Wakaf Menurut Qanun 10 Tahun 2018

Wakaf Menurut Qanun 10 Tahun 2018
Share

 

Oleh: Sayed Muhammad Husen

Wakafnews.com -- Pengelolaan dan pengembangan wakaf di Aceh dilaksanakan dalam kerangka penerapan syariat Islam secara kaffah yang diamanahkan oleh UU Nomor 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh. Salah satu keistimewaan Aceh adalah di bidang syariat Islam. Regulasi tentang syariat Islam selanjutnya diperkuat dengan UU Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), yang merupakan kristalisasi MoU Helsinki tahun 2005. Ini artinya, wakaf selain bagian dari syariat Islam, juga merupakan spirit damai Aceh untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan.

Pengelolaan wakaf menurut UUPA dilaksanakan oleh Baitul Mal Aceh (BMA) dan Baitul Mal Kabupaten/Kota, yang kemudian diatur dengan Qanun Aceh (Pasal 191). Untuk ini, telah dibentuk Qanun Aceh Nomor 10 tahun 2007 tentang Baitul Mal, yang kemudian diubah dengan Qanun Aceh Nomor 10 tahun 2018 tentang Baitul Mal. Qanun terakhir ini dalam proses revisi oleh DPRA. Revisi yang dianggap terlalu cepat itu, untuk menampung pengaturan lebih longgar tentang penggunaan infak. Termasuk memberi ruang infak untuk pemberdayaan wakaf.

Dalam konteks wakaf, UUPA mewajibkan Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota melakukan perlindungan hukum terhadap tanah wakaf, harta keagamaan, dan keperluan suci lainnya (pasal 213 ayat 4). Berdasarkan data Siwak Kemenag, luas tanah wakaf yang wajib dilindungi di Aceh 9,4 ribu hektar atau 17 ribu persil. Jumlah ini belum termasuk tanah wakaf yang tidak terdata atau belum memiliki legalitas Akta Ikrar Wakaf (AIW) dari Kantor Urusan Agama.

Selain regulasi lokal, pengelolaan wakaf di Aceh juga menggunakan regulasi nasional yaitu UU Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf dan PP Nomor 42 tahun 2004 tantang Pelaksanaan UU Nomor 44 tahun 2004 tentang Wakaf dan PP Nomor 25 tahun 2018 tentang Perubahan atas PP Nomor 42 tahun 2006 tentang Pelaksanaan UU Nomor 44 tahun 2004 tentang Wakaf. Regulasi wakaf ini masih harus dilengkapi dengan Peraturan Gubernur Aceh tentang Pengelolaan Wakaf (dalam proses). Maka dapat dipahami bahwa pengelolaan wakaf di Aceh tetap dalam bingkai sistem perwakafan nasional.  

Untuk melaksanakan kewenangan Aceh di bidang wakaf, dibentuk Baitul Mal, yang menurut definisi Qanun Aceh Nomor 10 tahuh 2018:  Baitul Mal adalah lembaga keistimewaan dan kekhususan pada Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota yang dalam melaksanakan tugasnya bersifat independen berwenang untuk menjaga, memelihara, mengelola dan mengembangkan zakat, infak, harta wakaf, dan harta keagamaan lainnya, dan pengawasan perwalian berdasarkan syariat Islam (pasal 1 angka 11).  

Dari pengertian ini, Baitul Mal memiliki kewenangan dan fungsi yang cukup berat, yaitu selian mengelola dan mengembangkan wakaf, juga mengelola zakat, harta agama lainnya dan melaksanakan fungsi pengawasan  perwalian terhadap harta anak yatim. Akibatnya, sejak dibentuk dengan Surat Keputusan Gubernur Aceh Nomor 18 tahun 2003, Baitul Mal belum optimal melaksanakan fungsi perwakafan. Menurut Prof Dr Al Yasa’ Abubakar MA, Baitul Mal baru dapat dikatakan sukses dalam mengelola zakat dan infak. 

Menjaga, memelihara, mengelola, dan mengembangkan wakaf adalah pekerjaan profesional dan  menantang, yang harus dilalukan oleh sumber daya insani yang unggul, didukung oleh organisasi dan manajamen yang baik. Untuk ini, Baitul Mal Aceh (BMA) baru mendapat momentum revitalisasi pengelolaan wakaf sejak Januari 2021, setelah pembentukan Susunan Organisasi dan Tata Kerja (SOTK) baru Sekretariat BMA, pelantikan Kasubbag Wakaf dan Perwalian, pengangkatan anggota Badan BMA (komisioner) dan tenaga profesional di bidang wakaf, serta tambahan staf dengan jabatan fungsional umum analis wakaf. (Bagian pertama) 

Sumber: baitulmal.acehprov.go.id

0 Response

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel