Menyelamatkan Harta Wakaf

Menyelamatkan Harta Wakaf
Share
Oleh: Drs. H. Armia Ibrahim, S.H., M.H. 
Dewan Pertimbangan Syariah BMA

Di dalam al-Quran surat al-Hajj ayat 77, Allah Swt meminta kepada orang-orang yang beriman untuk rukuk, sujud dan menyembah Allah serta berbuat kebajikan, agar mendapat kemenangan. Kata-kata “perbuatlah kebajikan” mencakup segala bentuk perbuatan kebajikan, baik yang wajib maupun yang bersifat tabarru’ (sunat). Termasuk dalam perbuatan tabarru’ adalah  ibadah wakaf.

Dalam surat Ali Imran ayat 92 Allah SWT juga menegaskan sebagai berikut: “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya”. (QS Ali Imran:  92)

Ayat di atas secara tegas menjelaskan, bahwa orang beriman tidak mencapai kebajikan yang sempurna sebelum menafkahkan sebagian harta yang dicintainya di jalan Allah. Ayat ini juga merupakan dalil tentang disyariatkannya wakaf di dalam Islam.       

Kata “wakaf” berasal dari  bahasa Arab “waqafa-yaqifu-waqfan” berarti “menahan” atau “berhenti” atau “diam di tempat” atau “tetap berdiri”, sama artinya dengan “habasa-yahbisu-habsan”. Secara etimologi wakaf berarti “menahan harta (pokoknya) dan memberikan hasil/manfaatnya di jalan Allah”. (at-tahbis wa at-tasbil). 

Hal ini sesuai dengan hadits Rasulullah saw yang diriwayatkan dari Ibnu Umar, ia berkata: “Umar mengatakan kepada Nabi SAW: saya mempunyai tanah senilai seratus dirham di Khaibar. Saya belum pernah mendapat harta yang paling saya kagumi seperti itu. Tetapi saya ingin menyedekahkannya. Nabi mengatakan kepada Umar: Tahanlah (jangan jual, hibahkan dan wariskan) asalnya (modal pokok) dan jadikanlah  buahnya sedekah untuk sabilillah”. (HR Bukhari dan Muslim).

Wakaf sebagai salah satu perbuatan tabarru’ (mendekatkan diri kepada Allah SWT) telah disyari’atkan Islam sejak tahun kedua Hijriyah. Menurut salah satu riwayat, orang pertama yang melaksanakan wakaf adalah Umar bin Khaththab ra berupa tanahnya yang ada di Khaibar atas saran dari Rasulullah saw. Selanjutnya semangat mewakafkan tanah dan benda lain terus berkembang dikalangan para sahabat dan kaum muslimin. Bahkan dalam satu riwayat lain, Rasulullah saw pernah pula mewakafkan tanahnya untuk pembangunan masjid. Utsman bin Affan pernah mewakafkan sebuah sumur (namanya “Raumah”) sumber air minum beserta kebun disekitarnya yang dibeli dari orang Yahudi untuk kepentingan kaum muslimin di kota Madinah. Setelah 1.400 tahun berlalu, wakaf Utsman bin Affan telah berkembang pesat dan dari hasilnya di samping digunakan untuk kepentingan fakir miskin, juga dibeli tanah lain di pusat kota Madinah. Saat ini telah dibangun hotel mewah, pusat belanja dan masjid yang diberi nama Masjid Utsman bin Affan. Ini salah satu contoh wakaf abadi yang dikembangkan secara baik sebagai wakaf produktif.

Dalam hukum Islam, dikenal dua macam wakaf, yakni: wakaf ahli (wakaf dzurri) yaitu wakaf kepada orang tertentu, baik kepada anggota keluarga si wakif atau bukan; serta wakaf khairy, yaitu wakaf untuk kepentingan agama dan kemasyarakatan (kebajikan umum), seperti wakaf untuk pembangunan masjid, sekolah, pesantren, panti asuhan anak yatim dan sebagainya. Wakaf bentuk inilah yang banyak dilakukan umat Islam.

Wakaf termasuk dalam katagori ibadah sosial/kemasyarakatan (ibadah ijtima’iyyah). Sebagai ibadah sosial, wakaf memiliki dua dimensi. Pertama, dimensi vertikal, sebagai bentuk perbuatan mendekatkan diri kepada Allah SWT  dengan memperoleh ganjaran pahala yang berkelanjutan bagi si wakif meskipun ia telah meninggal dunia. Kedua, dimensi horizontal, yakni hubungan sesama manusia terutama dalam membantu kelompok masyarakat yang membutuhkan melalui hasil/manfaat dari benda yang diwakafkan. Wakaf seperti inilah yang dimaksud wakaf khairi dan yang terbanyak dilakukan umat Islam.

Di Indonesia, perwakafan pernah diatur dalam UU Nomor 5 tahun 1960 tentang Paraturan Dasar Pokok Agraria dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. Juga diatur dalam Buku III Kompilasi Hukum Islam tentang Wakaf yang diberlakukan melalui Inpres Nomor 1 tahun 1991. Dan saat ini telah diatur dalam UU tersendiri yakni UU Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf serta PP Nomor 42 tahun 2006 tentang Pelaksanaan UU Nomor 41 tahun 2004. Di dalam UU Nomor 41 tahun 2004 serta PP Nomor 42 tahun 2006 telah diatur pula tentang wakaf tunai dalam bentuk Sertifikat Wakaf Uang (SWU) melalui Lembaga Keuangan Syariah, di samping wakaf atas benda tidak bergerak dan benda bergerak lainnya.

Dalam sejarah perkembangan wakaf di Indonesia termasuk di Aceh, wakaf dalam bentuk tanah milik dan bangunan tempat ibadah (masjid, mushalla) sudah terjadi sejak awal Islam masuk ke tanah air kita. Oleh karena itu, di setiap desa di Aceh banyak memiliki tanah wakaf serta bangunan keagamaan seperti masjid, mushalla, pesantren, sekolah, tempat pekuburan umum dan lain-lain. 

Suatu hal yang patut diapresiasi dan dicontoh adalah semangat orang Islam terdahulu dalam mewakafkan harta bendanya terutama tanah milik untuk kepentingan agama dan kemaslahatan umat sangatlah tinggi. Hal ini dimaksudkan si pewakaf (wakif) untuk terus memperoleh pahala dari sedekah jariahnya meskipun ia telah meninggal dunia. Dorongan berwakaf ini tentunya didasari suatu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw bersabda: “Apabila meninggal dunia anak Adam (manusia), maka putuslah amalnya kecuali tiga perkara: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak saleh yang mendoakan kepada orang tuanya” (HR Muslim).

Dari hadits Rasulullah tersebut antara lain dapatlah dipahami bahwa fungsi sedekah jariah adalah pahala atau kebaikan yang dihasilkan dari sedekah dimaksud mengalir terus menerus dan berkesinambungan kepada pemberi sedekah meskipun ia telah meninggal dunia. Dan fungsi sedekah jariah ini ada pada wakaf. Oleh karena itu, benda yang diwakafkan haruslah terus ada (ditahan, tidak boleh dialihkan) sedangkan manfaatnya terus mengalir kepada orang atau lembaga yang dituju oleh si wakif (mauquf ‘alaih). Itulah sebabnya benda yang diwakafkan tidak boleh dalam bentuk barang yang habis dipakai seperti makanan dan semisalnya karena manfaatnya hanya sekali pakai, tidak berkelanjutan.

Di beberapa negara Islam lainnya, seperti Mesir, Turki, Arab Saudi, Malaysia, Bangladesh dan negara lainnya sejak dulu telah digalakkan wakaf produktif dimana hasil atau manfaatnya tidak melulu tertuju kepada tempat ibadah, dan lembaga sosial, tetapi lebih diarahkan kepada pemberdayaan ekonomi umat terutama golongan tidak mampu (fakir msikin). Hal ini antara lain diwujudkan dalam bentuk bantuan beasiswa, santutan kepada fakir miskin dan bantuan kemanusiaan lainnya. Bahkan salah satu bentuk wakaf produktif yang paling dirasakan manfaatnya saat ini adalah wakaf Aceh (Baitul Asyiy) yang ada di kota suci Makkah dimana manfaatnya dinikmati oleh seluruh jamaah haji Aceh setiap tahun sejak 2007 yang lalu. Bahkan setiap tahun dana dari hasil pengembangan wakaf tersebut yang disalurkan kepada jamaah haji dari Aceh sekitar 20 milyar rupiah.

Bentuk wakaf produktif ini sebenarnya telah diatur pula dalam Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf, namun sampai saat ini upaya ke arah tersebut belum terlaksana dengan baik, sehingga wakaf di tanah air kita masih lebih ditujukan kepada lembaga peribadatan. 

Berdasarkan data dari Kementerian Agama RI yang dirilis Maret 2016 oleh Badan Wakaf Indonesia (BWI), di semua propinsi di Indonesia banyak terdapat tanah wakaf. Namun ada  lima propinsi yang memiliki tanah wakaf terbanyak, secara berurut adalah: Jawa Tengah (103.294 lokasi), Jawa Barat (74.860 lokasi), Jawa Timur (74.429 lokasi), Aceh (24.898 lokasi) dan Banten (20.089 lokasi). Ini berarti Aceh menempati peringkat keempat dalam kepemilikan tanah wakaf.

Untuk menghindari hilangnya tanah dan benda wakaf akibat dari penyerobotan atau penguasaan oleh pihak lain yang tidak berhak, maka terhadap tanah/benda wakaf yang belum didaftarkan secara tertib sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, perlu dilakukan upaya sungguh-sungguh dari pihak terkait, terutama nazhir wakaf untuk menyelamatkan tanah wakaf dan benda wakaf lainnya yang ada.

Sebagai kesimpulan, penyelamatan harta wakaf dari upaya penggelapan ataupun penguasaan oleh pihak yang tidak berhak harus melibatkan semua lembaga dan badan terkait dengan pengelolaan wakaf, yakni, Kementerian Agama, Badan Wakaf Indonesia, Pemerintah Daerah melalui Baitul Mal, Badan Pertanahan Nasional, KUA selaku PPAIW serta nazhir wakaf yang ditunjuk. Namun masyarakat muslim juga tidak boleh berlepas tangan atau bersikap masa bodoh terhadap harta wakaf yang ada di wilayahnya dan tidak hanya melepaskan tanggung jawab kepada nazhir yang ditunjuk atau lembaga/badan terkait saja. Karena harta wakaf pada kakikatnya adalah harta agama yang wajib dipelihara dan digunakan untuk kepentingan agama dan kemaslahatan umat Islam.

Agar tanah wakaf memiliki landasan hukum yang kuat serta aman dari penguasaan pihak lain yang tidak berhak, haruslah melalui kegiatan pensertifikatan tanah wakaf secara menyeluruh dan selanjutnya dilaporkan pula kepada instansi yang terkait dengan pengelolaan wakaf seperti Kementerian Agama, Badan Wakaf Indonesia dan Baitul Mal Aceh atau Baitul Mal Kabupaten/Kota.

Demikian, semoga dapat menjadi dorongan bagi kita dalam menumbuhkan semangat berwakaf, serta menjaga harta wakaf dari penyalahgunaan fungsi, tujuan dan peruntukannya yang tidak sesuai ketentuan syariat Islam dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Editor: smh

Sumber: Gema Baiturrahman

0 Response

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel