Wakaf dari Masa ke Masa

Wakaf dari Masa ke Masa
Share

Oleh: Wawan Hermawan

Akar tradisi sejenis wakaf bisa ditemukan dalam sejarah masyarakat Indonesia. Di Banten misalnya, terdapat apa yang dikenal dengan 'Huma Serang', yaitu berupa ladang-ladang yang setiap tahun dikelola secara bersama-sama dan hasilnya digunakan untuk kepentingan bersama. Di Lombok terdapat 'Tanah Pareman', yaitu tanah negara yang dibebaskan dari pajak landrente yang hasilnya diserahkan kepada desa-desa, subak, dan candi untuk kepentingan bersama. Sementara di Jawa Timur terdapat 'Tanah Perdikan', yaitu pemberian raja kepada seseorang atau kelompok yang dianggap berjasa yang tidak boleh diperjualbelikan (Direktorat Pemberdayaan Wakaf, 2006: 13-14).

Setelah Islam masuk ke wilayah Indonesia, maka wakaf mulai dikenal di Indonesia. Bukti awal paling kuat dapat ditelusuri dari peran para Walisongo dalam memperkenalkan Islam. Untuk menyebarkan Islam ke lingkungan istana, bisasanya dimulai dengan mendirikan pesantren dan masjid di lingkungan kesultanan (istana). Pola ini dilakukan oleh Syekh Maulana Malik Ibrahim (w.1419) dan Sunan Ampel (w.1467), yang kemudian diikuti oleh tokoh Walisongo lainnya. Masjid dan pesantren, di samping sebagai pusat penyebaran Islam, juga sebagai institusi pertama yang menjadi benih bagi perkembangan wakaf masa berikutnya (Najib [ed.], 2006:73).

Kebijakan penguasa terhadap satu kasus hukum biasanya berbanding lurus dengan bagaimana rezim berkuasa melihat potensi hukum tersebut, baik dalam kerangka kepentingannya maupun kepentingan masyarakat. Kebijakan penguasa terhadap suatu produk hukum bisa terjadi pasang surut seiring dengan perubahan pola hubungan antara penguasa dan masyarakat yang berkepentingan terhadap produk hukum tersebut. Yang demikian itu, karena politik atau kekuasaan, meminjam istilah Mahfud MD (1998), determinan atas hukum. Berdasar pada kerangka ini, maka dapat dipahami bagaimana perkembangan legislasi wakaf dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia.

Pada masa penjajahan, Pemerintah Kolonial Belanda, karena melihat peran wakaf yang begitu besar bagi masyarakat Indonesia, dirasa perlu mengeluarkan beberapa peraturan mengenai wakaf, di antaranya Surat Edaran sekretaris Governemen pertama tanggal 31 Januari 1905 nomor 435 sebagaimana termuat dalam Bijblad 1905 nomor 6196, Surat Edaran sekretaris Governemen tanggal 4 Januari 1931 nomor 361/A yang dimuat dalam Bijblad 1931 nomor 125/A, Surat Edaran sekretaris Governemen tanggal 24 Desember 1934 nomor 3088/A sebagaimana termuat dalam Bijblad tahun 1934 nomor 13390, dan Surat Edaran sekretaris Governemen tanggal 27 Mei 1935/A sebagaimana termuat dalam Bijblad tahun 1935 nomor 13480 (Direktorat Pemberdayaan Wakaf, 2006: 15-16). 

Pada masa penjajahan Jepang tidak ada peraturan mengenai wakaf yang dikeluarkan. Sayangnya kebijakan yang dibuat tidak sepenuhnya didasarkan pada keinginan politik yang jujur serta pemahaman yang benar tentang hakikat wakaf. Akibatnya ia tidak memiliki arti penting bagi pengembangan wakaf selain untuk memenuhi tata aturan administrasi wakaf belaka. Hal ini tentu dapat dipahami karena sulit rasanya bagi penjajah memiliki keinginan untuk memberdayakan rakyat jajahannya.

Peraturan mengenai perwakafan tanah yang dikeluarkan pada masa penjajahan Belanda, terus berlaku setelah Indonesia merdeka berdasarkan bunyi pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945: "Segala Badan Negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar ini." Untuk penyesuaian dengan alam kemerdekaan telah dikeluarkan beberapa petunjuk peraturan perwakafan, yaitu petunjuk dari Departemen Agama Republik Indonesia tanggal 22 Desember 1953 tentang petunjuk-petunjuk mengenai wakaf. Untuk selanjutnya perwakafan menjadi wewenang Bagian D (ibadah sosial), Jabatan Urusan Agama. Sebagai tindak lanjut peraturan mengenai wakaf tanah, pada tanggal 8 Oktober 1956 telah dikeluarkan Surat Edaran nomor 5/D/1956.

Pada tahun 1960, lahir Undang-undang Pokok Agraria nomor 5 tahun 1960 yang memberi perhatian khusus terhadap perwakafan tanah, yaitu pada pasal 49: 1) Untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya sebagai dimaksud dalam pasal 14 dapat diberikan tanah yang dikuasai langsung negara dengan hak pakai. 2) Perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan peraturan pemerintah

Pasal 49 UUPA di atas memerlukan peraturan pemerintah sebagai aturan pelaksanaannya. Namun demikian, peraturan pemerintah ini tidak kunjung keluar sehingga dipertanyakan keseriusan pemerintah dalam masalah perwakafan khususnya dan kepentingan umat Islam pada umumnya. Baru setelah 17 tahun berlalu, tepatnya pada tanggal 17 Mei 1977, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik yang diiringi oleh seperangkat peraturan pelaksanaannya dari Departemen Agama dan Departemen Dalam Negeri serta beberapa instruksi Gubernur Kepala Daerah. Dengan keluarnya peraturan pemerintah ini, maka semua peraturan perundang-undangan tentang perwakafan sebelumnya, sepanjang bertentangan dengan peraturan pemerintah ini, dinyatakan tidak berlaku lagi.

Perkembangan wakaf semakin nyata dengan disahkannya Kompilasi Hukum Islam (KHI) melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991. Dalam KHI ini, permasalahan wakaf mendapat tempat khusus, yakni pada Buku III. Kandungan Buku III yang terdiri dari lima bab dan 14 pasal (215-228) banyak mengadopsi dari PP Nomor 28 Tahun 1977. Di antaranya adalah tentang definisi wakaf yang meniscayakan kekalnya barang tersebut dan dalam jangka waktu yang tidak ditentukan (pasal 215).

Akhir abad XX merupakan babak baru dalam sejarah perwakafan Indonesia dengan kemuculan wacana wakaf uang yang kemudian mengkristal menjadi keinginan untuk melakukan pembaruan hukum wakaf. Keinginan ini terwujud dengan lahirnya Undang-undang Wakaf Nomor 41 Tahun 2004.

Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 diawali dengan Rancangan Undang- Undang yang dibuat berdasarkan analisis fikih, sosiologis, maupun landasan hukum berupa persetujuan prakarsa penyusunan Rancangan Undang-undang Wakaf dari Presiden. Direktorat Zakat dan Wakaf menindaklanjuti dengan menyiapkan naskah akademik sebagai landasan pemikiran dalam penyusunan RUU tentang wakaf (Djunaidi, 2006: 37).

Penyusunan naskah akademik tentang wakaf dilakukan dalam rangka memberi alasan pentingnya penyusunan RUU tentang wakaf. Konsep-konsep yang dimuat dalam naskah ini mengacu kepada perkembangan perwakafan di Indonesia dan tuntutan masyarakat untuk mewujudkan kesejahteranan sosial.

Undang-undang ini akhirnya disahkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono pada tanggal 27 Oktober 2004 sebagaimana dalam Lembaran Negara RI Tahun 2004 Nomor 159. Undang-undang ini terdiri dari XI Bab dan 71  pasal.  Secara rinci, Bab I berisi ketentuan umum. Dalam bagian ini, definisi kata-kata kunci dipaparkan, seperti pengertian dari wakaf, wakif, ikrar wakaf, nadzir, harta benda wakaf, pejabat pembuat akta ikrar wakaf, dan badan wakaf indonesia. Bab II mengandung dasar-dasar wakaf. Pada bagian ini diulas di antaranya tentang Tujuan dan Fungsi Wakaf, Unsur Wakaf, dan Harta Benda Wakaf. Bab III memuat Pendaftaran dan Pengumuman Harta Benda Wakaf. Bab IV tentang Perubahan  Status Harta Benda Wakaf. Bab V tentang Pengelolaan dan Pengembangan Harta Benda Wakaf, Bab VI tentang Badan Wakaf Indonesia, Bab VII tentang penyelesaian Sengketa, Bab VIII tentang Pembinaan dan Pengawasan, Bab IX Ketentuan Pidana dan Sanksi Administrasi, Bab X tentang Ketentuan Peralihan, dan terakhir Bab XI tentang Ketentuan Penutup.

Disahkannya Undang-undang Wakaf Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf disertai dengan PP nomor 42 tahun 2006 tentang pelaksanaan Undang-undang Wakaf. Berbeda dengan masa sebelumnya, pada masa ini iklim keterbukaan dalam penyelenggaraan negara sudah terbentuk. Bahkan, negara-negara maju menilai Indonesia sebagai salah satu negara demokratis di Dunia. 

Oleh karena itu, tidak mengherankan jika dalam pembentukan produk hukum negara cukup aspiratif. Terbukti, Pemerintah melalui Depatemen Agama menaruh perhatian yang sangat besar dalam pembentukan Undang-undang ini. Bahkan, prakarsa pembuatan  RUU ini tentang wakaf datang dari Sekretariat Negara yang disampaikan kepada Departemen Agama saat Departemen ini mengusulkan pembentukan Badan Wakaf Indonesia (BWI).

Undang-undang ini merupakan terobosan baru dalam sejarah perwakafan di Indonesia karena di dalamnya terdapat rumusan-rumusan mengenai wakaf yang berbeda dengan yang selama ini menjadi keyakinan dan dipraktikan oleh masyarakat muslim Indonesia. Salah satu terobosan tersebut adalah tentang wakaf uang. Bahkan, dalam sejarah penyusunan Undang-undang ini, wacana mengenai wakaf tunailah yang mengilhami ide penyusunan RUU ini (Djunaidi, 2006: 1 dan 20).

Masalah peraturan perundang-undangan wakaf sudah terselesaikan dengan lahirnya Undang-undang Wakaf nomor 41 tahun 2004 dan PP nomor 42 tahun 2006. Sedangkan masalah yang berkaitan dengan fikih wakaf dalam beberapa hal sudah direspon oleh para ulama, baik yang ada di MUI maupun ormas Islam yang lain dengan fatwa yang dikeluarkan mereka. Walaupun demikian, respon para ulama ini belum tentu bisa menyelesaikan semua permasalahan karena faktor sosialisasi dan khilafiyah sebagai karakter dasar fikih masih terjadi.

Persoalan yang paling urgen saat ini adalah masalah profesionalisme nazhir yang dianggap masih menjadi kendala. Padahal nazhir marupakan figur penting yang menentukan berkembang atau mengerdilnya eksistensi wakaf. Oleh karena itu, upaya-upaya peningkatan profesionalisme nazhir harus terus dilakukan sehingga peran wakaf untuk kesejahteraan masyarakat bisa lebih optimal.*

Editor: smh

0 Response

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel