Otokritik, Data Kemiskinan dan Intensifikasi Wakaf

Otokritik, Data Kemiskinan  dan Intensifikasi Wakaf
Share

Oleh: Jalaluddin

Otokritik pada dasarnya merupakan suatu upaya untuk melakukan perubahan budaya, adat atau habit (kebiasaan) yang kurang baik dalam suatu komunitas masyarakat, keluarga, golongan, organisasi atau lembaga dengan melakukan kritik oleh anggota dari dan untuk komunitas itu sendiri. Namun seringkali kita dihadapkan pada kondisi formalistik, sehingga kondisi tersebut mematikan sikap kritis masyarakat.

Som gasin peu leumah kaya dan som kaya peu leumah gasin. Kata-kata bijak ini, perlu direnungi kembali, ketika terlalu banyak energi yang kita habiskan untuk hal-hal yang kurang bermanfaat. Contohnya: ketika Aceh mendapat peringkat daerah termiskin di Sumatera, sebagian orang senyum, senang dan bermacam respon negatif. 

Bisa saja prediksi saya salah, padahal ketika kita senyum, boleh jadi itu senyum untuk diri kita sendiri. Akhirnya rakyat larut dalam hal-hal negatif, padahal yang kita kritisi tidak jauh beda dari kita. Lalu solusinya apa? Justru solusi bersama harus kita pikirkan, bukan kita habiskan energi untuk menyalahkan orang lain, seperti kata bijak: gajah di pelupuk mata tidak kelihatan, tapi semut di seberang lautan nampak jelas. 

Maksud saya perlu check and balance, kritik dan saran yang konstruktif harus tetap dilakukan, sebagai bagian dari perbaikan. Begitu juga dengan pemimpin, ketika rakyat mengkritisi pemerintahan, kita harus berterima kasih dan melakukan langkah nyata perbaikan. Itulah salah satu ciri masyarakat madani (bersyariat dalam segala hal seperti perintah Allah dan Rasul, begitu juga dengan perintah ulil amri). 

Jadi tidak ada yang kita salahkan, sebab itu kesalahan kita semua, tapi harus kita ingat pemimpin memiliki tanggung jawab yang lebih besar dibandingkan rakyatnya, termasuk pemimpin rumah tangga yang semua itu akan diminta pertanggungjawaban oleh Allah Swt. 

Kembali  ke ”som gasin peu leumah kaya” (artinya tidak memperlihat kita miskin, tapi memperlihat kita kaya), adalah salah satu gaya hidup (life style) hedonisme (serba wah) dan inilah yang terjadi sekarang ini. Padahal Islam tidak mengajarkannya.  

Sementara ”som kaya peu leumah gasien” (tidak menampakkan kekayaan, tapi menampakkan kemiskinan), dalam bahasa agama ketika perilaku manusia yang berwatak rendah hati, tidak sombong, tidak angkuh, atau merendahkan diri, agar tidak kelihatan sombong, angkuh, congkak, besar kepala atau tawadhu'.  

Tawadhu' artinya rendah hati, tidak sombong, lawan dari kata sombong atau takabur.  Demikian pula  qana’ah, salah satu istilah dalam ajaran kita yang merujuk pada sifat atau sikap bersyukur. Dalam hal ini, seseorang yang memiliki sifat qana’ah akan selalu bersyukur dan merasa cukup dengan segala nikmat yang telah diberikan Allah SWT. 

Sifat qana’ah juga dikaitkan dengan sikap lapang dada yang dimiliki seseorang.  Sifat-sifat inilah yang harus kita pelihara dan saling mengingatkan di antara kita. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt dalam surat Ibrahim ayat 7: “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat." 

Tapi ketika kita sebenarnya mampu membiayai diri sendiri dan keluarga, serta  memiliki aset yang bisa kita produktifkan, mengapa pula kita memposisikan diri sebagai orang miskin. Hal ini saya dengar, amati sendiri di kampung saya ketika banyak rakyat membicarakan kemiskinan  di warung kopi, pos jaga bahkan di rumah ibadah. 

Pengamatan warga 

Hasil pengamatan dan diskusi dengan warga masyarakat, keuchik, tokoh masyarakat, imum gampong, serta  guru, walaupun tidak merepresentasikan seluruh masyarakat, tapi setidaknya ada kritik dan saran masyarakat. Walaupun terus terang saya kuatir ketika mencoba nimbrung diskusi. Tapi dengan alasan sampaikan walau itu pahit, saya ikut diskusi bersama mereka.

Dari hasil diskusi itu, ternyata banyak masyarakat mendapatkan Bantuan Langsung Tunai (BLT), keluarga prasejahtera dan program lainnya, kecuali PNS. Boleh jadi kalau data itu yang digunakan, wajar jika kemiskinan di Aceh meningkat dari tahun ke tahun, apalagi di masa pandemi Covid-19.  

Patut dicatat, data itu mencerdaskan. Ketika data tidak valid dan dijadikan patokan, maka hasilnya juga tidak dapat dipertanggungjawabkan. Ketika saya tanyakan kepada keuchik, mengapa bantuan dibagi rata kepada seluruh masyarakat, dia mengatakan tidak enak jika tidak diberikan, bahkan mereka yang secara kasat mata memiliki kemampuan tidak terima jika tidak diberikan bantuan. Artinya, peringkat Aceh menjadi daerah termiskin di Sumatera, boleh jadi karena kita sendiri mengaku miskin. 

Solusi 

Menurut penelitian, beberapa solusi yang bisa dilakukan, pertama, pendataan berapa pengeluaran perhari atau perbulan rata-rata rumah tangga, sebelum Covid-19 dan selama Covid-19; Kedua, aset bergerak dan tetap yang dimiliki dan lain-lain pihak penelitian profesional pasti lebih paham; Ketiga, penelitian meliputi agama, sosial dan antropologi, dimana pelakunya mahasiswa tingkat akhir seperti KPM yang menetap di lokasi selama 6-12 bulan dan membuat laporan akhir sebagai pengganti skripsi dan diakui kesarjanaan. 

Keempat, pendataan ulang harta agama seperti aset wakaf untuk dibuat legalitas, agar bisa ditingkatkan manfaat aset wakaf yang sudah ada, yaitu dengan intensifikasi wakaf yang ada dan menggalakkan wakaf tunai (produktif) sebagai solusi pemberdayaan ekonomi umat. 

Kita bisa libatkan generasi milenial seperti mahasiswa, karena estafet kepemimpinan di tangan mereka dan kita perlu membuat laboratorium riil, bukan hanya teori. Selama mereka melakukan KPM di desa para mahasiswa diberikan jerih payah berupa honor seperti halnya peneliti senior. Mereka tentu memerlukan supervisi peneliti senior. 

Kalau update data dari segala sisi tidak dilakukan, kejadian seperti ini terus berlanjut dan tidak ada solusinya, hilang semangat dan motivasi untuk berubah. Masalah pun akan selesai dengan datangnya masalah lainnya, begitu terus menerus. Wallahu a’lam.*

Editor: smh 

Penulis, Dosen Ekonomi Syariah-FEBI UIN Ar-Raniry dan Mahasiswa Pascasarjana UIN Ar-Raniry. Email:  jalaluddin.hoessien@ar-raniry.ac.id

0 Response

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel