Hukum Pergantian Harta Wakaf

Hukum Pergantian Harta Wakaf
Share

Oleh: Azharsyah Ibrahim, Bismi Khalidin,

Israk Ahmadsyah dan Fithriady Ilyas

Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry

Kata wakaf dalam bahasa Arab mengandung beberapa pengertian: menahan atau berhenti atau menahan harta untuk tidak dipindahmilikkan (Wahbah Zuhaili, 2002: 7599). Sedangkan dalam hukum Islam, para ulama berbeda pendapat tentang arti wakaf secara istilah (hukum). Mereka mendefinisikan wakaf dengan definisi yang beragam, sesuai dengan perbedaan mazhab yang mereka anut baik dari segi kelaziman dan ketidak-lazimannya, syarat pendekatan di dalam masalah wakaf ataupun posisi pemilik harta wakaf setelah diwakafkan. 

Selain itu, juga perbedaan persepsi di dalam tata cara pelaksanaan wakaf, apakah bisa dianggap sah atau gugur? Demikian juga terhadap hal-hal yang berkaitan dengan wakaf, seperti serah terima secara sempurna, dan sebagainya.

Ketika mendefinisikan wakaf, para ulama merujuk kepada para Imam mazhab, seperti Abu Hanifah, Malik, Syafi‘i, dan imam-imam lainnya. Maka yang terlintas di benak kita, setelah membaca definisi-definisi yang mereka buat, seolah-olah definisi tersebut adalah kutipan dari mereka. Padahal, kenyataannya tidak demikian, karena definisi-definisi itu hanyalah karangan-karangan ahli fikih yang datang sesudah mereka, sebagai aplikasi dari kaidah-kaidah umum masing-masing imam mazhah yang mereka anut. 

Sehingga, setiap definisi sangat sesuai dengan kaidah-kaidah masing-masing Imam mazhab (Muawwad Muhammad Mustafa Sarhan, 1947: 18). Merujuk kepada kitab-kitab fikih yang beragam, ternyata, banyak sekali definisi mengenai wakaf yang sulit dipaparkan semuanya di sini. Oleh karena itu, kami akan paparkan definisi yang representatif.

Definisi tersebut adalah definisi yang dikemukakan oleh Ibn Qudamah, dan yang  sependapat   dengannya,   bahwa   wakaf   adalah  menahan   asal   dan mengalirkan hasilnya. Adapun alasan pemilihan definisi ini (Muhammad Abid, 2004: 61): Pertama, bahwa definisi ini dikutip dari hadits Nabi saw  kepada Umar bin Khathab ra menahan yang asal dan mengalirkan hasilnya dan, Nabi saw adalah orang yang paling benar ucapannya dan yang paling sempurna penjelasannya, serta yang paling mengerti akan sabdanya.

Kedua, definisi ini tidak ditentang, seperti definisi yang lainnya. Ketiga, definisi ini hanya membatasi pada hakikat wakaf saja dan tidak mengandung perincian yang dapat mencakup definisi yang lain, seperti mensyaratkan niat mendekatkan diri kepada Allah, atau tetapnya kepemilikan wakif atau keluar dari kepemilikannya, dan perincian-perincian yang lainnya. 

Tetapi, perincian itu diserahkan atau dibahas dalam pembicaraan rukun-rukun dan syarat-syaratnya. Sebab, jika dimasukkan perinciannya, justru bisa menyimpangkan definisi tersebut dari dalalahnya (maksud dan tujuan), dan menjauhi dari sasarannya.

Hukum wakaf

Secara global, wakaf dikenal sejak masa Rasulullah saw karena wakaf disyariatkan setelah Nabi saw berhijrah ke Madinah pada tahun kedua Hijriyah. Wakaf tidak berbeda dengan sedekah yang hukumnya sunnah. Dalam hal ini, wakaf memiliki ciri khas, bahwa ia adalah sedekah jariah yang dijelaskan oleh Allah dan Rasulnya dalam al-Quran dan Hadist.

Firman  Allah, “Kamu  sekali-kali  tidak  sampai  kepada  kebajikan  (yang sempurna),sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS  Ali Imran [3]: 92).

Ayat tersebut mengisyaratkan anjuran bersedekah. Sedangkan, wakaf adalah bentuk dari sedekah. Anas bin Malik berkata, ketika ayat ini turun, Abu Thalhah  berkata, sesungguhnya  Allah  meminta  kami  mengeluarkan  sebahagian harta yang ada pada kami, maka saksikanlah wahai Rasulullah, saya jadikan tanah saya  untuk  Allah, kemudian  Rasulullah  bersabda,  berikanlah  kepada  sanak keluargamu, yaitu Hasan bin Tsabit dan Ubay Bin Ka‘ab (Al-Bukhari, 1319H: 246).

Dalam  menafsirkan  ayat  ini,  Imam  Qurthubi  berkata, dalam  ayat  ini terdapat petunjuk yang membolehkan penerapan makna tekstual, beserta cakupan maknanya secara umum. Sebab, para sahabat tidak memahami maknanya selain yang tertera pada teks (Qurthubi, 1949: 132).

Rasulullah  saw bersabda:  Apabila  manusia  wafat,  terputuslah  amal perbuatannya, kecuali dari tiga hal, yaitu sedekah jariyah, ilmu pengetahuan yang dimanfaatkan atau anak yang saleh yang selalu mendoakannya (Muslim, 1929: 85).

Hadist ini menegaskan bahwa sedekah merupakan amalan yang pahalanya tidak akan terputus. Sementara, sedekah itu sendiri tidak mungkin diberikan, kecuali dengan cara menahannya (mewakafkan). Oleh karena itu, wakaf merupakan amalan yang dianjurkan oleh syara‘.

Berkaitan   dengan   hadits ini,   Imam   Nawawi   berkata,   “Dalam   hadis tersebut, terdapat dalil yang menunjukkan keabsahan wakaf, serta betapa besar pahala yang diperoleh darinya.” (Nawawi, 1929: 85).

Adapun hadits Nabi yang lebih tegas menggambarkan dianjurkannya ibadah wakaf, di antaranya adalah: Pertama, ada riwayat yang memastikan bahwa Rasulullah saw pernah meriwayatkan sebidang tanah yang beliau miliki di jalan  Allah.  Dari  Amru  bin  Haris  bin  Musthaliq,  dia  berkata,  “Rasulullah  saw  tidak meninggalkan barang, kecuali keledai putih, senjata, serta sebidang tanah sebagai sedekah.” (Al-Bukhari, 1319H: 231).

Kedua, wakaf yang dilakukan sahabat dengan persetujuan Rasulullah saw yaitu perintah Nabi kepada Umar untuk mewakafkan tanahnya yang ada di Khaibar dan ini merupakan  praktik wakaf    yang   pertama dalam Islam:

“Diriwayatkan  dari  Abdullah  bin  Umar,  bahwa  Umar  bin  Khattab  mendapat sebidang tanah di Khaibar. Lalu Umar bin Khattab menghadap Rasulullah untuk memohon petunjuk beliau tentang apa yang sepatutnya dilakukannya terhadap tanahnya tersebut. Umar berkata kepada Rasulullah: ‘Ya Rasulullah, saya mendapat sebidang tanah di Khaibar dan saya belum pernah mendapat harta lebih baik dari tanah di Khaibar itu. Karena itu, saya memohon petunjuk Rasulullah tentang apa yang sepatutnya saya lakukan pada tanah itu‘. Rasulullah menjawab, ‘jika anda mau, tahanlah tanahmu itu dan anda sedekahkan‘. Lalu Umar menyedekahkannya dan mensyaratkan bahwa tanah itu tidak boleh diwariskan. Umar salurkan hasil tanah itu buat orang-orang fakir, ahli familinya, membebaskan budak, orang-orang yang berjuang fi sabilillah, orang-orang yang kehabisan bekal dalam perjalanan dan tamu. Pengurus wakaf itu sendiri, boleh makan dari hasil wakaf  tersebut dalam batas-batas  yang ma’ruf  (biasa).  Ia juga boleh memberi makan orang lain dari wakaf tersebut dan tidak bertindak sebagai pemilik harta sendiri.” (Muslim, 1929: 855).

Berdasarkan hadist ini, Imam Nawawi mengomentari di dalam bukunya Syarh Shahih Muslim bahwa hadits ini menjadi dasar sahnya wakaf dalam Islam, harta wakaf tidak boleh dijual atau dihibahkan atau diwariskan, syarat-syarat wakif (pemberi wakaf) perlu diperhatikan, pentingnya memberikan dana melalui wakaf kepada kaum muslimin, dan pentingnya mengadakan musyawarah dengan orang yang pandai untuk menetapkan pemanfaatan suatu harta atau cara pengelolaan suatu kekayaan. 

Menurut Imam al-Qurthubi di dalam tafsirnya mengatakan, bahwa permasalahan wakaf telah ijma‘ sahabat tentang pensyariatannya dan mereka telah mempraktikkan di dalam kehidupan mereka dengan mewakafkannya harta mereka baik di Makkah ataupun di Madinah (al- Qurthubi, tt: 339).

Jenis wakaf

Ditinjau dari segi bentuk ‘ayn (zat) benda yang diwakafkan (mawquf), wakaf dapat di bagi kepada: wakaf benda yang tidak bergerak dan wakaf benda yang bergerak. Wakaf benda yang tidak bergerak (tetap) seperti tanah, bangunan dan lainnya sudah lebih dahulu tersosialisasi dalam masyarakat kita. Sedangkan wakaf benda bergerak, seperti pedang, binatang ternak, mobil dan barang yang tidak tetap, baru sekarang mulai diupayakan sosialisasinya.

Keterlambatan itu menimbulkan kesan bahwa wakaf hanya berlaku pada benda yang tidak bergerak saja, sedangkan benda-benda bergerak tidak boleh menjadi objek wakaf.

Dalam masalah ini, secara lahiriyah mazhabiyyah memang dirasakan ada sedikit perbedaan pendapat, mazhab Syafi‘i misalnya mengutamakan wakaf pada benda tetap (fixed aset), sementara mazhab-mazhab yang lain tidak demikian, benda tetap dan benda bergerak dapat saja menjadi objek wakaf (Al-Syafi‘i, tt: 56). Karena mazhab syafi‘i berkembang luas di Indonesia, maka bentuk wakaf yang amat populer di kalangan kita adalah tanah, masjid, madrasah, dan aset tetap lainnya.

Keadaan ini berbeda dengan negara lain, seperti Maroko yang para ahli fikihnya banyak berpegang pada mazhab Maliki dan pendapat mutaakhirin dari mazhab Syafi‘i, di mana mereka memperluas cakupan mauqufnya, sehingga meliputi aset tetap dan aset bergerak. Untuk aset tetap, seperti tanah, unsur kelestariannya mudah dijaga, karena tanah memang dipakai selama tidak ada longsor atau bencana alam yang menghilangkan fisik tanah tersebut (Ibn Qudamah, tt: 212). Demikian juga dengan barang bergerak seperti wakaf susu sapi atau wakaf buah kurma, maka kelanggengannya sesuai dengan normal umur aset wakaf itu sendiri (Muslim Ibrahim, 2008: 311-312).

Hukum pergantian 

Di dalam hukum Islam, pergantian harta wakaf dikenal dengan istilah ibdal dan istibdal. Yang dimaksud ibdal adalah menjual barang wakaf untuk membeli barang lain sebagai gantinya. Sedangkan, istibdal adalah menjadikan barang lain sebagai pengganti barang wakaf asli yang telah dijual. Keabsahan praktik ini mengundang kontroversi di kalangan fuqaha; sebagian mendukung dengan berbagai pertimbangan, namun tidak sedikit pula yang menentang pemberlakuannya.

Dari hasil telaah terhadap karya para fuqaha (mazhab Maliki, Syafi‘i, Hanafi, Hanbali dan Ja‘fari) dapat disimpulkan bahwa ketiga mazhab yaitu, Syafi‘i, Maliki, dan Ja‘fari terkesan sangat berhati-hati dalam memperbolehkan penjualan dan penggantian barang wakaf. Bahkan, mereka cenderung melarang praktik tersebut selama tidak ada kebutuhan yang mendesak.

Di sisi lain, mazhab Hambali dan Hanafi terkesan mempermudah izin melakukan praktik itu. Mereka berpendapat, jika kita melarang penjualan atau penggantian barang wakaf --sementara ada alasan kuat untuk itu-- maka kita termasuk orang-orang yang menyia-nyiakan wakaf. Akibatnya, barang wakaf bisa menjadi rusak dan tidak bisa dimanfaatkan lagi. Misalnya, rumah akan menjadi rusak dan tidak terurus, atau tanah akan hancur dan tidak dapat ditanami. Larangan ini hanya merugikan keseluruhan umat, khususnya kaum fakir miskin yang telah ditentukan sebagai penerima wakaf (Muhammad Abid, 2004: 381).

Dengan tetap memegang prinsip bahwa wakaf itu abadi dan harus dijaga serta dipelihara sesuai dengan jenis barang dan cara pemeliharaan yang disyaratkan wakif, kita tidak melarang penggantian atau penjualannya ketika ada hal yang menghalangi pemeliharaan asal jenis barang atau bentuknya. Karena bila barang wakaf rusak dan tidak bisa dimanfaatkan lagi yang mengakibatkan tidak tercapainya tujuan wakaf, maka hal itu bisa direduksi dengan mengganti atau menjualnya, sehingga kita dapat mengabadikan maksud dan tujuan wakaf tersebut. 

Meski hukum ini hanya didasarkan pada pertimbangan logika, namun jika hukum ini dilaksanakan sesuai dengan kaidah-kaidah syariat, tentu akan memberi manfaat kepada umat khususnya penerima wakaf.

Hanya saja, pada praktiknya sering kita temukan aspek-aspek yang dikhawatirkan bisa menghilangkan barang wakaf atau mengakibatkan tidak tersalurkannya keuntungan kepada yang berhak. Oleh karena itu, penggantian barang wakaf harus dilakukan dengan ekstra hati-hati dan melalui pertimbangan yang matang.*

Editor: smh

0 Response

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel