Menelusuri Praktik Wakaf dalam Lintas Sejarah Islam

Menelusuri Praktik Wakaf dalam Lintas Sejarah Islam
Share

Oleh: Taufiq Ramadhan

Dalam sejarah Islam, wakaf dikenal sejak masa Rasulullah SAW karena wakaf disyariatkan setelah Nabi Muhammad SAW di Madinah, tepatnya pada tahun kedua  Hijriyah. Ada dua pendapat yang berkembang dikalangan ulama fuqaha tentang siapa yang pertama kali melaksanakan syariat wakaf. Pendapat pertama, bila ditelusuri sejarah adapun wakaf keagamaan pertama terjadi pada masa Rasulullah SAW, 1 Hijriah atau sekitar 622 M. Ketika hijrah bersama kaum Muhajirin dari Mekkah ke Madinah, ummat Islam membangun Masjid Quba. Masjid Quba adalah masjid pertama kali yang didirikan Rasulullah SAW, saat beliau hijrah dari Mekkah ke Madinah. Masjid Quba terletak di daerah Quba beberapa kilometer sebelum memasuki Madinah.

Pendapat ini didasari sebagaimana menurut Al-Syaukani berdasarkan hadist Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Umar bin Syabah dari ‘Amr bin Sa’ad bin Mu’ad, ia berkata: “Kami bertanya tentang mula-mula wakaf dalam Islam? Orang Muhajirin mengatakan adalah wakaf Umar, sedangkan orang-orang Anshar mengatakan adalah wakaf Rasulullah SAW.”

Kemudian pendapat kedua, masih juga terkait dengan riwayat di atas yaitu syariat wakaf yang dilakukan oleh sahabat Umar bin Khattab. Sebagaimana berdasarkan hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar ra: “Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya At-Tamimi telah mengabarkan kepada kami Sulaim bin Ahḍar dari Ibnu ‘Aun dari Nafi’ dari Ibnu Umar ia berkata, “Umar mendapatkan bagian tanah perkebunan di Khaibar, lalu ia datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan meminta saran mengenai bagian tersebut, ia berkata, “Wahai Rasulullah, saya mendapat bagian tanah perkebunan di Khaibar, dan saya belum pernah mendapatkan harta yang sangat saya banggakan seperti kebun itu, maka apa yang anda perintahkan mengenai kebun tersebut?” Beliau menjawab: “Jika kamu mau, peliharalah pohonnya dan sedekahkanlah hasilnya.” Ibnu Umar berkata, “Kemudian Umar pun menyedekahkannya, tidak dijual pohonnya dan hasilnya, tidak pula diwariskan dan tidak pula dihibahkan.” Ibnu Umar melanjutkan, “Umar menyedekahkan hasilnya kepada orang-orang fakir, kerabat, untuk memerdekakan budak, dana perjuangan di jalan Allah, untuk pejuang-pejuang dan untuk menjamu tamu. Dan ia juga membolehkan orang lain untuk mengolah kebun tersebut dan memakan dari hasil tanamannya dengan sepantasnya, atau memberi makan temannya dengan tidak menyimpannya.” (HR Muslim)

Atas dasar syariat wakaf tersebut, kemudian dipraktikkan oleh para sahabat, seperti Abu Thalhah yang mewakafkan harta yang paling dicintainya yaitu kebun ‘Bairaha’. Kemudian Abu Bakar As-Shiddiq yang mewakafkan sebidang tanah di Mekkah untuk digunakan anak keturunannya yang hendak datang ke Mekkah. Sahabat Ustman juga mewakafkan tanahnya yang berada di Khaibar. Sahabat Ali bin Thalib juga melakukan hal yang sama yaitu mewakafkan tanahnya yang subur. Disusul juga sahabat Mu’adz bin Jabal yang mewakafkan rumah miliknya yang dikenal dengan ‘Dar Al-Anshar’. Lebih lanjut, sahabat-sahabat Rasulullah juga melakukan praktik serupa seperti Anas bin Malik, Abdullah bin Umar, Zubair bin Awwam, Siti ‘Aisyah istri Rasulullah SAW, dan sebagainya.

Demikian juga pada zaman Khulafa ar-Rasyidin, amalan berwakaf ini banyak dilakukan karena dengan tindakan ini mereka dapat membantu kesejahteraan negara dan sekaligus beribadah kepada Allah SWT. Selain itu, hingga saat ini tercatat ada rekening atas nama Utsman bin Affan yang masih menjadi sarana amal jariyah untuknya, hotel yang berdiri di samping Masjid Utsman bin Affan itu dilengkapi dua restoran besar, enam unit perbelanjaan, dan seluruh jasa hotel yang membuatnya menjadi hotel bintang lima. Kini hotel tersebut dioperasikan oleh Sheraton, salah satu hotel bertaraf internasional. Pengelolaan Hotel tersebut dibangun dari tabungan Utsman yang telah berusia lebih seribu tahun. Sejarah mencatat bahwa wakaf ini berawal dari sebuah sumur yang berhasil dibeli dari seorang Yahudi. Saat itu, kaum muslim hijrah ke Madinah, air jernih menjadi salah satu kebutuhan yang sangat sulit diperoleh. Setelah membeli sumur tersebut, sahabat Utsman lalu mewakafkan sumur itu untuk kaum muslim.

Praktik wakaf ini terus berlanjut ke periode-periode berikutnya yang seiring dengan perkembangan Islam. Bila kita telusuri dalam sejarah peradaban Islam, secara umum peradaban Islam dapat dibagi dalam 3 (tiga) periode besar yakni: pertama, periode klasik. Periode klasik merujuk pada masa kemajuan dan kejayaan Islam yang dibagi ke dalam dua fase, yakni fase ekspansi, integrasi dan kemajuan (650–1000 M) dan fase disintegrasi (1000–1250 M).

Gerakan wakaf pasca zaman sahabat dan seterusnya mengalami perkembangan semakin baik demikian juga di zaman pemerintahan Khalifah Umayah dan Abbasiyah praktik wakaf terus berkembang dan semakin meluas. Bahkan pengelola wakaf terus ditata dan semakin baik. Hal ini ditandai dengan pengelolaan di bawah lembaga khusus, misalnya di zaman Khilafah Umayyah wakaf dikelola oleh lembaga wakaf tersendiri dan di bawah departemen kehakiman. Dengan demikian pengelolaan wakaf menjadi lebih baik dan hasilnya disalurkan kepada yang membutuhkan. Begitu pula di zaman Khalifah Abbasiyah wakaf dikelola tersendiri oleh lembaga wakaf yang dikenal dengan sebutan Sadr al-wuquf yang memiliki wewenang mengurus administrasi dan merekrut staf pengelola lembaga wakaf tersebut.

Pada masa Dinasti Ayyubiyah di Mesir perkembangan wakaf cukup menggembirakan, dimana hampir semua tanah-tanah pertanian menjadi harta wakaf dan semua dikelola oleh negara dan menjadi milik negara (Baitul Mal). Ketika Shalahuddin al-Ayyubi memerintah Mesir, ia juga menetapkan kebijakan bahwa orang Kristen yang datang dari Iskandaria untuk berdagang wajib membayar bea cukai, dan hasil dikumpulkan kemudian diwakafkan kepada para fuqaha dan para keturunannya.

Kedua, periode pertengahan, dalam sejarah peradaban Islam berlangsung selama tahun (1250– 1800 M). Pada masa dinasti Mamluk perkembangan wakaf sangat pesat bukan saja kuantitasnya melainkan jenis harta benda wakaf juga beragam bukan saja tanah, melainkan juga bangunan atau gedung perkantoran, penginapan, dan sekolah. Bahkan hamba sahaya pun diwakafkan untuk memelihara/merawat masjid atau madrasah. Wakaf benar-benar dirasakan untuk kepentingan umum dan sosial, membantu fakir dan miskin, sehingga manfaat wakaf telah menjadi tulang punggung dalam roda ekonomi pada masa dinasti Mamluk. Pada masa dinasti Mamluk ini khususnya pada pemerintahan Raja al-Dzahir Bibers al-Bandaq (658-676 H/1260-1277M). Ketentuan-ketentuan yang terkait dengan wakaf terhimpun dalam undang-undang wakaf dan Raja al-Dzahir memilih hakim dari masing-masing empat mazhab sunni.

Ketiga, periode modern (1800 M-sekarang), merupakan zaman kebangkitan umat Islam. Umat Islam mulai sadar bahwa di Barat telah timbul peradaban baru yang lebih tinggi. Raja-raja dan para pemuka Islam mulai memikirkan bagaimana meningkatkan mutu dan kekuatan umat Islam kembali.

Di masa kekhilafahan terkahir, zaman kesultanan Utsmaniyah dikenal dengan sebutan Turki Utsmani atau Devlet-i ‘Aliyye-yi Osmaniyye pengelolaan wakaf semakin berkembang. Diantara undang-undang yang dikeluarkan pada dinasti Utsmani ialah peraturan tentang pembukuan pelaksanaan wakaf, yang dikeluarkan pada 19 Jumadil Akhir tahun 1280 H/1858 Masehi. Undang-undang tersebut mengatur tentang pencatatan wakaf, sertifikasi wakaf, cara pengelolaan wakaf, upaya mencapai tujuan wakaf dan melembagakan wakaf dalam upaya realisasi wakaf dari sisi administrasi dan perundang-undangan. Pada tahun 1287 Hijriah dikeluarkan undang-undang yang menjelaskan tentang kedudukan tanah-tanah kekuasaan Turki Utsmani dan tanah-tanah produktif yang berstatus wakaf.

Pasca kekuasaan Turki Utsmani (1924 Masehi) wakaf, di negara-negara Islam maupun di negeri-negeri Islam terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dan pemikiran para pakar/ahli hukum Islam.

Perkembangan wakaf pernah mengalami stagnasi beberapa abad hingga awal abad ke 20 Masehi. Dan setelah itu Turkey mulai melaksanakan kembali perbaikan pengelolaan wakaf (1925-1926 M). Adapun dampak dari perbaikan ini adalah berdirinya Mudiriyah al-Auqaf (Bank al-Auqaf) yang berfungsi untuk menginvestasikan barang-barang wakaf. Demikian juga pada tahu 1975 Masehi  di Turkey didirikan Waqaf al-Diyanah yang berkecimpung dalam pengembangan tsaqafah. 

Modal pokok wakaf ini adalah diambil dari keuntungan yang diambil dari sistem administrasi haji di Turkey, aturan pengumpulan zakat fitrah dan bentuk tabarru’ yang lain. Kemudian hasilnya disalurkan untuk 70 keperluan beasiswa bagi 15.000 pelajar, pembagian jutaan kitab untuk orang yang keluar dari tahanan, tentara-tentara Turkey dan Muslimah-muslimah imigran Eropa dan lain-lain. Dan juga hasilnya dialokasikan untuk proyek pembuatan ensklopedi Islam hingga sekarang yang terangkum dalam 10 jilid besar yang pembuatannya dimulai pada bulan November 1988 M. 

Tidak ketinggalan pula di Mesir. Semenjak tahun 60-an Mesir mengalami perkembangan dalam masalah wakaf ini. Hal ini dimulai ketika Departemen Perwakafan Mesir ikut andil dalam investasi dalam pendirian bank-bank Islam semisal Bank Faisal dan lainnya, dengan menanamkan berjuta-juta harta di bank-bank atau pabrik-pabrik seperti pabrik gula dan lain-lain. Kemudian hasilnya di infakkan untuk pengembangan tsaqafah seperti pemberian beasiswa bagi pelajar muslim, proyek penerjemahan Al-Qur’an ke dalam berbagai bahasa, penerbitan buku-buku Islam dan penyebarannya dengan harga yang murah. 

Kemudian Pemerintahan Arab Saudi menyerahkan pengelolaan wakaf kepada suatu Badan di bawah Kementerian Haji dan Wakaf. Kementerian haji dan wakaf bertugas untuk menjaga wakaf agar tetap terpelihara serta menghasilkan dana yang dapat dimanfaatkan bagi yang berhak. Kementerian ini mempunyai kewajiban mengembangkan dan mengarahkan wakaf sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh wakif. Untuk itu, pemerintah Kerajaan Saudi Arabia membuat peraturan bagi Majelis Tinggi Wakaf dengan ketetapan Nomor 574 tanggal 16 Rajab 1386 H. Wakaf yang ada di Saudi Arabia bentuknya bermacam-macam seperti hotel, tanah, bangunan (rumah) untuk penduduk, toko, kebun, tempat ibadah dan lain-lain. 

Dari berbagai macam harta wakaf tersebut ada yang diwakafkan untuk dua kota suci yakni kota Mekkah dan Madinah. Pemanfaatan hasil wakaf yang utama adalah untuk memperbaiki dan membangun wakaf yang ada, agar wakaf tersebut kekal dengan tetap melaksanakan syarat-syarat yang diajukan oleh wakif. Begitu juga di Yordania, wakaf dikelola dengan produktif lalu hasilnya dimanfaatkan, antara lain untuk memperbaiki perumahan penduduk di sejumlah kota, membangun perumahan petani dan pengembangan tanah pertanian. 

Di Indonesia sejarah mengenai wakaf telah ada sejak dulu, pada kerajaan Aceh Darussalam yang berdiri tahun 916 H (1511 Masehi), tindakan berwakaf ini banyak dilakukan. Kerajaan ini mempunyai undang-undang dasar yang bernama Qanun Meukuta Alam atau Qanun al-Asyi. Dalam undang-undang ini terdapat satu lembaga yang bernama Balai Meusara dan bertugas mengelola hal-hal yang menyangkut dengan wakaf. Meusara yang bermakna wakaf, memegang penting dalam kerajaan ini.

Pengaturan wakaf pada zaman kesultanan terutama di Jawa (khususnya Jawa Tengah) pada saat itu telah diatur pada staatsblad Nomor  605, jo  Besluit Govermen General Van Ned Indie ddp 12 Agustus 1896 Nomor 43, jo ddo 6 November 1912  Nomor 22 (Bijblad 7760), menyatakan bahwa masjid-masjid di Semarang, Kendal Kaliwungu dan Demak memiliki tanah sawah bondo masjid (5% moskeembtsvendem) sebagai food untuk membiayai pemeliharaan dan perbaikan masjid, halaman dan makam keramat dari wali yang ada di lingkungan masjid-masjid tersebut. Hal tersebut menunjukkan pada zaman kesultanan telah ada peraturan harta wakaf sekalipun dalam hal masih terbatas. 

Masyarakat Indonesia pada awalnya bentuk wakaf yang dikenal secara luas hanya dalam wakaf tanah, namun kini perwakafan di Indonesia sudah semakin baik, dibuktikan dengan adanya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 serta ditetapkan juga PP Nomor 42 Tahun 2006. Dengan adanya pembaruan hukum wakaf dalam undang-undang terbaru menjadikan banyak peluang perkembangan dan pemberdayaan wakaf yang lebih efektif di Indonesia.

Bila kita membahas praktik wakaf, maka tidak bisa terlepas dari pengelolaan wakaf itu sendiri. Maka praktik dan pengelolaan wakaf seperti yang sudah dijelaskan di atas juga berkembang di negara-negara Islam lainnya. Dan manfaatnya sangat bisa dirasakan pengaruhnya bagi kemajuan pendidikan, ilmu pengetahuan dan juga bidang-bidang lainnya.

Dari sebuah sejarah awal yang mengajarkan kepedulian sosial bukan hanya bernilai ibadah, namun ada nilai muamalah sebagai bentuk kesadaran atas kondisi masyarakat atau lingkungan sekitar menjadikan wakaf saat ini dapat berkembang di atas pijakan awal yang pernah dicontohkan Rasulullah SAW dan para sahabatnya.* 

Sumber: Gema Baiturrahman

Editor: smh

0 Response

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel