Optimalisasi Badan Wakaf Universitas

Optimalisasi Badan Wakaf Universitas
Share

 


Oleh: Fahmi M. Nasir

Artikel ini bertujuan untuk menggagas optimalisasi Badan Wakaf Universitas (BWU)  yang sudah ada di berbagai universitas di Indonesia, serta menginisiasi pembentukan BWU pada universitas yang belum memilikinya sebagai salah satu sumber pendanaan untuk membiayai kelangsungan dan pengembangan institusi pendidikan tinggi.

Saya akan memaparkan latar belakang gagasan optimalisasi BWU di Indonesia, apa dan bagaimana cara kerja BWU, kisah sukses BWU di luar negara, serta diakhiri dengan menawarkan model sederhana BWU untuk dikembangkan oleh universitas di Indonesia.

Konsep BWU

Seperti diberitakan Republika 30 Maret 2020, bahwa dana wakaf berpotensi untuk pengembangan kesejahteraan masyarakat, bahkan peluang memajukan institusi pendidikan tinggi pun terbuka lebar. Akan tetapi dalam tataran penerapannya, dana wakaf ini masih ada yang belum tergali secara optimal.

Republika juga memberitakan, Ketua Badan Wakaf Indonesia (BWI), Mohammad Nuh mengatakan perlu pemikiran dan terobosan baru, agar wakaf ini dapat tergali secara optimal. Dia menjelaskan, perwakafan dapat menopang kemajuan peradaban di Indonesia. Lalu dia menegaskan, bahwa penggalangan dana wakaf perlu terus digalakkan dan dapat dimulai dari perguruan tinggi yang memiliki potensi besar dalam penggalangan dana wakaf.

Pada hari yang sama, Endra Sulistyono juga menyinggung tentang potensi dana abadi perguruan tinggi melalui dana wakaf dalam artikel yang berjudul “Dana Abadi PT dan Wakaf”. Ia mengatakan, bahwa instrumen yang paling sesuai adalah wakaf tunai yang berbasis daring dan didukung dengan berbagai sosialisasi kepada mahasiswa. Namun dalam kedua pemberitaan dan tulisan di atas belum ada tawaran secara mendetail mengenai konsepsi badan wakaf universitas.

Mungkin sebagai langkah awal, untuk optimalisasi dana wakaf melalui perguruan tinggi, BWI dapat menginisiasi wakaf dalam sektor pendidikan melalui pembentukan badan wakaf/endowment pada seluruh universitas, agar semua universitas di Indonesia memiliki dana wakaf sebagai sumber pendanaan mereka. 

Peluang untuk menggunakan dana wakaf sebagai pendanaan untuk perguruan tinggi, secara regulasi, sudah dibuka lebar-lebar melalui UU Nomor 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi. Hal ini bisa diamati dari pasal 84 ayat 2 yang menyebutkan wakaf sebagai salah satu sumber pendanaan yang diperoleh perguruan tinggi daripada masyarakat.

Kita juga tidak asing lagi dengan Badan Wakaf Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Badan Wakaf Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang, Badan Wakaf Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makasar atau lembaga Endowment Fund Institut Teknologi Bandung (ITB) ataupun Dana Abadi Universitas Indonesia (UI). Apresiasi yang besar patut kita berikan untuk Universitas Airlangga Surabaya (UNAIR) yang sudah resmi ditunjuk sebagai universitas pertama di Indonesia yang menjadi nazir wakaf uang. Namun tentu saja hal ini belum cukup. Hal ini secara tidak langsung dapat kita pahami dari keinginan Ketua BWI di atas yang tentunya didasari pada belum optimalnya peran lembaga wakaf universitas di Indonesia, walaupun lembaga ini sudah ada di Indonesia sejak sekian lama.

Secara sederhana, BWU ini pada dasarnya merupakan pengembangan dari konsepsi wakaf. Sepengetahuan saya, salah satu definisi terbaik mengenai konsepsi wakaf diberikan oleh Monzer Kahf (2000) di mana dia menyebutkan, wakaf adalah menahan harta baik secara abadi ataupun sementara, untuk dimanfaatkan langsung atau tidak langsung, dan diambil manfaat hasilnya secara berulang-ulang di jalan kebaikan, umum maupun khusus. 

Jadi, dalam konteks ini, BWU diartikan sebagai badan investasi yang dibentuk oleh suatu institusi di mana hasil dari investasi akan digunakan untuk mendukung aktivitas yang sedang dijalankan oleh institusi terkait ataupun tujuan-tujuan khusus yang akan ditentukan kemudian. Dana yang akan dialokasikan untuk aktivitas universitas adalah hasil dari keuntungan investasi, bukan dari dana awal investasi itu sendiri. 

Dana investasi BWU bisa diperolehi melalui donasi dari donatur baik dalam bentuk barang bergerak atau tidak bergerak, uang tunai dan saham, baik dari Indonesia ataupun luar Indonesia untuk mendukung kegiatan pendidikan dan riset di universitas terkait. Semua donasi yang didapatkan itu diinvestasikan kembali untuk mendapatkan keuntungan yang nantinya akan digunakan untuk memberikan beasiswa atau bantuan finansial kepada mahasiswa, memajukan kegiatan akademik dengan memberikan dana riset dan publikasi bagi dosen-dosen di universitas itu, bahkan bisa digunakan untuk memberikan tambahan gaji, sesuai dengan proporsi masing-masing, bagi semua staf baik yang berstatus ASN atau non-ASN.

Salah satu cara efektif untuk menginvestasikan dana BWU dengan membangun asrama dan rumah sewa untuk disewakan kepada mahasiswa atau pihak lain. Pengelolaan BWU bisa dipercayakan pada tim khusus yang terdiri dari badan pengurus dan badan pelaksana harian. 

BWU di luar negeri

Mari kita lihat sejenak bagaimana keberadaan BWU di luar negeri untuk mendorong optimalisasi badan wakaf universitas di negara kita. Di berbagai negara terutama negara-negara Barat, salah satu sumber utama pendanaan mereka adalah badan wakaf atau endowment fund. Universitas Harvard misalnya, berdasarkan laporan finansial yang berakhir pada 30 Juni 2017, menyebutkan bahwa sepertiga dari biaya operasional mereka berasal dari dana wakaf. 

Dana wakaf Harvard terdiri dari lebih dari 13 ribu macam dana yang dikelola dalam satu entitas di bawah lembaga yang dinamakan Harvard Management Company (HMC), sebuah badan non-profit yang dimiliki sepenuhnya oleh Universitas Harvard. Sampai saat ini HMC memiliki kekayaan sebesar 37,1 miliar dolar Amerika Serikat atau sekitar 505,2 triliun rupiah. Sebuah angka yang sangat fantastis.

Misi HMC ini hanya satu, yaitu mendukung sepenuhnya universitas dengan melakukan investasi dan mengembangkan sumber-sumber keuangan universitas untuk jangka panjang. Hampir semua aspek operasional universitas didanai dengan dana wakaf yang dikelola HMC diantaranya gaji untuk dosen, beasiswa untuk S1, S2 dan S3, unit kegiatan mahasiswa (UKM), perpustakaan, pengadaan dan perawatan fasilitas kampus serta beragam aktivitas lainnya.

Kesuksesan serupa dalam pengelolaan badan wakaf juga ditunjukkan oleh International Islamic University Malaysia (IIUM) melalui lembaga yang diberi nama IIUM Endowment Fund (IEF). Tujuan utama IEF adalah membantu mahasiswa IIUM yang berprestasi dan memiliki potensi besar ke depan, tetapi menghadapi masalah finansial. IEF juga mendanai kegiatan pengembangan riset dan publikasi di IIUM. Untuk tahun 2016 yang lalu saja IEF berhasil menggalang dana sebesar RM 10,6 juta atau sekitar 34,1 miliar rupiah. Ini di luar tiga bangunan, Azman Hashim Complex, Mahallah HH Sheikh Humaid bin Rashid al Nuaimi dan Mahallah Lembaga Tabung Angkatan Tentera (LTAT), bernilai RM 18,4 juta atau sekitar 59 miliar rupiah yang berhasil dibangun oleh IEF.

Kisah sukses IEF ini sepertinya menginspirasi berbagai universitas di negeri tetangga itu untuk turut mendirikan badan wakaf. Misalnya saja, Universitas Malaya (UM) mendirikan lembaga yang diberi nama Wakaf Pendidikan UM (Awqaf UM), sedangkan Universitas Putra Malaysia (UPM) mendirikan Pusat Pengurusan Wakaf, Zakat dan Endowmen (WAZAN). Adapun  Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM) mendirikan Dana Wakaf Ilmu UKM (DWIUKM), sementara itu Universitas Teknologi Mara mendirikan lembaga yang mereka beri nama Wakaf UiTM.

Model BWU 

Untuk universitas di Indonesia, struktur BWU dapat dibagi kepada dua, yaitu badan pengurus dan badan pelaksana harian. Badan pengurus diketuai oleh Rektor, wakil ketuanya adalah Pembantu Rektor bidang Kemahasiswaan dan Dekan-dekan Fakultas menjadi anggota. Badan pelaksana harian dikepalai oleh seorang Direktur. Di bawah direktur bisa dibentuk unit-unit seperti Unit Investasi dan Pengembangan Bisnis, Unit Humas, Unit Wakaf, Zakat dan Tabung Alumni serta unit-unit lain jika perlu.

Salah satu unit yang cukup prospektif adalah Wakaf, Zakat dan Tabung Alumni, karena semua universitas di Indonesia tentu memiliki ribuan alumni. Kalau saja setiap alumni mendonasikan nominal Rp 50.000 per bulan, maka jumlah yang akan terkumpul untuk dikelola cukup besar. Tidak tertutup kemungkinan ada alumni yang sudah menjadi pengusaha sukses akan mendonasikan uang dalam jumlah yang besar untuk tabung alumni almamaternya. 

Program lain yang bisa digulirkan dengan unit ini adalah program anak asuh di mana alumni akan memberikan beasiswa kepada mahasiswa yang membutuhkan bantuan keuangan. Sebagai contoh, untuk satu anak asuh biaya bulanan yang diperlukan  adalah Rp 1.000.000 per mahasiswa. Alumni yang mau menjadi orang tua asuh bisa memilih apakah dia akan menjadi sponsor penuh atau seperdua, sepertiga, seperempat atau seperlima dari biaya yang diperlukan setiap bulan. Orang tua asuh boleh membayar biaya ini setiap bulan, setiap dua bulan, setiap tiga bulan, setiap empat bulan, setiap enam bulan ataupun setahun sekali tergantung kemampuan dan opsi yang diambil oleh mereka. Program seperti ini akan sangat membantu mahasiswa yang mengalami kesulitan biaya selama masa perkuliahan di berbagai universitas di Indonesia.

Berdasarkan rekam jejak BWU di negara lain dan potensi besar yang dimiliki untuk mendirikan dan mengembangkan BWU, serta kuatnya tradisi filantropi dalam masyarakat kita, maka sudah tibalah waktunya bagi BWI untuk mengambil inisiatif mendorong pendirian dan pemaksimalan peran BWU pada semua universitas di Indonesia. Jika ini bisa direalisasikan, saya yakin, sektor pendidikan di Indonesia akan berkembang dengan lebih pesat dan BWI juga akan menemukan momentum untuk memajukan wakaf dalam berbagai bidang yang lain.*

Penulis, Pendiri Pusat Studi dan Konsultasi Wakaf Jeumpa D’Meusara (JDM) Banda Aceh dan Mahasiswa S3 Konsentrasi Tata Kelola dan Hukum Wakaf pada Fakultas Hukum International Islamic University Malaysia). Email: fahmi78@gmail.com

Editor: smh

Sumber: Republika

0 Response

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel