Batu Nisan Kedua

Batu Nisan Kedua
Share

Oleh H. Hendri Tanjung, Ph.D

Anggota Badan Wakaf Indonesia (BWI)

Penulis  merasakan kesedihan yang cukup dalam empat bulan lalu.

Dalam satu bulan, ada tiga orang teman sekolah semasa di Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang wafat. Bahkan satu diantaranya bukan hanya teman SMP, tetapi juga SMA, teman kuliah di Institut Pertanian Bogor (IPB) dan teman satu kost ketika kuliah di Bogor. Memang, dengan pandemi covid-19 ini, psikologis kita dekat sekali dengan kematian. Berita di group whatsApp (WA) pun sama, hampir tiap hari kita mendengar kata-kata “Inna Lillahi Wa Inna Iliahi rajiun”. Bahkan ada yang tidak mau membuka WA group dengan alasan untuk tidak mengetahui berita-berita kematian yang massif. Apalagi bagi yang sedang terpapar covid, disarankan untuk tidak membaca berita-berita kematian karena covid. Dikhawatirkan akan membuatnya cemas berlebihan dan akhirnya menurunkan imunnya. Cerita teman yang dirawat di rumah sakit karena covid, ketika diumumkan ada yang meninggal, dia langsung merasa, jangan-jangan, habis ini dia yang wafat.

Tidak dapat dipungkiri, semua orang akan merasakan mati. Al Qur’an mengatakan dalam surat Ali Imran ayat 185 yang artinya: “Tiap- tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan”.

Ibn Katsir ketika menafsirkan ayat ini menulis: seluruh umat manusia dan jin akan mengalami kematian. Demikian juga para malaikat termasuk malaikat yang memikul ‘Arsy. Yang tetap hidup abadi adalah Rabb yang Mahaesa dan Mahaperkasa. Allah-lah yang akhir, sebagaimana pula Allah-lah yang awal. Dan selanjutnya Allah akan memberikan balasan kepada semua makhluknya sesuai dengan amalnya yang mulia maupun hina, besar maupun yang kecil, banyak maupun sedikit, sehingga tidak ada seorangpun yang dizaliminya meski hanya sebesar biji sawi. (Ibn Katsir, jilid 2, hal 257).

Diujung ayat, tertulis yang artinya: “Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” Qatadah berkata: yaitu kesenangan yang pasti ditinggalkan. Demi Allah, yang tiada illah selain Allah, dunia ini nyaris akan lenyap dari tangan pemiliknya. Jika kalian mampu, maka ambillah dari kesenangan itu untuk ketaatan, sesungguhnya tiada daya dan upaya kecuali dengan kekuatan Allah (Ibn Katsir, jilid 2, hal 259).

Pesan Qatadah sangat jelas, jadikan kesenangan dunia untuk ketaatan. Jadikan kesenangan badan untuk ibadah, jadikan kesenangan harta untuk berwakaf, jadikan kesenangan waktu luang untuk berzikir, dan lain sebagainya.

Ketika kematian datang, orang-orang akan datang melaksanakan fardu kifayahnya, dimulai dengan memandikan, menyalatkan dan menguburkan. Di kuburan, setelah prosesi penguburan selesai, ditancapkanlah kayu nisan yang bertuliskan nama, tanggal lahir dan tanggal wafat. Inilah nisan yang akan tertancap di setiap kuburan orang yang wafat. Setelah beberapa waktu kemudian, barulah diganti dengan batu nisan yang lebih baik. Inilah batu nisan pertama. Lalu apa yang dimaksud dengan batu nisan kedua?

Abadikan melalui wakaf

Batu nisan kedua yang penulis maksudkan adalah nama seseorang yang tertulis pada sebuah bangunan, seperti di rumah sakit, kampus, sekolah, masjid, dan lain lain. Contohnya adalah rumah sakit mata Achmad Wardi. Nama Achmad Wardi tertulis indah menjadi nama sebuah rumah sakit mata di Serang. Kenapa namanya Achmad Wardi? Karena yang berwakaf, namanya Achmad Wardi. Di Pakistan, ada sebuah rumah sakit besar yang bernama Surayya Azeem Teaching Hospital. Nama itu diambil dari nama orang yang mewakafkannya, Surayya Azeem. Rumah sakit ini terletak di kota Lahore, Pakistan.

Dalam perjalanan ke Eropa tahun 2018, penulis duduk di pesawat di sebelah seseorang yang bekerja di Massachusetts Institute of Technologi (MIT), Amerika. DIa bercerita bahwa di MIT ada sebuah laboratorium yang namanya ‘Abdul Latif Laboratorium’. Setidaknya ada tiga lab yang didirikan oleh Abdul Latif yaitu: The Abdul Latif Jameel Poverty Action Lab (J-PAL), The Abdul Latif Jameel World Education Lab (J-WEL), dan The Abdul Latif Jameel Water and Food System Lab (J-WAFS). Setelah ditanya, kenapa namanya Abdul latif? Disebabkan Abdul Latiflah yang mewakafkan hartanya untuk membangun laboratorium tersebut. Itulah beberapa orang yang sudah memiliki nisan keduanya.

Bulan Juli lalu, salah seorang adik kelas mengirimkan pesan lewat WA. Isinya, dia dan dua temannya telah membeli tanah seluas dua hektar yang akan dijadikan pesantren. Pesantren ini diniatkan sebagai batu nisan kedua mereka bertiga. Dia katakan, itu atas motivasi penulis untuk mempersiapkan batu nisan kedua. Dia mendengarkan penulis khutbah Jum’at di Masjid Baitussalam Bogor Raya Permai. Dalam khutbah tersebut, jamaah dimotivasi untuk mempersiapkan batu nisan kedua dengan wakaf.

Di Koperasi Syariah Benteng Mikro Indonesia, ada yang sudah berwakaf seratus juta rupiah untuk wakaf sawah. Dia mengatakan, ketika melihat sawah wakaf tersebut, perasaan batinnya sangat puas dan bahagia, karena dapat berkontribusi bagi umat dengan wakafnya tersebut. Setidaknya, itulah yang penulis dengar ketika berdialog dengan wakif tersebut.

Achmad Wardi telah berwakaf di Serang, Indonesia. Surayya Azeem telah berwakaf di Lahore, Pakistan. Abdul Latif telah berwakaf di Boston, Amerika. Banyak lagi yang sudah berwakaf yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Mereka telah berhasil mengukir batu nisan keduanya.

Wakaf untuk orangtua

Dari Abdullah bin Abbas r.a: Sa’ad bin Ubadah bertanya kepada Nabi saw, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal. Sedang saat itu, aku disampingnya. Apakah bermanfaat jika aku menyedekahkan sesuatu untuknya? Rasulullah menjawab: ya, bermanfaat. Kemudian Sa’ad mengatakan kepada Nabi saw: kalau begitu, aku bersaksi padamu bahwa kebun yang berbuah lebat ini aku sedekahkan untuknya (HR Bukhari nomor 2756).

Inilah bakti Sa’ad kepada ibunya yang sudah meninggal dunia. Sa’ad berwakaf atas nama ibunya. Inilah hikmah memiliki anak yang saleh. Dengan kesalehan yang dimiliki anak, apabila anak itu punya harta, maka sang anak dapat berwakaf atas nama orangtuanya. Sungguh beruntung apabila seseorang memiliki harta sekaligus memiliki anak yang saleh, dimana kedua ini adalah amal yang berketerusan walaupun seseorang sudah meninggal dunia.

Hadits riwayat Muslim dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda: jika meninggal dunia anak adam (manusia), maka putuslah semua amalnya kecuali tiga perkara: sedekah jariyah (wakaf), ilmu yang bermanfaat, dan anak yang saleh yang mendoakan kedua orangtuanya. Apabila dalam diri seorang hamba berkumpul ketiganya (harta wakafnya, ilmunya, dan anaknya yang saleh), maka dialah orang yang sukses sesungguhnya.

Siapkah?

Covid-19 menyisakan nestapa yang luar biasa. Berapa banyak anak yang kehilangan ibunya. Berapa banyak anak yang kehilangan bapaknya. Bahkan, beberapa anak menjadi yatim piatu karena kehilangan bapak dan ibunya sekaligus akibat covid ini. Bagi kita yang kehilangan ibu atau bapak, saatnya kita berpikir untuk berwakaf atas namanya, sebagai bukti bakti kita kepada orangtua. Rencanakan umur kedua orang tua kita.

Penulis pernah diminta memberi tausiyah kepada teman yang ibunya meninggal dunia. Dalam tausiyah tersebut, anak-anak almarhumah dimotivasi untuk berwakaf atas nama ibu mereka. Setelah beberapa lama, Alhamdulillah, mereka telah membeli sebuah asset yang diwakafkan atas nama ibu mereka.

Untuk menutup tulisan sederhana ini, penulis ingin mengajukan dua pertanyaan: pertama, siapkah pembaca merencanakan nisan keduanya? Kedua, siapkah pembaca berwakaf atas nama orangtua yang sudah meninggal dunia?

Sumber: Majalah PELUANG, September 2021

Editor: smh

0 Response

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel