Urgensi Wakaf dalam Islam
Oleh: Prof. Dr. Rusjdi Ali Muhammad, SH
Guru Besar UIN Ar-Raniry
Wakaf adalah salah satu akad mu’amalah yang tidak pernah dikenal dalam sejarah sebelum Islam. Rasulullah saw memberi petunjuk kepada para sahabatnya berupa anjuran untuk mewakafkan harta dengan cara yang berbeda dengan sedekah secara umum. Jika seseorang memberi sedekahkan kepada orang miskin, maka harta itu akan habis dimanfaatkan oleh orang miskin, karena harta itu telah menjadi haknya. Sehingga jika suatu saat datang orang miskin yang lain, dia tidak bisa memanfaatkan harta tadi karena telah habis.
Berbeda dengan harta wakaf, ia tidak akan habis, karena yang dimanfaatkan hanyalah manfaat harta saja, sedangkan barang asalnya menjadi dana atau harta abadi, tidak boleh dijual, tidak boleh dihibahkan, dan tidak pula diwariskan. Wakaf adalah instrumen ekonomi Islam yang unik yang mendasarkan fungsinya pada unsur kebajikan (birr), kebaikan (ihsan) dan persaudaraan (ukhuwwah).
Ciri utama wakaf: pergeseran kepemilikan pribadi menuju kepemilikan umum yang abadi, memberi manfaat berkelanjutan. Melalui wakaf diharapkan terjadi proses distribusi dari manfaat pribadi (private benefit) menuju manfaat umum (social benefit). Tapi mayoritas umat mempersepsikan wakaf keagamaan (masjid, mushalla, makam) lebih penting daripada untuk pemberdayaan sosial.
Kalaupun ada, para wakif biasanya menyumbangkan tanah atau bangunan kepada nazhir, namun jarang terfikir biaya operasional dan pengembangan ekonominya.
Dasar hukum wakaf
Dalil dari Alqur’an secara umum tentang wakaf: “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS Ali ‘Imran: 92).
Begitu pula ditunjukkan oleh firman-Nya: “Apapun harta yang baik yang kamu infakkan, niscaya kebaikannya untuk dirimu sendiri. Dan janganlah kamu berinfaq melainkan karena mencari ridha Allah. Dan apapun harta yang kamu infaqkan niscaya kamu akan diberi pahalanya secara penuh dan kamu sedikit pun tidak akan dianiaya (dirugikan).” (QS al-Baqarah: 272).
Yang menjadi dasar dalam masalah wakaf ini adalah kisah Amirul Mukminin, Umar bin al-Khaththab, yang memiliki tanah di Khaibar. Tanah tersebut adalah harta paling berharga yang beliau miliki. Beliau datang menemui Rasulullah untuk meminta pendapat tentang apa yang seharusnya dilakukan dengan tanah tersebut.
Nabi memberi petunjuk kepada Umar untuk mewakafkan, “Jika engkau mau, engkau tahan harta tersebut dan engkau sedekahkan hasilnya.” (HR. Bukhari-Muslim). Inilah wakaf pertama dalam sejarah Islam yang belum dikenal di masa jahiliah.
Syariat wakaf juga ditunjukkan oleh hadits: “Apabila seorang manusia meninggal dunia, terputus darinya amalnya, kecuali dari tiga hal (yaitu): dari sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim).
Imam Nawawi berkata terkait dengan hadits ini, “Dalam hadits ini ada dalil yang menunjukkan tentang benar/sahnya wakaf dan besarnya pahalanya.” (al-Minhaj, Syarh Shahih Muslim).
Para ahli fikih menggunakan tiga kata dalam mendefinisikan wakaf, yaitu: waqf, habas dan al-imsak. Dalam kamus Al-Wasith disebutkan al-habsu artinya al-man’u (mencegah atau melarang) dan al-imsak (menahan) seperti dalam kalimat habsu as-syai’ (menahan sesuatu), bima’na waqfuhu: la yuba’ wa la yurats (wakafnya tidak dijual dan tidak diwariskan).
Menurut Ibnu Faris tentang kata habs: al-habsu ma wuqifa, al-habsu artinya sesuatu yang diwakafkan. Baik al-habsu maupun alwaqf sama-sama mengandung makna al-imsak (menahan), al-man’u (mencegah atau melarang), dan attamakkuts (diam). Disebut menahan karena wakaf ditahan dari kerusakan, penjualan dan semua tindakan yang tidak sesuai dengan tujuan wakaf. Selain itu juga karena manfaat dan hasilnya ditahan dan dilarang bagi siapa pun selain dari mereka yang berhak atas wakaf tersebut.
Menurut Mundzir Qahf, wakaf adalah memberikan harta atau pokok benda yang produktif terlepas dari campur tangan pribadi, guna menyalurkan hasil dan manfaatnya secara khusus sesuai dengan tujuan wakaf, baik untuk kepentingan perorangan, masyarakat, agama atau umum.
Al-Minawi mendefinisikan, “Menahan harta benda yang dimiliki dan menyalurkan manfaatnya dengan tetap menjaga pokok barang dan keabadiannya yang berasal dari para dermawan atau pihak umum yang bukan berasal dari harta maksiat semata-mata karena ingin mendekatkan diri kepada Allah Swt.”
Dimensi ekonomi wakaf
Dewasa ini, muncul pemikiran untuk menggerakkan roda perekonomian melalui penambahan dana dari luar sistem negara, antara lain melalui pengembangan wakaf secara produktif. Yakni dengan cara memberdayakan asset ekonomi masyarakat yang ada dalam harta wakaf.
Harta wakaf perlu dikelola secara produktif agar menghasilkan peluang bagi terbukanya sektor strategis yang menguntungkan, seperti membuka lapangan kerja baru dan pengelolaan pelayanan publik yang meringankan beban ekonomi masyarakat.
Dengan melakukan wakaf, seseorang telah memindahkan harta dari upaya konsumsi menuju reproduksi dan investasi dalam bentuk modal produktif yang dapat memproduksi dan menghasilkan sesuatu yang bisa dikonsumsi pada masa-masa yang akan datang, baik oleh pribadi maupun kelompok.
Dengan demikian, wakaf merupakan kegiatan saving (simpanan) dan investasi secara bersamaan. Kegiatan ini mencakup kegiatan menahan harta wakaf, baik secara langsung maupun setelah berubah menjadi barang konsumsi, sehingga tidak dikonsumsi saat ini, dan pada saat yang bersamaan ia mengubah pengelolaan harta menjadi investasi yang bertujuan untuk meningkatkan jumlah harta produktif.
Wakaf menghasilkan pelayanan dan manfaat, seperti masjid, manfaat tempat tidur orang sakit di rumah sakit atau tempat duduk untuk kegiatan belajar siswa di sekolah. Wakaf ini juga bisa menghasilkan barang atau pelayanan lainnya yang dapat dijual kepada para pemakai dan hasil bersihnya disalurkan sesuai dengan tujuan wakaf.
Pembentukan wakaf Islam menyerupai pembentukan semacam yayasan ekonomi (economic corporation) yang mempunyai wujud abadi, sebuah gagasan yang melampaui zamannya ketika ia diperkenalkan dahulu.
Jadi, wakaf merupakan kegiatan yang mengandung unsur investasi masa depan dan mengembangkan harta produktif untuk generasi yang akan datang sesuai dengan tujuan wakaf, baik berupa manfaat, pelayanan dan pemanfaatan hasilnya.
Wakaf dapat menjadi saham, dan bagian atau unit dana investasi. Sistem wadi’ah untuk tujuan investasi di bank-bank Islam merupakan bentuk wakaf modern yang penting.
Wakaf seperti ini dapat memberi gambaran tentang visi dimensi ekonomi wakaf Islam, sebagaimana yang telah dipraktikkan para sahabat, bermula dari wakaf sumur Raumah oleh Utsman bin Affan dan wakaf tanah perkebunan Khaibar oleh Umar bin Khattab pada masa Nabi Muhammad, disusul dengan wakaf tanah, pohon-pohanan dan bangunan oleh para sahabat lainnya.
Paradigma wakaf seperti itu juga telah dinyatakan oleh para imam madzhab pada abad ke-2 dan ke-3 dalam beberapa kajian studi dan uraian fikih mereka. Jadi secara ekonomi, wakaf Islam adalah membangun harta produktif melalui kegiatan investasi dan produksi saat ini, untuk dimanfaatkan hasil bagi dimasa yang akan datang.
Wakaf seperti ini mengorbankan kepentingan konsumsi sekarang demi tercapainya pengembangan harta produktif yang berorientasi sosial, dan hasilnya akan dirasakan secara bersama oleh masyarakat.
Wakaf menjadi solusi bagi pengembangan harta produktif di tengah-tengah masyarakat dan solusi dari keserakahan pribadi dan kesewenang-wenangan negara. Wakaf secara khusus dapat membantu kegiatan masyarakat umum sebagai bentuk kepedulian terhadap umat, dan generasi yang akan datang.
Pandangan Islam terhadap praktik wakaf sosial seperti ini telah lama berlangsung sepanjang sejarah Islam, bahkan bentuk dan tujuannya berkembang pesat. Maka wajar kalau jumlah wakaf Islam banyak sekali dan menyebar di seluruh negara-negara berpenduduk mayoritas muslim, yang dapat memacu angka pertumbuhan ekonomi.
Editor: smh
Sumber: Gema Baiturrahman
0 Response
Posting Komentar