Peran Baitul Mal dalam Pengelolaan Tanah Wakaf

Peran Baitul Mal dalam Pengelolaan Tanah Wakaf
Share

Oleh: H. Badruzzaman Ismail, SH, M.Hum
Mantan Pengurus Inti Badan Harta Agama

(I)

Dalam kehidupan sosial masyarakat Aceh, masih banyak sekali benda-benda ekonomi, baik “benda bergerak” ataupun “benda tidak bergerak/tetap” yang menurut syariat sudah jelas kedudukan dan pemberdayaannya, namun masih ada yang sangat sulit untuk dilaksanakannya. Padahal persoalan mencairkan pemahaman “benda-benda” itu untuk dilaksanakan bagi kepentingan umat, jauh lebih penting daripada kepentingan para elit-debater/ahli debat masalah yang hanya untuk kepentingan pemahaman diri dan atau kelompoknya. 

Misalnya, ”harta waqaf” yang begitu banyak pada setiap kabupaten/kota dalam Provinsi Aceh, masih ada dibawah penguasaan pribadi, lembaga-lembaga tertentu, gampong, mukim (ada yang dijual), sehingga kurang berdaya dan tidak efektif dalam pemberdayaan dan pengelolaannya, bila dibandingkan misalnya dengan pelaksanaan zakat/zakat jasa dibawah qanun pengelolaan dan wewenang Baitul Mal, bahkan menjadi bagian pendapatan daerah (UU Nomor 11 Tahun 2006) 

Keberhasilan pengelolaan zakat melalui Baitul Mal seperti sekarang ini, bukan didapatkan dengan mudah, melainkan melalui perjuangan panjang, menerobos berbagai tantangan paham hambatan, sejak tahun 1972, keluarnya surat Edaran Kanwil Departemen Agama untuk seluruh instansi agama di Aceh (yang saya konsep selaku Sekretaris Kanwil di bawah Pimpinan Kakanwil Depag Aceh, AKTA, MA), tentang Penertiban Harta Agama. Dilanjutkan kemudian dengan Pembentukan Badan Harta Agama (BHA) pada masa Gubernur Muzakkir Walad, kemudian  beralih menjadi Badan Amil Zakat (BAZIS) dimasa Safwan Idris (Rektor IAIN Ar-Raniry) dan  Gubernur Prof Dr Ibrahim Hasan MBA dan terakhir menjadi Badan Baitul Mal pada masa Gubernur Ir H Abdullah Puteh  sampai sekarang.  Saya terlibat langsung sebagai panitia/anggota tim, bersama kawan-kawan lainnya dalam proses konsep-konsep pembahasan/ perkembangan dan perencanaan, sejak konsep Edaran Kanwil Agama sampai terbentuknya Qanun Baitul Mal (tak pernah absen dalam proses suka-dukanya). 

Alhamdulillah, kini Baitul Mal telah tegak menjalankan tugasnya. Karena itu, Baitul Mal jangan merasa keenakan dengan hanya mengurus/pengelolaan zakat saja, karena semua itu sudah mapan, pasti dan sasaran, senif dan sistem pengelolaannya sudah berjalan. Tinggal sekarang ini, bagaimana pimpinan Baitul Mal pada semua tingkat (prov/kab/kota) mengembangkan visi dan misinya yang visioner, dengan semangat jihad, jujur, amanah, transparan untuk terus meningkatkan/mengenjot semua sisi/pihak untuk dapat menyetor/memungut zakat. 

Perlu disadari bahwa, karyawan dan lembaga Baitul Mal harus beda dengan birokrasi lain dalam bekerja dan penampilan. Semua itu untuk memelihara citra, cita-cita dan amal kebajikan bernilai syariat, yang selalu dipantau Allah SWT. Karena itu, Baitul Mal tak boleh bekerja sendiri, harus berani menggali berbagai sumber hukum produk baru (khususnya hukum Islam) dari berbagai pihak. Semoga Baitul Mal menjadi milik semua umat Islam/khususnya masyarakat Aceh dan dapat menjadi tauladan bagi dunia muslim, khususnya daerah-daerah lain secara nasional di Indonesia. 

Pengembangan harus dengan kontribusi masukan dari berbagai pihak; para pemikir, ulama, intelektual (di luar Baitul Mal), sehingga Baitul Mal tidak akan tergiring ke dalam ruang nuansa dan pola pikir birokrasi pemerintahan, melainkan betul-betul sebuah lembaga syariat, yang hidup dan berkembang dalam struktur organisasi pemerintahan dan undang-undang kekhususan (lex specialis) di bumi Aceh yang kita cintai. 

(II)

Persoalah inti yang ingin saya angkat, adalah berkaitan dengan fungsi dan tugas Baitul Mal, bukan hanya semata-mata menghimpun/mengelola zakat, tetapi sesuai dengan tugas pokoknya adalah semua harta agama, termasuk salah satu jenis harta agama adalah wakaf, berkaitan dengan tanah wakaf dan berbagai bentuk-bentuk wakaf lainnya, yang wajib diterobos, dikaji dan diprogramkan oleh Baitul Mal, bahkan sampai ke tingkat dukungan qanun bila diperlukan, baik pada tingkat provinsi, kabupaten/kota.  Ingat! Baitul Mal, bukan hanya urusaan zakat! Tetapi termasuk berbagai sumber harta agama lainnya, sehingga suatu saat Baitul Mal Aceh, betul-betul menjadi andalan/tauladan bagi masyarakat muslim dunia, termasuk daerah-daerah lain dan menjadi model nasional Indonesia.

Menyangkut wakaf, secara singkat dapat dipahami, sebagai berikut: Pertama, jumhur ulama berpendapat, bahwa harta yang sudah diwakafkan tidak lagi menjadi milik wakif dan aqadnya bersifat mengikat. Status harta tersebut berubah menjadi milik Allah SWT yang dipergunakan untuk kebajikan bersama, sehingga si wakif tidak boleh lagi bertindak hukum terhadap harta tersebut.

Kedua,  alasan jumhur, berdasarkah hadist Rasulullah SAW: bahwasanya Umar mempunyai sebidang tanah di Khaibar, lalu Umar berkata kepada Rasulullah: Ya Rasulullah, saya memiliki sebidang tanah di Khaibar yang merupakan harta saya yang paling berharga, lalu apa yang dapat saya lakukan terhadap harta itu (apa perintah engkau pada saya). Rasulullah SAW menjawab: jika kamu mau, wakafkan dan sedekahkan harta itu. Lalu Umar menyedekahkan harta itu dengan syarat tidak boleh dijual, tidak boleh dihibahkan dan tidak boleh diwariskan. Inilah yang merupakan dasar hukum utama menurut Ibnu Hajar al-Asqalani (muhaddist-hadist yang paling sahih), semenatra dasar hukum Al-Quran: Ali Imran; 92: Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Lihat juga Al-Baqarah: 267, “Infakkanlah dari sebagian hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untukmu.” 

Ketiga, menurut ulama mazhab Syafei, Hambali, Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani, apabila wakaf sudah memenuhi rukun dan syaratnya, maka pemilikan harta menjadi lepas dari tangan wakif dan berubah statusnya menjadi milik Allah SWT yang dipergunakan untuk kepentingan umum (Ensiklopedi Hukum Islam, Nomor 6).` 

Dari pemahaman itu, menunjukkan bahwa harta waqaf, jelas milik Allah SWT, yang dapat digunakan bagi sebesar-besar rahmat dan nikmat bagi kesejahteraan masyarakat umum, dengan jalan mendayagunakan dalam berbagai bentuk (pendidikan, melatih keterampilan (skill) masyarakat, mengolah sumber daya lingkungan (SDL), sosial ekonomi, membangun mentalitas moral agama, mencintai adat budaya dan berbagai kepentingan umum lainnya berdasarkan musyawarah dengan mempertimbangkan kebutuhan masyarakat yang lebih luas. 

Oleh karena itu, harta wakaf yang demikian banyak di Aceh, berada di tengah-tengah masyarakat, baik di gampong (desa), mukim dalam kabupaten/kota, perlu diinventarisir untuk segera mendapat sertifikasi Ikrar Wakaf, sesuai dengan aturan Undang-Undang yang berlaku. Baitul Mal perlu segera mengambil langkah-langkah dengan menggunakan wewenang hukum, baik dari qanun, peraturan gubernur/instruksi atau apapun namanya, sehingga secara seragam terdaftar secara resmi pada Baitul Mal Kabupaten/Kota dan propvinsi sebagai aset umat Islam.

Sistem Pemerintahan Aceh sekarang ini, sudah lebih mudah, karena sistem nilai adat budaya sudah diintegrasikan (sinkron) dalam sistem pemerintahan (lex specialis derogate lex generalis). Berdasarkan pada UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh,                                 untuk provinsi pasal 16 ayat (2) huruf a Urusan Wajib lainnya…dan untuk kabuapten/kota pasal 17 ayat (2) a Urusan wajib lainnya…cukup jelas amarnya: tentang pelaksanaan syariat Islam. 

Konon lagi dengan adanya Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2008 tentang Tatacara Pemilihan dan Pemberhentian Imeum Mukim di Aceh yontis Qanun Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim (meski dicabut dengan Qanun Nomor 3 Tahun 2008, namun terganjal belum tercabut) dan Qanun Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Gampong, dapat diberdayakan untuk mendukung berbagai hal tentang pelaksanaan syariat Islam, termasuk pengaturan wakaf.  

Atas dasar yuridis struktur pemerintahan ini, maka pengaturan administrasi/manajemen pengurusan waqaf dalam konteks Baitul Mal menjadi lebih mudah, karena jiwa (roh nilai-nilai adat masyarakat Aceh) telah terakomodasi bersamaan dengan nilai-nilai pemerintahan (formal) dalam qanun-qanun tersebut, meskipun masih banyak yang harus digali dan dikembangkan.            

Dengan menggunakan perangkat hukum tersebut, Baitul Mal dapat memenej dan mengadministrasikan pengelolaan harta wakaf berdampingan dengan sistem zakat yang telah berjalan  selama ini. Harus diingat, bahwa lahirnya Baitul Mal, bukan mudah hanya dengan kebijakan pemerintah daerah, melainkan proses kelahirannya dalam waktu panjang dengan penuh tantangan dan perjuangan. 

( III )

Betapa perhatian pemerintah terhadap pengurusan tanah wakaf, dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik yang kemudian dilanjutkan dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1977 tentang Tata Pendaftaran Tanah Mengenai Perwakafan Tanah Milik, Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1978 tentang Pelaksanaan PP Nomor 28 Tahun 1977, Instruksi Bersama Menteri Agama dan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1990 dan Nomor 24 Tahun 1990, Surat Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor:  630-5722-D.IV dan Surat Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji Nomor 15 Tahun 1990. 

Semua ketentuan-ketentuan tersebut, termasuk UU Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf  cukup memberi ruang untuk pengelolaan harta wakaf, meskipun sebagian besar berada di bawah nazir-nazir di bawah Kepala Kanwil Kementrian Agama  Provinsi Aceh, namun dapat diperjuangkan bagi pemberdayaan/pendayagunaan manajemen/pengelolaan untuk dialihkan berada di bawah   Baitul Mal Aceh (lex specialis harta wakaf), bukan urusan-urusan masyarakat yang berkaitan dengan (kerukunan) umat bergama. 

Kedua lembaga ini (Kanwil Kementerian Agama dan Baitul Mal Aceh) di bawah pimpinan pemerintah daerah, dapat memperjuangkan tentang pengelolaan harta wakaf ini kepada pemerintah pusat, untuk diberikan wewenang pengelolaan di bawah Baitul Mal Aceh  (ta peu but-but beuna payah, beik hanya mudah ngon pajoh laba).  Perlu diketahui, bahwa di Aceh tidak semua tanah wakaf itu di bawah Kantor Kementrian Agama, tetapi ada sebagian menjadi wewenang dan pemilik haknya adalah Badan Harta Agama (BHA) sebagai badan hukum yang sah (kini hak itu beralih ke Baitul Mal, setelah sebelumnya berada di bawah BAZIS). 

Seharusnya, pada saat BHA dialihkan ke BAZIS dan kemudian ke Baitul Mal, semua persoalan hukum (hak dan kewajiban) yang melekat pada BHA, secara mutatis mutandis beralih ke Baitul Mal. Salah satu hak yang melekat pada BHA, sebagai badan hukum, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor: 16-VIII-1`994, tanggal 17 Juni 1994 tentang Penunjukan Badan Harta Agama Provinsi Daerah Istimewa Aceh untuk memperoleh Hak Milik Atas  Tanah. Keputusan ini berdasarkan surat permohonan Ketua Badan Harta Agama Provinsi Daerah Istimewa Aceh tanggal 27 Januari 1992 Nomor: 10/A/1992 (saya sebagai konseptornya dan kebetulan salah seorang Pengurus inti BHA waktu itu). 

Berdasarkan keputusan di atas, BHA Aceh, mendapat bantuan biaya pengukuran sertifikasi dari Pemerintah Aceh (koordinasi dengan Kanwil Depag) BHA melakukan kontrak kerja dengan Kepala Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Aceh Besar dan Banda Aceh, untuk pengukuran dan memberikan sertifikasi tanah milik kepada BHA, bagi tanah-tanah yang selama ini berada di bawah BHA. Program pengurusan hak milik BHA, sesuai dengan anggaran yang disediakan oleh Pemerintah Aceh (diluar anggaran untuk Kanwil Depag), BHA mendahulukan pengukuran wilayah Aceh Besar dan Kota Banda Aceh. 

Alhamdulillah, BHA Banda Aceh dan Aceh Besar, telah dapat mengukur dan memperoleh status sertifikasi Hak Milik Tanah Wakaf sebanyak 1.187 (seribu seratus delapan puluh tujuh) fersil (terdiri atas tanah-tanah meusara, tanah waqaf, dalam bentuk sawah, kebun, tanah mesjid, tanah meunasah/mushalla, tanah tebat/kolam ikan, lapangan, tanah kosong, tanah rumah, tanah kuburan, tanah rumbia, sebagian sisanya masih dalam bundel dokumen BAZIS Provinsi Daerah Istimewa Aceh/berarti berada di Baitul Mal Aceh. 

Menurut informasi waktu itu, di Kanwil Departemen Agama, pengukuran tanah (Akte Ikrar Wakaf) di seluruh Aceh, sudah mencapai puluhan ribu hektar. Andainya semua tanah-tanah bisa dikelola di bawah Baitul Mal, dimana nazir sebagai pemegang hak garap, betapa aset waqaf ini akan memberi kesejahteraan bagi masyarakat Aceh.

Kini masyarakat mengharapkan Baitul Mal Aceh untuk mengambil prakarsa/gagasan, perencanaan untuk mengelola harta waqaf ini, bersama-sama dengan pengelolaan zakat untuk kejayaan dan kesejahteraan masyarakat miskin di Aceh.  Semoga!

Editor: smh

Sumber: Baitul Mal Aceh

0 Response

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel