Wakaf Menurut Qanun 10 Tahun 2018

Wakaf Menurut Qanun 10 Tahun 2018
Share

 

Oleh: Sayed Muhammad Husen

Pendiri Media Wakaf News 

Wakafnews.com -- Pengelolaan dan pengembangan wakaf oleh BMA dan BMK, dapat dilakukan dengan pembentukan lembaga keuangan mikro syariah (LKMS), Badan Kenaziran Aceh dan Badan Kanaziran Kabupaten/Kota. Hal ini diatur pada pasal 19 huruf b dan pasal 26 huruf b: “Pembentukan lembaga keuangan mikro syariah untuk menyalurkan zakat, infak, wakaf, dan harta keagamaan lainnya sebagai dana pinjaman dan/atau bergulir.” 

Selama ini, wakaf uang dikelola oleh LKMS Bank Wakaf Mikro dan LKMS lainnya seperti Koperasi Syariah dan Koperasi Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah (KSPPS). Hal yang sama dapat dilakukan oleh LKMS bentukan BMA dan BMK yang mendapat lelagitas sebagai nazir wakaf uang dari BWI. Qanun belum memberikan legalitas kepada BMA maupun BMK sebagai nazir wakaf uang.      

Dalam penyusunan qanun belum mempertimbangkan fungsi sosial LKMS dan membatasi fungsi LKMS hanya untuk penyaluran manfaat wakaf (mauquf alaih), padahal dalam perkembangan wakaf kontemporer dan ketentuan PP Nomor 7 tahun 2021 tentang Kemudahan, Perlindungan dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah pasal 14 dan 15, LKMS (baca: koperasi syariah) dapat melakukan pengelolaan zakat dan wakaf, dengan membentuk Unit Pengumpul Zakat dan nazir wakaf (termasuk wakaf uang).

Dalam menjalankan fungsi sosial, LKMS bisa bermitra dengan Baitul Mal, BAZNAS, Lembaga Amil Zakat dan menjadi nazir wakaf, sesuai peraturan perundang-undangan (lihat PP 7/2021 pasal 16, penjelasan pasal 14 dan 15). Menurut aturan yang ada, LKMS yang dibentuk oleh BMA atau BMK dapat mengurus izin sebagai nazir wakaf dan nazir wakaf uang pada Badan Wakaf Indonesia (BWI).     

Selain pembentukan LKMS, BMA sesuai ketentuan qanun pasal 19 huruf d membentuk Badan Kenaziran Aceh (BKA). BKA ini dibentuk pada tingkat provinsi, kabupaten/kota hingga tingkat kecamatan (pasal 133 ayat 1). Sementara pengelolaan wakaf pada tingkat gampong dilakukan oleh BMG. Ketentuan lebih lanjut tentang Badan Kenaziran ditetapkan melalui Peraturan Gubernur (pasal 133 ayat 3), yang saatnya ini dalam proses pengesahan. 

Qanun Nomor 10 tahun 2018 mengatur bab khusus tentang wakaf, yaitu Bab XI pasal 128 hingga 134. Pasal-pasal ini mengatur hal-hal yang tidak jauh berbeda dengan peraturan perundang-undangan wakaf yang ada, misalnya tentang ikrar wakaf, jenis wakaf, wakif, mauquf alaih, pencatatan wakaf, dan kenaziran.  

Beberapa hal yang berbeda dengan ketentuan nasional terdapat dalam Qanun 10 tahun 20018: pembentukan badan kenaziran (pasal 133), kewajiban BMA dan BMK melakukan pembinaan terhadap pengelolaan harta wakaf, pembinaan nazir, kewajiban nazir mendaftarkan wakaf kepada BMA atau BMK, dan pergantian nazir yang menelantarkan wakaf. “Dalam melaksanakan kegiatannya nazir wakaf wajib melakukan koordinasi dan melaporkan setiap kegiatannya kepada BMK (pasal 164 ayat 3). 

Qanun juga mengatur tentang jinayah wakaf yang terdapat pada pasal 156, 157 dan 158. Setiap orang yang melakukan, turut melakukan atau membantu melakukan penggelapan wakaf yang diserahkan kepada Baitul Mal, dihukum karena penggelapan, dengan ‘uqubat ta’zir berupa cambuk di depan umum paling sedikit satu kali, paling banyak tiga kali, atau penjara paling singkat satu bulan, paling lama tiga bulan dan denda paling sedikit satu kali, paling banyak dua kali dari nilai wakaf yang digelapkan. Pelaku wajib mengembalikan dan/atau membayar kembali kepada Baitul Mal senilai wakaf yang ia gelapkan.

Kemudian, petugas Baitul Mal yang melakukan, turut melakukan atau membantu melakukan penggelapan wakaf yang dikelola oleh Baitul Mal, dihukum karena penggelapan, dengan ‘uqubat ta’zir berupa cambuk di depan umum paling sedikit sepuluh kali, paling banyak tiga puluh kali atau penjara paling singkat sepuluh bulan, paling lama tiga puluh bulan. Pelaku wajib mengembalikan (membayar kembali) kepada Baitul Mal senilai wakaf yang ia gelapkan. 

Dengan memahami qanun ini, BMA dan BMK dapat melakukan revitalisasi kewenangan dan fungsi di bidang perwakafan, sehinga wakaf sebagai bagian dari pelaksanaan syariat Islam lebih optimal pengelolaan dan pengembangannya di Aceh. Hal utama yang harus dilakukan adalah penataan kelambagaan BMA dan BMK, pembentukan badan kenaziran, LKMS, melengkapi regulasi dan sinergisitas dengan instansi terkait yaitu Kemenag, BWI, dan Badan Pertanahan Nasional.

Diperlukan juga sinkronisasi dan pengkajian yang lebih intensif tentang regulasi, sehingga kewenangan Aceh dalam pengelolaan wakaf sebagaimana ketentuan UUPA pasal 191 dapat diimplementasikan. Momentum rencana perubahan UU Nomor 41 tahun 2004 tantang wakaf dapat dijadikan peluang sinkronisasi peraturan perundang undangan wakaf dan merancang pengelolaan wakaf yang terintegrasi. Maksudnya, kekhususan dan keistimewaan Aceh di bidang perwakafan dapat diwujudkan dalam bentuk pengelolaan, pembinaan dan pengawasan wakaf yang efektif dan efesien. 

Qanun Aceh Nomor 10 tahun 2018 memang belum cukup konprehensif mengatur tantang wakaf, untuk ini diperlukan kajian akademik perubahan qanun tersebut. Dengan ini diharapkan pengelolaan dan pengembangan wakaf bisa dilakukan oleh BMA, BMK dan BMG lebih profesional, yang didukung oleh regulasi, kelembagaan, sumber daya insani, dan anggaran yang memadai. Harapan bahwa wakaf menjadi alternatif pembiayaan dalam mewujudkan Aceh yang damai, adil dan sejahtera dapat terwujud. (Selesai)

0 Response

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel