Wakaf: Konsep yang Terabaikan

Wakaf: Konsep yang Terabaikan
Share

Oleh: Marah Halim

Jika dibandingkan dengan umat Isam di belahan dunia lain, potensi ekonomi yang dimiliki oleh umat Islam di Indonesia sangatlah besar. Dengan kepemilikan terhadap berbagai sumber ekonomi, maka sesungguhnya tidak ada alasan bagi umat Islam di negeri untuk hidup miskin. Setelah ditelusuri ternyata penyebabnya adalah tidak optimalnya pengelolaan berbagai potensi tersebut. Salah satu aset umat yang sampai saat ini belum dimanaje dengan sungguh-sungguh adalah waqaf.

Mainstream pemikiran ekonomi umat Islam Indonesia sampai saat ini memandang wakaf sebagai potensi ekonomi yang klasik atau kurang modern, sehingga kemanfaatannya tidak dirasakan. Ketika orang menyebut kata wakaf,  bayangan kita hanya pada sepetak tanah atau sebuah bangunan yang diserahkan seseorang untuk kepentingan umum, biasanya untuk pembangunan masjid, sekolah, atau lebih buruk lagi untuk lokasi pemakaman. Artinya anggapan kita wakaf adalah aset mati.

Gambaran ini semua adalah keliru dan menyesatkan. Aset wakaf memiliki potensi ekonomi yang dahsyat yang tidak semestinya dianggap mati seperti itu sehingga kita kehabisan ide untuk memproduktifkannya. Mungkin kita perlu merehab pemahaman kita tentang konsep yang mulia ini. Secara bahasa, wakaf bermakna menahan, berhenti, atau diam. Sedangkan menurut istilah adalah sebagai aset yang dialokasikan untuk kemanfaatan umat di mana substansi atau pokoknya ditahan, sementara manfaatnya boleh dinikmati untuk kepentingan umum. 

Dengan demikian, wakaf memiliki potensi yang lebih besar jika dibandingkan dengan dengan zakat dan sedekah umpamanya yang cenderung bersifat atau dimanfaatkan secara konsumtif. Sedangkan dana wakaf adalah dana abadi (endowment power) yang pokoknya tidak bisa diganggu gugat sampai kapanpun. Sebagai contoh ringan misalnya wakaf tanah oleh seseorang untuk kepentingan pembangunan sekolah, secara langsung orang bersangkutan telah berpartisipasi sepanjang masa untuk kemajuan umat. 

Dewasa ini, salah satu konsep wakaf yang sedang digiatkan lagi adalah konsep wakaf tunai. Konsep ini adalah konsep lama sejak masa Nabi yang dipoles dengan wajah baru. Menurut definisi yang dibuat Bank Indonesia, wakaf tunai adalah penyerahan aset berupa uang yang tidak dapat dipindahtangankan dan dibekukan selain untuk kepentingan umum yang tidak mengurangi ataupun menghilangkan jumlah pokoknya.

Penggagas revitalisasi konsep wakaf ini di Indonesia adalah para ahli-ahli ekonomi Islam di IIIT-I (International Institute of Islamic Thought-Indonesia), sebuah lembaga Islam dunia yang dibentuk oleh almarhum Ismail Raji al-Faruqi. Salah satu agenda besar lembaga ini adalah Islamisasi ilmu pengetahuan, karena itu tidak mengherankan jika mereka menggali kembali khazanah terpendam konsep Islam dalam berbagai bidang termasuk wakaf. 

Konsep wakaf tunai merupakan konsep yang sesuai dengan kebutuhan modern. Jika kita masih berpegang kepada konsep lama, wakaf seolah-olah hanya terhadap benda tak bergerak seperti tanah, rumah, gedung, dan lain-lainnya, yang tentu saja sangat terbatas dimiliki oleh seseorang. Ketika seseorang ingin berpartisipasi dalam pembangunan umat, dalam dunia pendidikan umpamanya, dia mungkin tidak merasa nyaman jika bentuk partisipasinya dengan cara sedekah misalnya yang diyakininya pasti habis dikonsumsi. Dia ingin dana yang dia berikan bermanfaat sepanjang masa, maka tentu saja sarana yang paling tepat adalah wakaf, selain sebagai amal shalih, juga memberi manfaat pada orang lain.

Selain itu, perlu juga disadari bahwa profesi umat Islam dewasa ini berbagai macam. Ada yang berprofesi sebagai pegawai negeri, karyawan perusahaan, konsultan, pengacara, dan sebagainya yang mungkin memiliki kelebihan rezeki, akan tetapi tidak dalam bentuk tanah atau benda tak bergerak lainnya. Maka untuk menyahuti semua inilah konsep wakaf tunai diaggap up to date.

Bank wakaf

Lalu siapa yang dianggap paling tepat untuk mengelola dana wakaf tunai tersebut? Workshop internasional di Batam tentang pemberdayaan ekonomi Islam yang diadakan oleh IIIT-I bekerjasama dengan Ditjen Binbaga Islam dan Urusan Haji pada 7-8 Februari 2002, merekomendasikan bahwa lembaga yang paling tepat adalah bank-bank syari’ah yang sedang berkembang pesat di seluruh Indonesia. 

Ada beberapa alasan mengapa memilih bank Islam sebagai nazir wakaf bukannya  dalam bentuk lain. Perlu diketahui konsep nazir wakaf  bukan konsep yang baku, akan tetapi dapat dikembangkan sesuai dengan efektifitas nazir yang dibentuk. Beberapa kelebihan bank sehingga sehingga amat tepat ditunjuk sebagai nazir menurut M Syafi’i Antonio ada empat macam.

Pertama, bank memiliki akses dengan wakif; kedua, bank merupakan lembaga keuangan yang multi-produk jasa, salah satunya adalah jasa investasi, dana wakaf yang terkumpul dapat diinvestasikan bank untuk usaha-usaha produktif jangka panjang atau jangka pendek dengan cara mudharabah, musyarakah, qiradh, dan lain-lain; ketiga, bank memiliki kemampuan administrasi yang baik; bank-bank syari’ah dijalankan dengan prinsip-prinsip Islam, sehingga mendapat kepercayaan dari masyarakat. 

Selain itu, cara yang paling tepat dalam hal ini adalah dengan membentuk bank wakaf tersendiri, artinya bank yang sejak awal dibangun dan didanai oleh dana wakaf. Hal ini mungkin akan menghempaskan anggapan bahwa yang bisa mendirikan bank adalah para konglomerat-konglomerat kelas wahid yang sebenarnya mendirikan bank bukan untuk mensejahterakan masyarakat, tetapi mengeruk dana masyarakat. Modal yang mereka dapatkan juga pinjaman dari Bank Indonesia. Kiranya sudah cukup cerita bangkrutnya bank-bank di Indonesia sehingga perlu langkah penyehatan segala.

Bank-bank wakaf nantinya akan menjadi bank yang sangat kuat dengan asumsi bahwa dana yang dimilikinya bukan dana pinjaman, tetapi dana segar hasil wakaf dari umat Islam yang bukan hutang atau pinjaman. Kemudian bank juga tidak perlu berbagi hasil dengan pihak wakif, sebab wakif memang memberikan wakafnya dengan maksud murni untuk kepentingan bersama. Keunggulan ini tidak dimiliki oleh bank-bank lain.

Menurut pemerhati wakaf, Hendra Khalid, wakaf tunai yang disalurkan melalui bank wakaf akan merupakan kekuatan modal yang sangat besar. Dia mencoba mengilustrasikan sekiranya 20 juta saja dari 180 juta jiwa umat Islam di Indonesia, yang mewakafkan uangnya 50 ribu saja perorang, maka dana yang terkumpul tidak kurang dari 1 triliun rupiah. Bisa dibayangkan dana segar sebesar itu untuk menggenjot investasi dalam berbagai bidang kebutuhan umat seperti sektor pendidikan, perdagangan, dan kesejahteraan umat lainnya.

Dana sebesar itu bisa dimanfaatkan untuk investasi usaha-usaha kecil dan menengah dalam berbagai bentuk. Bisa juga diarahkan membangun proyek-proyek dan sarana kepentingan umum yang bertujuan jangka panjang seperti pembangunan irigasi,  perumahan, komplek pertokoan, dan sebagainya yang akan menyerap tenaga kerja yang sangat besar. Karena itu konsep ini merupakan lokomotif yang akan menarik sektor-sektor lainnya.  

Kiranya untuk menggugah kesadaran kita perlu juga digambarkan bagaimana pengelolaan wakaf yang telah dirasakan manfaatnya secara nyata di beberapa negara Islam di Timur Tengah dan Asia Tengah. Negara-negara yang mengelola dana wakaf dengan serius dan telah terbukti manfaatnya yang luar biasa adalah Arab Saudi, Mesir, Jordania, dan Turki. Negara tetangga kita yang paling dekat yang telah memberdayakan wakaf dengan baik adalah Malaysia dan Bangladesh. Negara-negara tersebut telah menjadikan harta wakaf sebagai aset yang hidup serta produktif. Untuk mengelola wakaf, mereka bahkan mendirikan bank wakaf. 

Arab Saudi misalnya, sampai merasa perlu membentuk lembaga tinggi yang disebut Majelis Tinggi Wakaf yang beranggotakan wakil dari Kementerian Haji dan Wakaf yang sebelumnya menangani urusan ini, wakil dari Kementerian Kehakiman, wakil dari Kementerian Keuangan dan Ekonomi, dan lain-lain. Tugas dan wewenang lembaga ini adalah mengelola, mengembangkan serta meningkatkan fungsi harta wakaf. 

Aset wakaf yang dimiliki oleh pemerintah Saudi Arabia tergolong luar biasa besarnya. Aset-aset tersebut berupa hotel, tanah, bangunan (rumah) untuk penduduk, toko, kebun, dan tempat ibadah. Selain itu ada juga yang secara khusus aset-aset yang diwakafkan untuk dua kota suci, Makkah dan Madinah. Ini ditambah lagi dengan wakaf tunai berupa uang tadi. 

Hasil dari harta wakaf ini dipergunakan oleh pemerintah Saudi untuk membangun perumahan penduduk disamping sebagai dana taktis untuk kebutuhan operasional pelaksanaan ibadah haji. Selain itu hasil dana wakaf juga diperuntukkan membaiayai lembaga-lembaga pendidikan. Mahasiswa-mahasiswa seluruh yang belajar di Universitas Madinah misalnya ditanggung seluruh biaya hidup dan biaya kuliahnya dengan dana wakaf.  

Sama dengan Saudi, Mesir juga merasa perlu membentuk kementerian tersendiri untuk mengurusi wakaf. Khusus dalam bidang pendidikan, kiranya pengalaman Mesir lebih banyak dibandingkan dengan negara Islam manapun. Untuk menggambarkan betapa besarnya kekuatan aset wakaf yang dikelola pemerintah disini cukup dengan mengatakan bahwa seluruh mahasiswa yang belajar di Universitas al-Azhar, baik yang mahasiswa Mesir sendiri dan mahasiswa dari seluruh dunia, dibiayai dengan dana wakaf selama ratusan tahun. Dan mahasiswa dari Indonesia termasuk yang paling banyak mencicipinya.

Jordania juga menempuh cara yang serupa dengan Mesir. Permasalahan wakaf berada dibawah kendali Majelis Tinggi Wakaf seperti di Saudi. Sebagai ilustrasi besarnya pemasukan pemerintah adalah --meski kurang up to date-- pada tahun 1984, pemerintah Yordania memperoleh pemasukan dari sektor wakaf sebesar 1.030 juta dinar Yordania. Dana itu dipergunakan untuk membangun sarana dan prasarana umum lain yang semuanya bersifat produktif seperti pertokoan, sekolah, perumahan rakyat, perhotelan, dan sebagainya, yang keuntungannya semuanya kembali ke kas negara. Demikianlah dana itu terus bergulir. 

Metode yang sama kini telah dikembangkan oleh negara tetangga kita, Malaysia. Di Malaysia telah didirikan bank-bank Islam yang salah satu divisi-nya adalah divisi bank wakaf yang khusus mengeleola wakaf.  Hasil pengelolaan dana wakaf tersebut dimanfaatkan untuk pembangunan sarana-prasarana masyarakat seperti membangun komplek perumahan (perumnas) yang didistribusikan kepada masyarakat secara kredit. 

Tantangan untuk Aceh

Pelaksanaan syari’at Islam di Aceh kiranya tidak hanya menyentuh aspek-aspek yang merupakan bias dari aspek yang paling fundamental dari kehidupan umat, yakni kesejahteraan. Selama ini kita terlalu memfokuskan syari’at pada hal-hal yang bersifat visual dan temporer kalau tidak ingin dikatakan simbolik. Kita kurang menyentuh aspek substantif syari’ah itu. Mengapa pelacuran marak, perjudian subur, pergaulan bebas menjamur, tidak lain jawabannya karena tingkat ekonomi masyarakat kita yang masih rendah. 

Pelaksanaan syari’at secara kaffah memberi peluang kepada pemerintah daerah dan masyarakat Aceh untuk merealisasiakan cita-cita ekonomi Islam, salah satunya yang paling penting dalam hal ini adalah pembentukan bank wakaf. Sepertinya tidak ada persolan yang paling prinsipil untuk mewujudkan impian ini, tinggal saja kemauan pemerintah daerah. Jika pemerintah mampu “mengarahkan” potensi psikologis masyarakat Aceh, dalam hal ini tingginya kesadaran beragama, maka untuk mendapatkan suntikan dana segar berupa wakaf tunai dan wakaf lain akan dapat diperoleh dengan mudah. Tidak akan ada yang dirugikan dengan konsep itu, yang akan kita peroleh malah kesejahteraan, jadi kenapa kita masih berberat hati?*

Penulis, widyaiswara BPSDM Aceh

Editor: smh

0 Response

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel