muda Aceh yang sedang meniti karir dalam berbagai bidang pekerjaan profesional di Arab Saudi. Di antara mereka adalah, Dr Muhammad Subhan, Dr Syafi’e Syam, Dr Faisal Abnisa dan Adnan Hasan. Tiga nama yang pertama merupakan dosen di Universitas King Abdulaziz Jeddah, sedangkan nama terakhir bekerja di Islamic Development Bank (IDB). Kebetulan keempat anak Aceh ini pernah dulu lama berjuang mengejar impian di negeri jiran Malaysia. 

Sekarang, keempat anak muda itu sedang meneruskan rekam jejak pendahulu mereka, diaspora Aceh di Arab Saudi. Tgk Jamal, sudah mengingatkan kami untuk mengajak anak-anak muda ini ikut serta menjumpai salah satu Nazir Wakaf Baitul Asyi, Prof Dr Abdurrahman Abdullah Ba’id Asyi yang berdomisili di Jeddah. Hal ini adalah upaya menyambung silaturrahim, sekaligus mengenali diaspora Aceh yang lain di Arab Saudi kelak. 

Kami tidak lupa menghubungi Tgk Sulaiman Asyi, yang pernah kami jumpai (Fahmi) pada 2014 lalu ketika mengerjakan umrah bersama almarhum Tan Sri Sanusi Junid, tokoh keturunan Aceh yang lama menjadi Menteri Kabinet di Malaysia. Cek Man, begitu dia sering dipanggil terdengar sangat gembira dengan rencana kedatangan kami berjumpa dengannya. Bagi kami pula, lelaki yang sudah tinggal di Makkah sejak tahun 1966 itu, merupakan sosok yang penting untuk dijumpai karena dia sangat paham dengan liku-liku diaspora Aceh di Makkah khususnya.

Karena sibuk berkomunikasi dengan berbagai pihak, perjalanan ke Madinah, sekitar 400 kilometer dari Jeddah pun terasa cepat sekali sampainya. Rencananya kami akan berada di sana sampai dengan pagi Sabtu, 6 April 2019, mengerjakan berbagai ibadah di Masjid Nabawi dan ziarah di beberapa tempat di sekitar kota yang merupakan satu di antara dua kota suci umat Islam. Lalu pada siang harinya, setelah shalat zuhur barulah kami bergerak menuju kota Makkah.

Menjelang pukul 11 malam, kami pun sampai di Kota Madinah. Bus membawa kami langsung ke Hotel Nozol al-Monawarah, tempat menginap selama di sana. Letak hotel ini sangat strategis, kira-kira 150 meter saja dari Masjid Nabawi, sehingga memudahkan jamaah pulang dan pergi baik untuk shalat fardhu berjamaah ataupun berziarah ke Raudhah.

Ketika di Madinah, kami mendapatkan dua kejutan yang sangat bermakna. Pertama, tiba-tiba Dr Muhammad Subhan, putra Aceh yang mengajar di Universitas King Abdulaziz, Jeddah mengabarkan dia sudah sampai di sana bersama anak dan isterinya. Padahal sebelumnya kami berencana untuk berjumpa di Makkah. 

Sudah tentu kami pun segera berjumpa di kawasan Masjid Nabawi untuk menyambung silaturrahmi dan bertukar cerita. Subhan bercerita mengenai peluang kerja dalam berbagai bidang di Makkah dan Madinah khususnya dan di Arab Saudi pada umumnya yang dapat diisi oleh anak-anak muda Aceh. Peluang ini ada di sektor perhotelan, kesehatan, pendidikan dan berbagai sektor profesional yang lain. 

Untuk sektor pendidikan, peluang sebagai dosen di sana terbuka lebar-lebar, namun belum sepenuhnya dilirik oleh anak-anak muda di Aceh. Begitu juga dengan sektor perhotelan. Sebut saja untuk chef, banyak sekali chef yang berasal dari Indonesia, namun tidak ada satupun yang dari Aceh. Padahal gaji untuk chef sangatlah besar, bahkan untuk ukuran di Arab Saudi sekalipun. 

Kami beruntung dapat berjumpa dengan Eka Saputra, kawan lama yang sekarang menjadi chef di salah satu hotel di Madinah. Eka, yang asli Bali ini, sudah bekerja sebagai chef hampir 15 tahun di Makkah dan di Madinah. Dia membenarkan bahwa besar sekali peluang menjadi chef bagi anak-anak muda kita.

Kejutan kedua adalah mendapatkan berita dari salah satu harian terkemuka di Indonesia bahwa tulisan (Fahmi) mengenai optimalisasi badan wakaf universitas yang dikirim beberapa waktu yang lalu sudah pun dimuat. Ini merupakan indikasi bahwa kajian wakaf semakin menemukan momentum di Indonesia. Hal ini sudah tentu semakin menambah semangat kami menelusuri wakaf diaspora Aceh di Makkah.

Suatu hari, ketika sedang berbincang-bincang di hotel bersama Subhan, Tgk Jamal memberitahukan bahwa pada 8 April kami diundang oleh Dr Abdul Latief bin Muhammad Baltho, Nazir Wakaf Baitul Asyi, ke kantornya. Kali ini dia mengundang kami ke kantor Wakaf Muhammad Yakub Baik, di mana dia juga sebagai nazir. Wakaf Yakub Baik yang merupakan wakaf dari diaspora Uzbekistan dan Kirgistan sudah ada sejak 1286 H atau 1869 M.  

Untuk pertemuan dengan Tgk Sulaiman Asyi (Cek Man), kami diminta datang ke tempat tinggalnya di Makkah pada tanggal 9 April. Sementara Prof Dr Abdurrahman Abdullah Ba’id Asyi, Nazir Wakaf Baitul Asyi satu lagi, meminta kami datang ke rumahnya di Jeddah pada 13 April 2019.

Singkat cerita, kami pun berangkat ke Makkah pada 6 April dan menyelesaikan umrah pada pukul 3 pagi. Tak terasa waktu bertemu dengan Shaikh Baltho pun sampai. 

Pada sore hari 8 April, kami ditemani oleh Tgk Jamal bergegas berangkat ke kantor Shaikh Baltho. Begitu sampai di kantornya, kami disambut dengan hangat oleh Shaikh Baltho dan diberi sedikit jamuan teh dan manisan khas di sana. 

Setelah bertukar cerita dan bertanya kabar, Shaikh Baltho kemudian mengatakan, bahwa kami diundang makan malam ke rumahnya pada Kamis, 11 April. Di sana dia akan bercerita semua seluk-beluk Wakaf Baitul Asyi. Selama dua tiga hari ini, kami diminta mempersiapkan semua pertanyaan yang ingin diajukan. 

Saat keluar dari kantor itu, Tgk Jamal tersenyum gembira. Dia mengatakan bahwa bukan semua orang diundang ke rumah oleh Shaikh Baltho. Jadi ini adalah satu indikasi yang sangat baik.

Keesokan harinya, kami pun berangkat menemui Cek Man. Lazimnya ketika menerima tamu dari Aceh, Cek Man dan isterinya Dahniar sudah menyiapkan menu istimewa masakan khas Aceh. Selesai makan siang, sambil ditemani hangatnya kopi Aceh, kami pun mendengar cerita Cek Man mengenai liku-liku wakaf diaspora Aceh di Makkah.

Pada 11 April, selesai shalat Isya kami bergegas ke rumah Shaikh Baltho supaya sampai tepat pukul 8 malam di sana. Sambil menikmati hangatnya teh dan lezatnya kue yang dihidangkan, kami pun segera menanyakan seluk-beluk Wakaf Baitul Ashi. 

Banyaknya pertanyaan yang kami ajukan dan antusiasnya Shaikh Baltho memberikan respon membuat wawancara, dalam bahasa Inggris itu, pun berjalan dua jam lamanya. Shaikh Baltho menyelesaikan pendidikan master dan doktoralnya di Amerika Serikat, sehingga fasih berbahasa Inggris. Sebelum menjadi nazir, dia menjadi dosen di Fakultas Pendidikan, Unversitas Ummul Qura.

Untuk data tambahan mengenai informasi yang disampaikan, kami dipersilahkan datang ke kantor Nazir Wakaf Baitul Ashi untuk mengambilnya dari Bendahara yang berasal dari Mesir, Muhammad Said, yang juga hadir di pertemuan malam itu.

Shaikh Baltho memberitahukan, saat ini Wakaf Baitul Ashi memiliki lima aset yang berupa hotel, kantor dan rumah. Aset pertama berupa perumahan ditempati oleh orang Aceh yang tinggal di Makkah. Di bangunan pertama itu juga terdapat kantor Nazir Wakaf Baitul Ashi. Di pintu masuk bangunan itu tertulis ‘Daar al-Ashi’ seakan untuk menegaskan keberadaan diaspora Aceh di sana.

Aset kedua Hotel Ramada berkapasitas 1.650 kamar yang dibangun di kawasan Jiyad bir Balilla. Sayangnya beberapa tahun ini Hotel Ramada sudah tidak beroperasi lagi, karena terkena kawasan perluasan Masjidil Haram. Sekarang masih dalam proses negosiasi ganti rugi antara pemerintah Arab Saudi, investor bangunan Hotel Ramada dan Nazir Wakaf. Tak jauh dari situ pula dibangun aset ketiga Hotel Elaf Mashaer berkapasitas 650 kamar.

Kemudian di kawasan Aziziah, di depan Rumah Sakit Alawi Tunisi, terdapat aset wakaf keempat berupa hotel berkapasitas 250 kamar yang dinamakan Hotel Wakaf Habib Bugak Ashi.

Aset kelima berupa satu bangunan tingkat lima dengan total 10 unit rumah. Rumah itu diberikan untuk ditempati oleh orang Aceh yang ada di Makkah termasuk Cek Man.

Shaikh Baltho kemudian memberitahukan, ada lagi aset wakaf diaspora Aceh di Makkah yang nazirnya adalah keluarga keturunan Aceh di sana. Namun aset wakaf ini tidak banyak dan omzetnya pun tidak signifikan. 

Aset wakaf diaspora Aceh yang terbesar adalah Wakaf Baitul Ashi. Perjumpaan dengan Prof Dr Abdurrahman Abdullah Ba’id Asyi di Jeddah pada 13 April 2019 menegaskan kembali informasi yang sudah diberikan oleh Shaikh Baltho itu. Menariknya di depan rumah DrAbdurrahman, terdapat tulisan ‘Daar al-Ashi’.

Shaikh Baltho kemudian menegaskan, bahwa dalam tata kelola wakaf harus ada setidaknya tiga syarat utama. Pertama, kerangka hukum yang kuat mulai dari regulasi sampai kepada Mahkamah Syar’iyahnya. Kedua, nazir yang cakap dan amanah. Ketiga, ada investor yang andal. 

Dia menambahkan, mungkin untuk dua hal yang pertama di Aceh mudah diwujudkan, namun untuk hal yang ketiga, nazir wakaf di Aceh perlu sedikit kreatif dalam mencari investor. Ini tentu berbeda dengan di Makkah, karena lokasinya yang strategis, investor sendiri yang berlomba-lomba memberikan proposal pengembangan terbaik kepada Nazir. Di Aceh, dengan rekam jejak wakaf yang kuat, sudah pasti dengan kerja keras dan kreativitas nazir, tentu pada akhirnya sumber-sumber pembiayaan wakaf pun akan dapat kita peroleh.

Satu lagi catatan yang diberikan oleh Shaikh Baltho adalah semua urusan tata kelola wakaf di Arab Saudi pasti akan melibatkan Mahkamah Syar’iyah yang berfungsi melakukan supervisi terhadap Nazir dan juga berperan menentukan diterima atau ditolaknya proposal pengembangan aset oleh investor. Bahkan dalam bagi hasil keuntungan dari tata kelola aset itu pun, Mahkamah akan berperan aktif untuk memastikan penyalurannya tepat sasaran sesuai dengan ikrar wakaf.

Setelah wawancara, kami kemudian diajak makan malam bersama. Rupanya Shaikh Baltho sudah pun menyiapkan makan malam khas yang sangat istimewa. Kami pun makan dengan lahapnya. Setelah itu, kami kembali disuguhi kopi dan makanan pencuci mulut pertanda pertemuan pada malam itu sudah berada di titik akhir.

Bagi kami, pertemuan langsung dengan Nazir Wakaf Baitul Ashi merupakan sebuah titik puncak dari perjalanan memahami seluk-beluk wakaf diaspora Aceh di Makkah. Tantangannya adalah, mampukah kita mengulang kisah sukses wakaf Aceh di luar negara dengan membangun dan memajukan wakaf di Aceh sekarang ini?*

Sumber: Gema Baiturrahman

Fahmi M. Nasir adalah pendiri Pusat Studi dan Konsultasi Wakaf Jeumpa D’Meusara (JDM) Banda Aceh dan Mahasiswa S3 Konsentrasi Tata Kelola dan Hukum Wakaf pada Fakultas Hukum International Islamic University Malaysia) 

Sayed Muhammad Husen, Ketua Pengawas Baitul Qiradh Baiturrahman dan PNS pada Sekretariat Baitul Mal Aceh.

0 Response

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel