Wakaf Uang untuk Semua Lapisan Umat

Wakaf Uang untuk Semua Lapisan Umat
Share

Oleh Dr. Zaki Fuad, M.Ag

Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis IAIN Ar-Raniry

Salah satu keunggulan sistem hukum Islam bersifat luas dan luwes. Keluasan dan keluwesan sangat mungkin terjadi karena adanya teks-teks nash agama yang bersifat umum dari kedua sumber utama ajaran Islam. Ini membuka peluang dilakukan reinterpretasi pemahaman secara kontekstual melalui ijtihad para ulama yang sah sepanjang masa secara dinamis. Dinamika Perubahan masyarakat yang sangat pesat terjadi di bidang  interaksi muamalah antar manusia. Satu bagian penting dari rubu’ muamalah adalah wakaf. Persoalan wakaf terus berkembang baik benda-benda yang akan diwakafkan (mawkuf) maupun cara pengelolaannya. Karena persoalan ini  termasuk ke dalam ibadah ghayrmahdhah terbuka lahan ijtihad syara’ yang sah karenanya wakaf dapat berkembang sesuai perkembangan manusia dan zaman. Di antara hikmahnya wakaf dapat menjadi cara dan sarana yang tepat untuk menginfakkan harta di jalan Allah dan secara lestari membantu orang lain yang berpahala sepanjang masa. 

Secara bahasa kata wakaf berasal dari bahasa Arab, akar katanya waqafa-yaqifu-waqfan berarti menahan. Sedangkan menurut terminologi MUI mendefinisikan wakaf: menahan harta yang dapat dimanfaatkan tanpa lenyap bendanya, dengan cara tidak melakukan tindakan hukum terhadap benda tersebut, hasilnya disalurkan pada sesuatu yang mubah (tidak haram).

Selain itu, dalam KHI pasal 215 ayat (1) dan (4) wakaf diartikan sebagai: perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya guna kepentingan ibadah atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam. 

Dari kedua definisi itu dapat dipahami, bahwa benda asal wakaf tidak boleh diperjualbelikan, diwarisi atau dihibahkan, dan kedua, hasilnya harus dipergunakan sesuai permintaan wakif (pewakaf) atau untuk kepentingan umum yang seusai dengan kepentingan syariat.

Dilihat dari segi bentuk ‘ayn (zat) benda yang diwakafkan (mawquf), wakaf dapat dibagi kepada wakaf benda tidak bergerak dan wakaf benda bergerak. Wakaf benda tetap seperti tanah, bangunan dan lain-lain. Sementara wakaf benda bergerak: ternak, kendaraan dan barang tidak tetap lainnya. Wakaf  uang atau wakaf produktif yang dalam bahasa Arab disebut wakaf naq dan atau cashwaqf dalam bahasa Inggris termasuk wakaf bergerak.Wakaf tunai (cash wakaf) adalah wakaf yang mawqufnya bukan dalam bentuk tanah atau benda tidak bergerak lainnya (fixed asset), tetapi dalam bentuk uang (cash) yang merupakan aset lancar dan barang tidak tetap lainnya. Dengan kata lain, kita melihat beberapa kelebihan yang dapat diperoleh melalui wakaf tunai, antara lain, orang yang ingin mewakafkan hartanya tidak mesti orang kaya, karena jumlah nominal wakaf tunai dapat dipecah-pecah sedemikian rupa, mulai dari Rp 5000; Rp 10.000; Rp 100.000; sejuta, lima juta dan seterusnya sesuai kemampuan ekonomi wakif. 

Setidaknya, terdapat empat manfaat utama dari wakaf tunai, yaitu: pertama, wakaf tunai jumlah bisa bervariasi, sehingga seseorang  yang memiliki dana terbatas sudah bisa mulai memberikan dana wakafnya tanpa harus menunggu menjadi tuan tanah terlebih dahulu. Kedua, melalui wakaf tunai, aset-aset wakaf yang berupa tanah-tanah kosong bisa mulai dimanfaatkan dengan pembangunan gedung atau diolah untuk lahan pertanian atau produktif lainnya. Ketiga, dana wakaf tunai juga bisa membantu sebagian lembaga-lembaga pendidikan Islam yang cashflow-nya terkadang kembang kempis dan menggaji civitas akademika ala kadarnya. Keempat, umat Islam dapat lebih mandiri ekonominya dalam mengembangkan dunia pendidikan, tanpa harus terlalu tergantung pada anggaran pendidikan negara yang memang semakin terbatas.  

Sebagai ilustrasi, katakanlah saya bermaksud mewakafkan Rp 5.000.000, lima juta rupiah. Uang ini saya depositokan atau membeli saham atau investasikan pada Bank Aceh Syariah untuk dan atas nama Baitul Mal Aceh, sehingga hasil mudharabahnya atau musharakahnya sesuai perjanjian hasilnya diserahkan oleh bank tersebut kepada Baitul Mal Aceh untuk dimanfatkan, misalnya memberi modal usaha kepada mustahik atau dana sosial lainnya sesuai koridor syariat. Bentuk tunai yang diberikan oleh pewakaf sangat fleksibel dalam penggunaannya. Nazir dapat membeli saham di perusahaan-perusahaan bonafit yang diproyeksikan akan memberi profit  bagus yang nanti hasilnya disedekahkan kepada mustadh’afin. 

Contoh lain, Di Cairo, Mesir ada sebuah masjid tua kecil yang diperkirakan berusia 80-an tahun yang tidak berubah kondisinya. Tetapi setelah terjamah oleh dana dari hasil wakaf tunai, dalam waktu sangat singkat, masjid tersebut telah menjadi beberapa tingkat. Di pekarangannya telah dibangun sebuah klinik kesehatan yang luas, dengan pelayanan yang diberikan dokter spesialis secara gratis; di masjid itu pula dibangun ruangan  bimbingan belajar dengan fasilitas dan tenaga profesional dan tersedia media pembelajaran yang canggih diberikan secara cuma-cuma. Kesemua dana operasional ini berasal dari hasil keuntungan dana wakaf tunai.   

Dari segi hukum, Majelis Ulama Indonesia Pusat dengan tegas menyatakan, bahwa hukum waqaf tunai adalah boleh (jaiz) sesuai keputusan fatwa yang tertuang dalam surat Dt.1.III/5/BA.03.2/2772/2002 tanggal 28 Safar1423 H/11 Mei 2002. Hasil fatwa ini didasarkan pada firman Allah dalam surah Ali Imran ayat (92); al-Baqarah ayat (261-262); hadis riwayat Muslim. Hadis nabi dari abu Hurairah, “Barang siapa yang mewakafkan seekor kuda di jalan Allah dengan iman dan ikhlas, maka sesungguhnya jasad, kotoran dan kencingnya akan ditimbang sebagai kebaikan.” (Lihat Shahih Bukhari juz. IV hal. 35).

Dalam catatan sejarah, wakaf tunai sudah dipraktikkan sejak awal abad kedua hijriah. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari, bahwa Imam al-Zuhri wafat 124 H salah seorang terkemuka dan peletak tadwinal hadis memfatwakan, dianjurkan wakaf dinar dan dirham untuk pembangunan sarana dakwah, sosial dan pendidikan umat Islam. Adapun caranya adalah dengan menjadikan uang tersebut sebagai modal usaha kemudian menyalurkan keuntungannya sebagai wakaf. 

Kendala manajemen 

Dalam realita kehidupan pengelolaan harta wakaf di Aceh pada umumnya para nazir wakaf belum mempunyai kemampuan manajerial dalam pengelolaan tanah atau bangunan, sehingga harta wakaf tidak banyak manfaat bagi masyarakat sekitar. Pola pengelolaan didasarkan pada insting ketokohan, yang tidak didasarkan kepada visi pemberdayaan yang memadai. Akibatnya, pengelolaan wakaf tidak sesuai dengan pesan nabi kepada Umar bin Khatthab terkait dengan wakaf. 

Dengan kondisi ekonomi umat Islam yang masih dalam keterpurukan ekonomi yang sangat menyedihkan, baik di bidang pendidikan, kesehatan, teknologi maupun bidang sosial lainnya, sudah waktunya daya tarik wakaf diwujudkan melalui pengelolaan secara profesional-produktif. Keprofesionalan yang dilakukan meliputi aspek: manajemen, SDM kenaziran, pola kemitraan usaha dan peningkatan dukungan political will pemerintah secara nyata untuk kepentingan kesejahteraan rakyat dengan dukungan UU Wakaf dan UU Otonomi Daerah. Dengan mengaca pada sejarah perkembangan dan manajemen wakaf di negara-negara muslim, sejatinya wakaf merupakan salah satu instrumen ekonomi yang sangat potensial untuk menopang kesejahteraan masyarakat banyak. Namun, sampai  kini peran wakaf belum dirasakan manfaatnya oleh kepentingan umum. Untuk itu, upaya-upaya pengembangan wakaf harus terus dilakukan oleh berbagai pihak.

Pengelolaan harta wakaf selama ini di Aceh terlihat sangat payah, karena disebabkan oleh banyak hal, seperti paham konservatisme umat Islam mengenai konsep wakaf, banyaknya tanah wakaf yang belum bersertifikat, pro-kontra pengalihan pengelolaan wakaf, banyaknya harta wakaf yang tidak strategis dan kendala perundang-undangan yang ada kaitannya dengan manajemen wakaf. 

Wakaf tunai dalam bentuk uang atau surat-surat berharga lainnya merupakan terobosan yang cukup signifikan dalam dunia perwakafan, karena kesemua ini merupakan variabel penting dalam pengambangan ekonomi. Yang menjadi ukuran dari wakaf tunai ini adalah,  aspek kemanfaatan zat (benda yang diwakafkan) menjadi esensi dari jenis benda wakaf ini, bukan aspek zat benda wakaf itu sendiri. Sehingga dengan diaturnya benda wakaf seperti uang, saham dan surat berharga lainnya diharapkan bisa menggerakkan seluruh potensi wakaf untuk kesejahteraan masyarakat luas, diantara cara pemberdayaan dana wakaf tunai adalah dengan mekanisme investasi.  

Kendala utama dalam upaya memajukan wakaf tunai di Aceh adalah melalui sosialisasi yang intens dari semua stakeholders dan diperlukan percepatan political will pemerintah, karena sudah ada payung hukumnya. Pembekalan manajemen dan metode fundraising yang menentukan maju atau tidaknya pengelolaan wakaf di Aceh, karena selama ini masih dikelola secara tradisinal. Selain itu, pemerintah juga harus menyediakan insentif terhadap biaya pengurusan sertifikat wakaf pada instansi terkait, agar dengan cara ini masyarakat akan merasakan keikutsertaan pemerintah dalam memajukan gerakan wakaf di Aceh untuk kesejahteraan umat.*

Editor: smh 

Sumber: Baitul Mal Aceh

0 Response

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel