Bolehkah Wakif Menerima Manfaat Wakaf

Bolehkah Wakif  Menerima Manfaat Wakaf
Share

Oleh: Dr. Fahruroji, Lc, MA

Wakil Sekretaris BWI  

Dalam wakaf yang menjadi esensinya adalah maukuf alaih yaitu manfaat wakaf yang diterima oleh pihak yang ditetapkan oleh wakif pada saat ikrar wakaf, atau berfungsinya harta benda wakaf sesuai dengan tujuan wakaf yang selain untuk memenuhi ibadah kepaa Allah SWT, juga untuk kepentingan sosial, dakwah, dan ekonomi, seperti menyediakan fasilitas umum, sarana dan kegiatan ibadah, dakwah, pendidikan serta kesehatan, bantuan kepada fakir msikin, anak terlantar, yatim piatu, pengembangan sumber daya manusia atau pemberian beasiswa, bantuan permodalan, penyediaan lapangan kerja, mengurangi kemiskinan, meningkatkan ekonomi umat, dan mengurangi beban anggaran negara. Manfaat wakaf yang diterima oleh maukuf alaih secara berkelanjutan inilah yang menjadikan wakaf sebagai sedekah jariyah yang pahalanya terus mengalir kepada wakif meskipun ia telah meninggal dunia.

Pemenuhan hak maukuf alaih dari harta benda wakaf dapat dilakukan secara langsung melalui wakaf langsung atau dari hasil pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf melalui wakaf produktif.  Yang  dimaksud  dengan  wakaf  langsung  adalah wakaf yang digunakan untuk memberikan pelayanan langsung kepada maukuf alaih seperti masjid sebagai tempat shalat, sekolah sebagai tempat belajar, majelis taklim tempat mengaji, dan pelayanan langsung lainnya yang mencerminkan manfaat nyata atas harta benda wakaf. Adapun yang dimaksud dengan wakaf produktif adalah wakaf untuk kegiatan-kegiatan usaha produktif atau wakaf yang tidak dimaksudkan untuk dimanfaatkan secara langsung, namun dikelola secara produktif yang hasilnya untuk kepentingan maukuf alaih.

Berbeda dengan zakat yang sudah ditetapkan dalam al-Qur’an siapa saja mustahik yang berhak menerima zakat, dalam wakaf tidak ada ketetapan secara khusus pihak mana saja yang berhak menerima manfaat wakaf, sehingga bentuknya bisa bermacam-macam sesuai dengan yang dikehendaki oleh wakif pada saat ikrar wakaf, atau sesuai dengan tujuan wakaf, atau sesuai dengan semangat filantropi Islam lainnya yaitu zakat, infak, dan sedekah yang tujuan utamanya adalah membantu fakir miskin dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam wakaf, wakif memiliki kebebasan atau otoritas penuh untuk menetapkan maukuf alaih pada saat ikrar wakaf dan ketetapannya bersifat mengikat, tidak boleh diubah, dan harus dilaksanakan. Namun, jika ada wakaf yang belum ditetapkan maukuf alaih-nya oleh wakif, penetapan maukuf alaih dilakukan sesuai dengan tujuan wakaf atau untuk keperluan fakir miskin.

Kebebasan dalam menetapkan maukuf alaih ini dalam praktiknya memunculkan banyak kreasi yang dibuat oleh lembaga wakaf dalam membuat produk wakaf untuk menarik minat orang atau lembaga agar mau berwakaf, ada yang membuat produk wakaf dan menawarkannya kepada publik dengan menetapkan maukuf alaih-nya dalam bentuk insentif guru mengaji, umrah marbot, makam untuk dhuafa, dan sebagainya. Bahkan ada juga yang ingin menetapkan wakif sebagai maukuf alaih dalam produk wakafnya dengan memberikan manfaat wakaf atau sebagian dari keuntungan pengelolaan wakaf kepada wakif, dengan alasan produk wakaf akan mudah diterima dan untuk mendorong percepatan penghimpunan wakaf.

Meskipun maukuf alaih bentuknya bisa bermacam-macam tetapi dalam penetapannya ada batasan-batasan atau syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh para ulama, yaitu:

Pertama, maukuf alaih harus berbentuk kebajikan sebagai wujud ketaatan kepada Allah dan qurbah atau pendekatan diri kepada-Nya. Ulama Hanafiyyah mensyaratkan pendekatan diri kepada Allah yang sesuai dengan syariah Islam dan keyakinan wakif, sehingga mereka berpendapat sah hukumnya wakaf dari seorang muslim atau non muslim untuk sekolah, yatim piatu, dhuafa, fakir miskin yang muslim dan yang non muslim, dan yang semisalnya. Tidak sah wakaf dari seorang muslim atau non muslim untuk tempat ibadah non muslim seperti gereja, dan tidak sah wakaf dari non muslim untuk masjid kecuali untuk baitul maqdis. Sementara ulama Syafi’iyyah, Hanabilah, dan Malikiyyah tidak mensyaratkan qurbah, tetapi mensyaratkan tidak boleh untuk kemaksiatan atau diberikan kepada pelaku maksiat, seperti pencuri dan  peminum  khamr.

Maukuf alaih harus merupakan pihak yang tidak terputus. Dalam membahas syarat yang kedua ini, ada dua istilah yang perlu dipahami yaitu al-waqf al-munqati’ dan al-waqf gayr al- munqati’. Al-waqf al-munqati’ adalah wakaf yang manfaatnya diberikan kepada pihak yang bisa punah, dan setelahnya tidak ada ketetapan untuk diberikan kepada pihak yang tidak terputus. Adapun al-waqf gayr al-munqati’ adalah wakaf yang manfaatnya diberikan kepada pihak yang tidak bisa punah seperti fakir miskin, atau wakaf yang manfaatnya diberikan kepada pihak secara berkelanjutan tanpa putus. Ulama Syafi’iyyah dan Hanafiyyah berpendapat tidak boleh manfaat wakaf diberikan kepada pihak yang terputus, tetapi menurut Hanabilah manfaat wakaf boleh diberikan kepada pihak yang terputus, sedangkan menurut ulama Malikiyyah al-waqf al-munqati’ tidak boleh karena mereka membolehkan wakaf untuk jangka waktu tertentu atau wakaf sementara dan wakaf untuk jangka waktu selamanya atau wakaf selamanya, jika pihak yang menerima manfaat wakaf terputus maka diberikan kepada fakir miskin yang paling dekat silsilahnya dengan wakif untuk wakaf selamanya, sedangkan untuk wakaf sementara yang penerima manfaat wakafnya terputus maka wakafnya kembali menjadi milik wakif atau ahli warisnya.

Kedua, manfaat wakaf tidak boleh kembali kepada wakif atau wakif tidak boleh menerima manfaat wakaf dengan menjadi maukuf alaih. Hal ini karena dengan telah diwakafkannya harta benda milik wakif maka kepemilikannya atas harta benda wakaf itu telah hilang, dan ia tidak boleh menerima manfaat dari harta benda yang telah diwakafkannya kecuali jika ia termasuk ke dalam maukuf alaih yang umum, seperti seseorang yang mewakafkan masjid maka ia boleh melaksanakan shalat di masjid tersebut. Apabila manfaat wakaf kembali kepada wakif, maka mayoritas ulama berpendapat wakafnya tidak sah karena bertentangan dengan keluarnya harta benda wakaf dari kepemilikan wakif, juga karena wakif tidak boleh memiliki untuk dirinya dari harta benda miliknya yang telah diwakafkan. Namun menurut Abu Yusuf wakafnya tetap sah karena wakaf telah terlaksana dengan ucapan tanpa penyerahan. Maukuf alaih harus merupakan pihak yang boleh untuk memiliki. Para ulama sepakat bahwa wakaf adalah kepemilikan manfaat, maka tidak boleh menjadi maukuf alaih kecuali yang boleh memiliki seperti manusia, atau yang mempunyai manfaat seperti masjid, sekolah, dan rumah sakit. 

Selanjutnya yang perlu untuk diperhatikan bahwa kehadiran maukuf alaih tidak disyaratkan pada saat ikrar wakaf, seperti wakaf yang manfaatnya untuk Zaid dan anak-anaknya serta keturunannya, dan setelah mereka untuk fakir miskin, atau untuk masjid. Demikian juga tidak disyaratkan maukuf alaih harus ditentukan dengan nama dan dibatasi, sebab dimungkinkan maukuf alaih ditentukan dengan sifat tanpa dibatasi seperti fakir miskin, fuqaha, para imam dan khotib. Apabila ketika ikrar wakaf, mawquf alayh belum ditentukan maka yang menjadi maukuf alaih adalah fakir miskin, mereka yang berhak untuk menerima manfaat wakaf sebab penyaluran manfaat wakaf asalnya untuk fakir miskin.

Mengenai kehadiran maukuf alaih, disebutkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Wakaf Pasal 30 ayat (1) Pernyataan kehendak wakif dituangkan dalam bentuk Akta Ikrar Wakaf sesuai dengan jenis harta benda yang diwakafkan, diselenggarakan dalam Majelis Ikrar Wakaf yang dihadiri oleh nazhir, maukuf alaih, dan sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi. Ayat (2) Kehadiran nazhir dan maukuf alaih dalam Majelis Ikrar Wakaf untuk wakaf benda bergerak berupa uang dapat dinyatakan dengan surat pernyataan nazhir dan/atau mawquf alayh. Ayat (3) Dalam hal maukuf alaih adalah masyarakat luas (publik), maka kehadiran maukuf alaih dalam Majelis Ikrar Wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak disyaratkan.

Akhirnya, jika wakif tidak boleh menerima manfaat wakaf atau menjadi maukuf alaih, tidak demikian dengan anak dan keturunan wakif, mereka boleh menerima manfaat wakaf apabila wakafnya dalam bentuk wakaf ahli (wakaf keluarga), yaitu wakaf yang manfaatnya diperuntukkan bagi kesejahteraan umum sesama kerabat berdasarkan hubungan darah (nasab) dengan wakif, atau wakafnya dalam bentuk wakaf musytarak (wakaf gabungan) antara wakaf ahli dan wakaf khairi, yaitu wakaf yang sebagian manfaatnya untuk kesejahteraan keluarga wakif, dan sebagian manfaatnya  lagi untuk kesejahteraan umat. Maka strategi yang harus dipilih untuk memperbanyak wakaf adalah membuat produk wakaf yang manfaatnya untuk kesejahteraan keluarga wakif dan/atau yang manfaatnya untuk kesejahteraan keluarga wakif dan juga untuk kesejahteraan umat, bukan dengan membuat produk wakaf yang menjadikan wakif sebagai maukuf alaih (penerima manfaat wakaf) karena ulama melarangnya.*

Disarikan dari Buku Wakaf Kontemporer, BWI, (2019).

Editor: smh

0 Response

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel