Wakaf Rumah

Wakaf Rumah
Share

Oleh: Juariah Anzib, S.Ag

Sepasang suami istri (pasutri) di desa Mane Dayah kecamatan Darul Kamal Aceh Besar, baru-baru ini, mewakafkan sebuah rumah dengan ukuran lebar 7x15 meter di atas tanah seluas 300 meter persegi. Wakif menyerahkan rumah dan tanah tersebut kepada Pengurus Masjid Kemukiman Lamkunyet, Kecamatan Darul Kamal, Aceh Besar, yang diterima oleh Teungku Muhibuddin, salah seorang pengurus masjid.

Informasi yang saya  peroleh dari Khadijah, istri pasutri wakif, mareka mewakafkan rumah dan tanahnya tersebut atas kesepakatan bersama. Hal tersebut dilakukan demi kenyamanan keluarga dan persiapan menuju akhirat. Pasutri M Ali dan Khadijah tergolong berusia senja. Namun tidak dikaruniai anak sebagai penerus keturunan dan ahli waris dari perkawinan mereka. Untuk itu, mereka mengambil kesepakatan ini demi kebaikan bersama di dunia dan akhirat.

Khadijah menceritakan, ketika mulai mendirikan rumah tersebut, suaminya mengatakan akan membuat surat kepemilikan rumah untuk istrinya, agar kelak bila suaminya meninggal lebih dahulu, istrinya bisa tinggal dengan nyaman, tanpa ada gangguan dari pihak lain. Namun Khadijah menyatakan, “Saya tidak membutuhkan surat rumah, karena saya berencana rumah ini akan saya bawa ketika meninggal.” Suaminya bertanya, “Apa maksudnya?”

Khadijah menjawab, “Saya menginginkan ketika kita meninggal nanti, rumah dan tanah ini kita wakafkan. Jadi yang saya inginkan adalah surat wakaf.” Mendengar penuturan istrinya, M Ali pun setuju. Mereka mengadakan acara syukuran dengan mengundang aparat desa, pengurus masjid dan saksi-saksi sebagai penguat. Mereka membuat surat pernyataan resmi wakaf yang ditandatangani oleh kepala desa, aparatur kampung dan para saksi yang hadir. Surat tersebut diserahkan kepada pihak masjid sebagai bukti wakaf untuk dikelola sebagai harta agama milik umat.

Adapun isi surat tersebut menyatakan bahwa, apabila suatu saat salah seorang dari mereka meninggal, maka yang satunya lagi masih bisa menempati rumah tersebut. Di saat keduanya sudah tidak ada, maka rumah tersebut sepenuhnya menjadi harta wakaf. Apakah rumah tersebut disewakan lalu hasilnya dipergunakan untuk keperluan umat, itu terserah kepada kebijakan pengurus masjid. Begitu kata Khadijah.

Khadijah menuturkan, wakaf merupakan cara terbaik dilakukan, agar ketika mereka sudah tidak ada, semua berjalan dengan baik, tanpa masalah nantinya. Ia berharap kelak tidak ada sangkut paut dengan masalah harta yang bisa saja menjadi sengketa, yang berujung perpecahan dan permusuhan. Tidak ada hal yang patut diperdebatkan bila mereka menjadi wakif, bahkan sebaliknya, menjadi rahmat bagi semua pihak.

Subhanallah. Bagi muslim yang mengetahui pentingnya wakaf, tentu saja menjadi suatu kebanggaan, bukan karena ria dan takabur, tetapi karena Allah semata. Meskipun mereka sekarang masih menempati rumah yang sudah diwakafkan, namun di wajah mereka berdua nampak kebahagiaan terpancar. 

Dengan penuh rasa haru Khadijah berkata, tiada kebahagiaan yang hakiki di dunia ini, semua hanya bersifat sementara. Harta yang kita miliki, pasti akan diminta pertanggungjawaban di hadapan Allah. Ketika meninggal akan dipertanyakan, hartamu yang banyak kemanakah kamu gunakan? Bila harta ditinggalkan tanpa dibelanjakan di jalan Allah, apalagi tidak memiliki anak sebagai ahli waris, kemungkinan besar akan menjadi sengketa pihak keluarga suami atau  istri.

Demikian suatu keyakinan menempuh langkah mulia, terpancar dari wajah mereka ketika menyampaikan hal tersebut. Meskipun belum sepenuhnya rumah dan tanah menjadi milik agama, karena mereka keduanya masih hidup, namun niat baik dan pahalanya dicatat sebagai amal shalih keduanya. Barakallah, semoga Allah meridhainya.

Sumber: Gema Baiturrahman

Editor: smh

0 Response

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel