Menjadikan Wakaf Sebagai Gaya Hidup

Menjadikan Wakaf Sebagai Gaya Hidup
Share

 

Oleh: Fahmi M. Nasir 

Pendiri Pusat Studi dan Konsultasi Wakaf Jeumpa D’Meusara (JDM) Banda Aceh

Saya mendapat kehormatan diundang oleh Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI), Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh untuk berdiskusi dan bertukar pandangan dengan praktisi wakaf, pegawai pemerintah, akademisi, mahasiswa dan masyarakat umum dalam suatu forum yang diberi nama Seminar Filantropi Islam.

Forum itu diselenggarakan untuk memberikan kesadaran kepada publik tentang pentingnya institusi wakaf dalam pengembangan sosio-ekonomi masyarakat pada masa silam, sekaligus untuk menemukan formula yang dapat mempercepat revitalisasi lembaga ini pada masa kini.

Waktu yang dipilih untuk forum itu sendiri juga sangat sesuai dengan berbagai perkembangan terbaru dalam dunia wakaf di tanah air. Betapa tidak, pada 14 Oktober 2018 pemangku kepentingan wakaf Indonesia, dalam Pertemuan Tahunan IMF-World Bank di Bali meluncurkan Waqf Core Principles (WCP) dan Wakaf Linked Sukuk (WLS) yang diharapkan akan menjadi titik tolak perkembangan sektor wakaf di negara kita.

Akan tetapi, memiliki standarisasi tata kelola wakaf yang baik seperti halnya WCP ataupun mempunyai produk wakaf yang progesif seperti WLS tidaklah secara otomatis akan memberikan dampak dan kemajuan yang diinginkan kalau saja tidak ada implementasi yang menyeluruh terhadap prinsip-prinsip inti tata kelola wakaf itu. Begitu juga halnya dengan WLS, ia tidak akan menjadi produk wakaf yang memiliki dampak hebat seandainya tidak ada sambutan secara masif oleh publik. 

Mungkin saja, seperti yang saya katakan kepada peserta forum di Banda Aceh itu, kita perlu sama-sama melakukan refleksi sejenak untuk melihat kontribusi besar wakaf di sekitar kita pada masa lampau.

Di Aceh misalnya, kebanyakan mesjid, meunasah (sejenis surau) dan sekolah dibangun secara kolektif oleh masyarakat dengan bersama-sama mendonasikan harta benda atau uang mereka. Hal ini dikenal dengan nama meuripee dalam budaya lokal. Istilah ini sekarang populer dengan nama crowdfunding (urun dana). 

Masyarakat, ketika itu, mendonasikan uang sesuai dengan kemampuan masing-masing untuk membeli sepetak tanah untuk dibangun mesjid, meunasah ataupun sekolah. Dana untuk pembangunan dan penyelenggaraan mesjid, meunasah atau sekolah itupun diperoleh dengan cara urun dana. Biasanya aset yang sudah ada itu akan didaftarkan sebagai harta wakaf atau wakeueh dalam istilah masyarakat di sana. Bisa jadi, ini adalah satu alasan kenapa sekarang kita temukan banyak sekali aset wakaf yang tersebar di seluruh daerah itu. 

Saya yakin hal yang sama juga dilakukan oleh masyarakat di provinsi lain di Indonesia. Sehingga tidak heran dalam berbagai literatur wakaf Indonesia kita akan menemui keberadaan berbagai lembaga yang hampir sama dengan wakaf seperti huma serang di Banten, tanah pareman di Lombok, pusako tinggi di Minangkabau dan perdikan di Jawa Timur. Indikasi lain adalah besarnya aset wakaf terutama dalam bentuk tanah di seluruh tanah air.

Bahkan,yang lebih fenomenal lagi, jauh sebelum Indonesia lahir, para pendahulu kita sudah menunjukkan teladan bagaimana mereka menjiwai budaya wakaf. Mereka menggunakan wakaf sebagai sumber pembiayaan untuk membangun rumah wakaf di Makkah. Rumah wakaf itu menjadi tempat tinggal para jamaah haji dari Nusantara. 

Christian Snouck Hurgronje dalam bukunya Mekka in the Latter Part of the 19th Century menyebutkan bahwa, banyak sekali rumah-rumah wakaf di Makkah yang dimiliki dan dinamakan sesuai dengan daerah asal mereka. Di antara rumah wakaf yang sangat terkenal ketika itu adalah rumah wakaf Aceh, rumah wakaf Banten dan rumah wakaf Pontianak.

Dalam buku itu, ia juga menyebutkan bahwa pada 1890, ada beberapa orang Aceh yang bersiap-siap untuk pulang ke Aceh dengan tujuan mengumpulkan uang untuk kembali membeli rumah-rumah di kota Makkah untuk dijadikan rumah wakaf. Ini adalah suatu indikasi bahwa pada masa itu budaya dan tradisi wakaf di Aceh khususnya dan di daerah lain umumnya sudah sangat kuat. 

Salah satu di antara rumah wakaf yang disebutkan itu, rumah wakaf Aceh, sampai sekarang asetnya masih ada dan sejak 2006 lalu secara rutin Nazir Wakaf Baitul Asyi itu memberikan dana hasil usaha rumah wakaf itu kepada jamaah haji asal Aceh.

Kita juga tidak boleh lupa dengan besarnya kontribusi wakaf terhadap sektor pendidikan di Indonesia. Siapa yang tidak kenal dengan kontribusi Badan Wakaf Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Badan Wakaf Universitas Sultan Agung (Unissula) Semarang, Badan Wakaf Univeritas Muslim Indonesia (UMI) Makasar, Yayasan Pemeliharaan dan Perluasan Wakaf Pondok Modern (YPPWPM) Gontor, ataupun Yayasan Almuslim Peusangan yang kini memiliki Universitas Almuslim dan Institut Agama Islam (IAI) di Matang Geulumpang Dua, Bireuen, Aceh. Begitu juga dengan kontribusi luar biasa dua organisasi besar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, dalam bidang pendidikan dan sarana sosial lainnya melalui aset wakaf.

Rekam jejak gemilang wakaf di Indonesia suatu ketika dahulu haruslah menjadi sumber inspirasi bagi kita untuk dapat mengulanginya kembali sekarang ini. Untuk mewujudkannya, kita harus menjiwai dan menjadikan wakaf sebagai gaya hidup. Kita haruslah terobsesi dengan wakaf dan tidak akan merasa puas hati sebelum kita mampu memberikan konstribusi untuk sektor wakaf.

Untuk mencapai keberhasilan menjadikan wakaf sebagai gaya hidup dan menjadi tren yang diikuti oleh banyak orang, maka pemangku kepentingan wakaf baik otoritas wakaf, akademisi ataupun praktisi wakaf mestilah melakukan sosialisasi wakaf secara terus-menerus. Sosialisasi dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain, seminar wakaf, menulis mengenai wakaf untuk dipublikasi di berbagai media, optimalisasi penggunaan media sosial untuk diseminasi konsepsi dan ide-ide aktual wakaf untuk mencapai khalayak ramai dari berbagai segmen masyarakat, serta memperbanyak even-even yang berhubungan dengan wakaf.

Usaha-usaha sistematik sosialisasi wakaf baru akan berhasil kalau sudah mencapai level massa kritis (critical mass). Saya pikir, usaha berkelanjutan dan sistematis ini memerlukan waktu sekitar dua tahun untuk menjadikan masyarakat terobsesi dengan wakaf. Kalau ini terjadi, maka wakaf dengan mudah akan kembali menjadi arus utama (mainstream). 

Kenapa dua tahun? Hal ini berdasarkan observasi yang saya lakukan, bagaimana Tun Mahathir Mohamad berkeliling Malaysia selama dua tahun untuk menjelaskan kepada rakyatnya perlunya mengganti pemerintah untuk menyelamatkan negara itu.  Sejak 2016, Tun Mahathir pergi ke seluruh pelosok negeri menerangkan bahwa skandal korupsi 1MDB akan membawa kehancuran kepada ekonomi negara itu. Tanpa mengganti pemerintah, maka mustahil Malaysia dapat diselamatkan karena Perdana Menteri ketika itu, Najib Razak, justru terlibat dalam skandal.

Kita lihat sendiri pada 9 Mei 2018 lalu, untuk pertama kalinya dalam sejarah negara itu, partai oposisi memenangkan pemilu. Momen bersejarah ini dapat diraih berkat usaha super keras secara terus-menerus selama dua tahun oleh Tun Mahathir dan koalisi Pakatan Harapan yang dipimpinnya.

Oleh karena itulah, saya percaya, setelah dua tahun kerja keras dan usaha sistematis dari semua pemangku kepentingan wakaf, maka masyarakat akan menjiwai dan menjadikan wakaf sebagai gaya hidup mereka. Kalau wakaf sudah menjadi gaya hidup, secara otomatis pula wakaf akan kembali berada di arus utama.

Apakah pula indikasi bahwa wakaf itu sudah menjadi gaya hidup dan berada di arus utama? Birol Baskan, penulis dari Turki, menukilkan dengan indah mengenai budaya wakaf di negeri itu pada masa Kerajaan Usmani. Ia menulis bahwa, “Seseorang itu mungkin akan lahir di rumah wakaf, tidur di dalam ayunan wakaf, makan dan minum dari hasil aset wakaf, ketika membaca buku, buku-buku itupun berasal dari wakaf, belajar di sekolah wakaf, bekerja di lembaga wakaf, ketika dia meninggal dunia dia akan dibawa dengan kerenda jenazah yang merupakan aset wakaf dan selanjutnya dimakamkan di pemakaman wakaf”. 

Mungkin standar arus utama yang seperti inilah yang perlu kita realisasikan untuk mengembalikan peran sentral wakaf dalam setiap aspek sosio-ekonomi umat di negara kita.*

Editor: smh

Sumber: Republika

0 Response

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel