Ibadah Wakaf: Sementara atau Selamanya

Ibadah Wakaf: Sementara atau Selamanya
Share

Oleh: Husni A. Jalil, MA

Sekretaris Prodi Tata Negara Fakultas Syariah dan Hukum Tata Negara UIN Ar-Raniry

Diskursus mengenai wakaf sekarang menjadi tren pembicaraan berbagai kalangan masyarakat Indonesia, terlebih setelah presiden Republik Indonesia Joko Widodo meresmikan Gerakan Nasional Wakaf Uang dan Brand Ekonomi Syariah, 25 Januari 2021 lalu.  

Diskursus wakaf tidak pernah berhenti dan terus berkembang mengikuti perkembangan  zaman. Hal ini dapat dipahami, karena konsepsi wakaf merupakan hasil ijtihad ulama terhadap ayat-ayat wakaf dalam al-Qur’an dan hadis Rasulullah saw.  Bahasa lain dari hasil ijtihad para ulama adalah fikih. Fikih dapat diartikan sebagai hukum syara’ yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf yang diistinbatkan dari dalil-dalil yang terperinci, baik dari al-Qur’an maupun hadis. Maksud hukum syara’ disini adalah hukum syara’ yang merupakan hasil ijtihad para ulama dari al-Qur’an dan hadis.

Salah satu konsepsi wakaf yang menjadi perhatian para ulama adalah tentang masa atau rentang waktu wakaf. Apakah wakaf mesti selama-lamanya/permanen (muabbad) atau boleh dalam jangka waktu tertentu (muaqqad).

Persoalan rentang waktu wakaf terus mengemuka dalam ruang-ruang diskusi publik dan menjadi fokus pembicaraan para ulama sejak periode tabi’in sampai sekarang dan akan terus menjadi salah satu obyek pembicaraan para pakar hukum Islam. Perbedaan pendapat para ulama tentang adanya jangka waktu wakaf (muaqqad) atau berlaku selama-lamanya (muabbad) merupakan suatu hal yang lumrah terjadi, karena dalam al-Qur’an maupun hadis tentang wakaf tidak disebutkan secara tegas tentang apakah kemudian wakaf berlaku selama-lamanya (muabbad) atau boleh berjangka waktu (muaqqad).

Secara umum ada dua pendapat ulama dalam merespon kenyataan fikih wakaf di atas, jumhur ulama mulai dari mazhab Hanafi, Syafi’i dan Hanbali berpendapat wakaf mesti selama-lamanya. Sedangkan mazhab Maliki memberi opsi kepada wakif untuk berwakaf selama-lamanya (muabbad) atau boleh berjangka waktu (muaqqad). Tegasnya, mazhab Maliki membolehkan wakaf untuk waktu tertentu dan tidak mensyaratkan wakaf untuk selama-lamanya. Artinya boleh saja kemudian wakif mewakafkan hartanya selama setahun atau sesuai dengan keinginan dari wakif sendiri. Jadi, apabila wakif memilih wakaf berjangka waktu, maka apabila batas waktu wakaf berakhir, wakif boleh mengambil kembali harta tersebut. 

Argumentasi yang dibangun kalangan mazhab Maliki tentang kebolehan wakaf sementara dalam jangka waktu tertentu karena tidak adanya dalil tegas yang mewajibkan wakaf selama-lamanya. Kemudian alasan lain adalah wakaf salah satu bentuk sedekah yang dianjurkan oleh agama, sedangkan sedekah itu sendiri boleh membatasi limit waktu dan boleh pula secara permanen.

Pendapat jumhur termasuk mazhab Syafi’i menjelaskan, wakaf mesti selama-lamanya, artinya tidak boleh wakaf sementara atau berjangka waktu. Implikasi dari pendapat ini, wakif ketika mewakafkan hartanya maka secara otomatis berlaku selama-lamanya dan ketentuan ini menjadi salah satu pembeda antara ibadah wakaf dengan ibadah-ibadah lainnya. Dan tidak sah mewakafkan suatu harta dengan cara menentukan limitasi waktu. 

Argumen yang dibangun oleh kelompok jumhur termasuk mazhab Syafi’i tentang durasi wakaf mesti selama-lamanya adalah berdasarkan hadis Umar bin Khattab yang mewakafkan tanahnya di Khaibar dan hadis tersebut menjadi rujukan utama bagi ulama dan pemerhati wakaf. Pada hadis tersebut Rasulullah saw memberikan wejengan penting bagi sahabat Umar bin Khattab terkait bagaimana kemudian “memanage” suatu harta. “Kalau engkau mau, tahanlah harta asalnya dan sedekahkan hasilnya”   begitu narasi yang diucapkan oleh Rasulullah saw dan kemudian Umar bin Khattab r.a mengikuti arahan Rasulullah saw dengan cara menahan asal tanah tersebut, menyedekahkan hasilnya dengan tidak menjualnya, tidak menghibahkan dan tidak mewariskannya.

Dalam memahami hadis di atas, ulama yang berpendapat wakaf mesti secara permanen mengatakan bahwa praktik Umar bin Khattab yang tidak menjual, tidak menghibahkan dan tidak mewakafkan hartanya juga merupakan hadis Rasulullah saw yang disebut dengan hadis takrir yang berarti perbuatan Umar bin Khattab r.a sebagai sahabat diketahui oleh Rasulullah saw dan Rasulullah membiarkannya berarti menyetujui perbuatan tersebut.

Saya berpikir narasi dan argumentasi yang dikonstruksikan oleh jumhur tentang wakaf mesti selama-lamanya (muabbad) berdasarkan dalil-dalil  yang disebutkan di atas lebih kuat, karena ketika sahabat Umar bin Khattab menahan hartanya dengan menyedekahkan hasilnya seraya tidak menjual, tidak menghibahkan dan tidak mewasiatkan harta tersebut diketahui oleh Rasulullah dan Rasulullah saw tidak menegurnya. 

Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf yang merupakan undang-undang wakaf pertama di Indonesia juga mengatur tentang durasi waktu wakaf. Undang-undang tersebut memberikan pilihan bagi wakif ketika akan mewakafkan hartanya, artinya undang-undang tersebut membolehkan wakaf sementara atau selama-lamanya.

Pada pasal 1 disebutkan wakaf merupakan perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah. 

Penyebutan tentang wakaf untuk selamanya (muabbad) atau jangka waktu tertentu (muaqqad) dalam Undang-undang wakaf nomor 41 tahun 2004 membuktikan, perumus undang-undang tersebut mencoba mengakomodir beberapa konsep fikih yang berbeda dalam khazanah keilmuan Islam. Hal ini kalau dikaji lebih jauh merupakan salah satu ikhtiar  pemerintah untuk memajukan perwakafan di Indonesia, sehingga fungsi dari wakaf untuk mewujudkan potensi dan manfaat harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan memajukan kesejahteraan umum  dapat tercapai, baik dengan cara mewakafkan  harta benda secara limitasi waktu atau wakaf selamanya.*

Editor: smh

0 Response

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel