Banjir dalam Sorotan Wakaf

Banjir dalam Sorotan Wakaf
Share

Oleh: Dr. Lukman Hamdani, M.E.I

Dosen Ekonomi Syariah Universitas Nahdatul Ulama Indonesia 

(UNUSIA) Bogor

Beberapa daerah ditimpa bencana banjir, antara lain di titik daerah penyangga ibu kota seperti Depok, Kabupaten Bogor, Kota Bekasi, Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang hingga beberapa titik di Jakarta. Di antara faktor penyebab banjir, pertama, insentitas hujan tinggi. Kedua, drainase yang buruk. Ketiga, sampah yang bertebaran. Keempat, lahan pertanian beralih menjadi komersil. Kelima, masyarakat tinggal di pelataran sungai atau kali. Kelima poin ini menjadi penyebab bajir di beberapa daerah saat ini.  

Menurut data BPNB DKI Jakarta, per 20 Februari 2021 curah hujan tidak menentu. 11 Februari 2015 mencapai 277, 1 Januari 2020 mencapai 377 dan 20 Februari 2021 mencapai 226. Sedangkan rumah warga yang tergenang menurun. 2015 mencapai 702, 2020 mencapai 390 hingga 20 Februari 2021 mencapai 113. Bahkan untuk area tergenang menurun drastis tahun 2015 mencapai 281, 2020 mencapai 156 dan 20 Februari 2021 mencapi 4. 

Menurut literatur, sejarah banjir Jakarta dimulai dari abad 17 Masehi sejak tahun 1621, 1654, 1873 oleh Jan Pieterszoon yang mendirikan Batavia dengan konsep kota air (water front city), dimulai tahun 1918 pada masa Gubernur VOC Johan Paul Van Limburg Stirum tahun 1909. Tahun 1965 pada masa Soemarno. Tahun  1976 pada masa Ali Sadikin. Tahun 1979  pada masa Tjokropranolo, berlanjut hingga Gubernur Soerjadi tahun 1996. Pada masa Gubernur Sutiyoso 1999-2002. Pada masa Fauzi Bowo Tahun 2007. Pada masa Jokowi tahun 2013. Pada masa Basuki Tjahaja Purnama tahun 2015, hingga masa Anies Baswedan 2019, 2020 dan 2021.

Beberapa langkah strategis dilakukan pemerintah dalam mengurangi banjir antara lain tahun 1918 memului Departemen Van Burgerlijke Penbara Werken (BOW). Tahun 1920 Stirum mencanangkan Kanal Banjir Barat dari Pintu Air Manggarai hingga Muara Angke. Tahun 1927 Pemerintah Belanda mengeluarkan 288.292 gulden. Tahun 1933 BOW diserahkan kepada gemeentewerken/badan yang mengurusi perhubungan dan perairan tingkat kota praja pemerintah mengeluarkan 25 ribu gulden untuk menangani banjir Jembatan Lima, Blandongan, dan Klenteng. Tahun 1965 Pemerintah RI membentuk Komando Proyek Pencegahan Banjir. Tahun 1972 proyek tersebut berganti nama menjadi Proyek Penggendalian Banjir Jakarta Raya, saat itu Ali Sadikin menggandeng Netherlands Engineering Consultans membangun waduk dalam kota, yaitu pembuatan saluran Cengkareng dan Cakung.

Lalu, apa kaitan banjir dan wakaf. Ada empat poin yang bisa saya uraikan disini: 

Pertama, perbaiki sistem drainase dimanapun, baik itu di perkotaan dan perkampungan secara terus menurus, karena hal ini mutlak harus dilakukan, agar orang tidak berani membuang sampah sembarangan di drainase. Ada baiknya menggunakan sistem BOT (Built Over Transfer) antara BWI dengan Kementerian Lingkungan, karena bila menggunakan sistem wakaf, maka orang akan berpikir lagi untuk membuang sampah di drainase dan harus ada nazhir yang mengelola drainase, agar bisa terkontrol secara utuh di setiap kota dan daerah. 

Kedua, sampah yang bertebaran. Hal ini menjadi problematika selama ini. Kita bisa membuat gagasan sampah wakaf seperti kardus-kardus dan botol-botol agar bernilai ekonomis bagi mauquf alaih. Sistemnya bisa kerjasama antara Bank Sampah yang ditempatkan setiap RT dengan para nazhir di daerah ataupun kota untuk mengurangi debit sampah. 

Ketiga, kembalikan lahan produktif. Jangan semua area pertanian dan persawahan dibuat perumahaan dan pabrik. Perlu planning dan tata ruang yang jelas antara Bappenas dengan Kementerian Pertanian dan Industri dan BWI, agar lahan produktif tidak semua dialihfungsikan. Peran BWI disini sangat sentral, bagaimana tanah-tanah produktif dibuat wakaf dengan BPN, sistemnya bisa menggunakan skema CWLS, dimana BWI sebagai nazhir, BPN yang mapping daerah produktif, Kementerian Pertanian sebagai tim pemantau dan pelaksana di daerah terkait pembibitan, pengolahan dan mauquf alaih kita berdayakan, agar mereka bisa menjadi wakif di kemudian hari. 

Keempat, jangan ada lagi masyarakat transmigrasi dari daerah ke kota, karena hal ini menyebabkan penumpukan di kota dan kekosongan di daerah. Bahkan saking susahnya mereka harus tinggal di pelataran sungai atau kali. Sudah saatnya masyarakat daerah diberdayakan melalui program unggulan seperti pertanian, peternakan, dan perkembunan. Lahan produktif harus diwakafkan pemerintah daerah melalui desa, karena mereka lebih paham lapangan, BWI sebagai nazhir, Kementrian Pertanian sebagai tim pemantau dan pelatihan pembibitan, pengolahan dan lain-lain,  serta koperasi syariah penyedia bahan-bahan pertanian. Perlu dihidupkan lagi Bulog, agar barang dari petani ke koperasi syariah, langsung ke Bulog dan ke pasar.

Empat poin inti inilah yang bisa menguraikan permasalahan banjir di perkotaan dan pedesaan, karena selama ini kita selalu abai dan tidak peduli terhadap alam, padahal penting kita menjaga alam dan lingungan, sebab semua itu akan berdampak kepada kita semua. Bila mengutip Umar bin Khattab: tanamlah sesuatu di muka bumi walau esok hari kiamat. Hal ini menandakan pentingnya kita beramal untuk menjaga alam ini dengan menanam, karena hal ini akan menjadi amal jariah kita di yaumil akhir. Menurut KH Alie Yafi, menjaga alam wajib hukumnya dan ini termasuk maqashid syariah.

Semoga Allah Swt menjadikan kita orang-orang yang bisa menjaga lingkungan dimanapun kita berada.

Editor: smh

0 Response

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel