Jamaah Haji Aceh Peroleh Manfaat Baitul Asyi Sejak 2006

Jamaah Haji Aceh Peroleh Manfaat Baitul Asyi Sejak 2006
Share

Oleh: Nurzaitun, S.Pd.I.

Baitul Asyi artinya rumah orang Aceh, yang berusia 250 tahun. Apakah selama 250 tahun pula orang Aceh merasakan manfaat harta wakaf tersebut? Berikut bincang-bincang saya dengan nazir wakaf Baitul Asyi, Drs H Jamaluddin Affan, yang kerap disapa dengan Syekh Jamal Asyi. 

Wakaf Baitul Asyi memang telah berusia 250 tahun, tetapi orang Aceh baru merasakan manfaat harta wakaf tersebut pada 2006 lalu. Kenapa demikian? Karena tidak ada yang peduli terhadap wakaf ini. Ketika beralihnya nazir dari orang Aceh keturunan Aceh kepada yang bukan keturunan Aceh, baru orang Aceh merasakan manfaatnya. Nazirnya bernama Dr M Abdul Latif Baltu. Dia warga kerajaan Saudi Arabia keturunan Bukhara. Dia juga Ketua Wakaf Sedunia yang ada di Makkah Mukarramah, yang ditunjuk oleh Kerajaan Arab Saudi sebagai nazir. 

Dengan adanya peristiwa peralihan nazir, timbullah pergolakan perebutan kekuasaan wakaf. Sedangkan dokumen wakaf tersebut tersimpan rapi di Mahkamah Syar'iyah Saudi Arabia. “Pada tahun 2006, nazir wakaf Baitul Asyi datang ke Aceh, yang dihadiri oleh Abdul Latif Baltu sebagai nazir yang baru terpilih, Syeh Abdul Ghani Asyi, Khalid dan saya sendiri,” kata Tgk Jamaluddin. 

“Kami menghadap Gubernur Aceh yang ketika itu, Mustafa Abu Bakar sebagai Plt gubernur,” kata Tgk Jamaluddin. Timbullah pertanyaan, mengapa para nazir datang ke Aceh?  Mereka ingin menyampaikan supaya harta wakaf Baitul Asyi lebih produktif pengelolaannya dan tepat guna sampai ke tangan jamaah haji Aceh. 

Setelah menghadap Pemerintah Aceh, utusan tersebut menuju Jakarta untuk menghadap Menteri Agama,  Dr Maftuh Basri, untuk menyampaikan pandangan nazir wakaf Baitul Asyi: pertama, pada 2006 jamaah haji Aceh ditempatkan di rumah atau hotel yang disewa dengan biaya wakaf, dan akan dipenuhi kebutuhan konsumsi sehari-hari disana. Namun Pemerintah Indonesia tidak menyetujuinya. 

“Sehingga muncul kesepakatan pengembalian uang sewa rumah Baitul Asyi kepada jamaah haji asal Aceh,” kata Tgk Jamaluddin.  Berapa uang yang diberikan kepada jamaah haji Aceh?  Pada waktu itu, sewa rumah seharga 200 riyal, maka 200 riyal diberikan kembali perorang jamaah haji Aceh. 

Seiring perjalanan waktu, muncul persoalan baru. Persoalan terjadi dalam sewa menyewa Baitul Asyi. Akhirnya diputuskan 120 riyal sampai sekarang. Kenapa berbeda? Dari 200 riyal  menjadi 120 riyal?  Itu karena disesuaikan dengan hasil pendapatan sewa rumah Aceh. Selain itu, karena para jamaah haji Aceh banyak jumlahnya. 

Dana yang dikeluarkan nazir wakaf Baitul Asyi kepada jamaah haji Aceh setiap tahun rata-rata Rp 22 miliyar. Uang tersebut tidak boleh diwakilkan oleh siapapun  dalam pengambilannya. Pembagiannya dilakukan perkeloter penerbangan. 

Bagaimana cara membedakan jama'ah haji Aceh dengan yang bukan? Ini dibuktikan dengan kartu identitas yang ditandatangani Gubernur Aceh, sehingga mempermudah pengenalannya di Makkah. Yang ada kartu dan nomor registrasi, langsung mendapatkan uang tunai di Saudi Arabia. 

Setelah terjadi pergusuran atau perluasan Masjid Haram, Aceh ketika itu dipimpin Gubernur Abdullah Puteh. Ketika dia datang ke Makkah dan diadakan rapat di sana oleh nazir Baitul Asyi, yang saat itu nazirnya masih Syeh Abdul Ghani Asyi, belum Syeh Baltu. Nazir meminta, supaya dua lokasi tanah yang masih kosong, yang terletak di Ajiat dibangun oleh Pemerintah Aceh. Ternyata Pemerintah Aceh, saat itu mengaku tidak cukup punya dana. 

Tanah wakaf Aceh yang pertama dengan luas tanah 3000 meter persegi, yang jaraknya dari Masjidil Haram hanya 300 meter. Kedua, dengan luas tanah 1000 meter persegi, jarak dengan Masjidil Haram 250 meter. Tanah wakaf tersebut sekarang harganya  450.000 riyal permeter. Sungguh harga fantastis. 

Seiring perjalanan waktu, tanah wakaf tersebut dibangun oleh investor Saudi Arabia, karena Pemerintah Aceh tidak cukup dana untuk membangun sendiri. Hotel yang dibangun pengusaha Saudi Arabia diberi nama Hotel Ramada, yang dibangun di atas tanah berukuran 3000 meter persegi, dengan kapasitas 1800 kamar. 

Sedangkan hotel satunya lagi diberi nama Hotel Ilamada Syair, yang dibangun di atas tanah berukuran 1000 meter persegi, dengan 750 kamar. Kedua hotel itu bintang lima, yang dikelola inevestor selama 22 tahun. Setelah itu  dikembalikan 100% kepada nazir. Selama ini pendapatan wakaf hanya mendapat 10% saja. 

Selain tanah wakaf orang Aceh yang ada di Ajiat, orang Aceh juga memiliki tanah wakaf di Aziziyah Syimaliyah. Tanah ini, tidak dibangun oleh investor Saudi Arabia, tetapi dibangun sendiri oleh nazir. Gedung tersebut diberi nama Gedung Habib Asyi, dengan kapasitas 750 jamaah, yang dibangun di atas tanah berukuran 800 meter persegi. Jarak bangunan tersebut dengan Masjidil Haram 3 kilometer. 

Selain itu, orang Aceh juga memiliki tanah wakaf di Aziziyah, dengan luas tanah 1000 meter, yang telah dibangun kantor dan rumah. Rumah yang di atas kantor tersebut ditempati oleh penduduk keturunan Aceh warga negara Saudi Arabia. 

Satu lagi aset tanah wakaf Aceh di Syaukiyah, yang dibeli tahun 2016 dengan harga sekitar 6.000.000 riyal. Bangunan lima lantai itu diperuntukkan untuk penduduk Saudi Arabia keturunan Aceh dan yang bukan keturunan Aceh. “Yang bukan keturunan Aceh hanya saya yang tinggal di sana,” kata Tgk Jamaluddin. 

Inilah aset wakaf Habib Bugak di Arab Saudi, yang nilainya triliunan rupiah. Satu pertanyaan, sampai kapan harta wakaf Aceh ini  dibagi kepada jamaah haji Aceh? Jawabannya adalah, sebelum kiamat tiba dan jamaah haji Aceh masih melaksanakan ibadah haji.*

Editor: smh

0 Response

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel