Konsep Pengelolaan Aset Zakat Produktif

Konsep Pengelolaan Aset Zakat Produktif
Share

 

Oleh: Lokot Zein Nasution

Peneliti Ahli Utama Pusat Kebijakan Sektor Keuangan

Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan

Kata Wakaf berasal dari bahasa Arab (jamaknya auqaf) yang mempunyai arti mencegah atau menahan (Omar & Rahman, 2013). Kata “menahan” itu didefinisikan sebagai suatu tindakan penahanan dari penggunaan dan penyerahan aset yang biasanya untuk jual beli ditahan dan dialihkan kepada fungsi amal, sepanjang barang tersebut masih ada. Sementara menurut Aminuddin (2011) dan Sulaeiman (2016), wakaf adalah harta benda yang digunakan bagi kebaikan dan kebermanfaatan bersama yang sudah diserahkan sepenuhnya dari yang menyumbang harta benda wakaf (waqif) kepada pengelola (nazir). Wakaf Juga dapat dimaknai sebagai kegiatan mendermakan kebermanfaatan untuk tujuan kebaikan pada masa sekarang dan masa akan datang.  Dari beberapa definisi tersebut maka  makna wakaf adalah memberikan atau menyalurkan manfaat dari suatu benda untuk kebaikan atau kepentingan publik. Hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Omar dan Rahman (2013) bahwa wakaf merupakan harta yang ditahan hak pewakaf (terhadap harta tersebut)  untuk urusan jual beli atau warisan, melainkan untuk kebaikan dan fasilitas umum. 

Suatu benda atau aset yang diwakafkan terdiri dari empat syarat, yaitu (Megawati 2014): (i) benda yang tahan lama, yakni tidak cepat musnah setelah dimanfaatkan; (ii) lepas dari kekuasaan orang-orang yang berwakaf; (iii) tidak dapat dialihkan kepada pihak lain, baik dengan jual-beli, atau diwariskan; dan (iv) diorientasikan untuk keperluan amal kebaikan atau kebermanfaatan. Dari empat syarat ini maka ada dua macam wakaf (Mubarok 2013). Pertama adalah wakaf ahli atau wakaf keluarga, yakni diperuntukkan khusus kepada orang-orang tertentu, seseorang atau lebih, keluarga wakif pihak yang mewakafkan harta benda miliknya atau bukan. Wakaf ini diperuntukkan bagi orang-orang khusus atau orang-orang tertentu, maka disebut juga dengan wakaf khusus. Kedua adalah wakaf khairi wakaf yang sejak semula manfaatnya diperuntukkan untuk kepentingan umum dan tidak dikhususkan untuk kalangan tertentu, contohnya adalah mewakafkan tanah untuk mendirikan masjid atau mewakafkan sebidang kebun yang hasilnya dimanfaatkan untuk program pengentasan kemiskinan. Untuk mengelola wakaf, dibutuhkan pengelola atau disebut nazir atau penjaga yang artinya menjaga, memelihara, mengelola dan mengawasi.

Menurut Soekarno (2016), dalam mengoptimalkan wakaf selain memanfaatkannya untuk kegiatan sosial juga dengan cara memanfaatkan dalam bentuk kegiatan ekonomi yang lebih bernilai tinggi (value added),  atau juga disebut sebagai wakaf produktif. Menurut Suryani dan Isra (2016) makna wakaf produktif mengarah pada profesionalisme dimana pemberdayaan aset wakaf dikembangkan secara produktif tanpa mengurangi nilai asalnya. Dapat dikatakan, wakaf produktif merupakan transformasi pengelolaan wakaf yang didalamnya terkandung pengelolaan dan pola manajemen pemberdayaan potensi wakaf agar lebih berdaya guna (Media 2010). Konsep wakaf produktif dinilai lebih memberikan nilai kebermanfaatan daripada hanya untuk tujuan sosial yang dinilai kurang mempunyai nilai tambah dan multiplier effect yang tinggi. Menurut Fakhrunnas dan Mustain (2017), peningkatan nilai tambah aset wakaf merupakan upaya untuk mengubah banyaknya aset wakaf yang dinilai kurang produktif menjadi lebih produktif.

Kasus di Indonesia, keberadaan wakaf yang dikelola baik bersifat sosial maupun produktif masuk dalam pantauan Badan Wakaf Indonesia BWI yang bertugas membina nazir dalam pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf secara spesifik tugas dan wewenang BWI tertuang dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf  pasal 49 Ayat 1, yaitu: (i) melakukan pembinaan terhadap nazir dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf; (ii) melakukan pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf berskala nasional dan internasional; (iii) memberikan persetujuan dan/izin atas perusahaan peruntukan dan status harta benda wakaf; (iv) memberhentikan dan mengganti nazir; (v) memberikan persetujuan atas penukaran harta benda wakaf; dan (vi) memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam penyusunan kebijakan di bidang  perwakafan. Dalam pengembangannya, pengelola harta benda wakaf dapat bekerjasama dengan instansi pemerintah, badan internasional, organisasi masyarakat, para ahli, dan profesional dan lain-lain (pasal 49 ayat 1). Upaya memberikan multiplier effect yang tinggi dari aset wakaf berarti harus ada usaha yang dapat memberikan aset wakaf nilai kebermanfaatan yang bersifat multisektoral dan dampaknya langsung terasa bagi kepentingan masyarakat (Suryani & Isra 2016).

Menurut Omar dan Rahman (2013), prinsip dan asas dalam memberikan nilai tambah tinggi dalam mengoptimalkan aset wakaf agar lebih produktif adalah adanya multiplayer effect. Cara mewujudkan konsep ini adalah adanya sebuah proses untuk melestarikan aset wakaf yakni memperbanyak kebermanfaatan bagi orientasi kepentingan publik. Menurut Ibn Taymiyah  sebagaimana dikutip oleh Omar & Rahman (2013), terdapat prinsip aset wakaf produktif, yakni adanya penambahan harta atau nilai ekonomi. Contoh bila terdapat hasil waqaf berupa tanah, cara mengoptimalkannya adalah dengan cara memanfaatkan tanah tersebut untuk investasi yang tingkat pengembaliannya demi kepentingan publik, namun yang harus diingat, memberikan nilai ekonomi yang lebih pada aset wakaf agar lebih produktif tidak boleh bertentangan dengan kaidah-kaidah  syariat Islam. Bagaimanapun, wakaf adalah instrumen yang diambil dari konsep Islam.

Kasus di beberapa negara, pengoptimalan wakaf produktif adalah seperti diberlakukan kebijakan menitipkan harta wakaf di Bank Islam, mengadakan kerjasama dengan perusahaan-perusahaan besar, bahkan membeli saham dan obligasi perusahaan yang sudah besar. Adapun pengembangan hasil wakafnya dimanfaatkan untuk memberdayakan ekonomi fakir miskin, mendirikan Rumah Sakit, pengobatan gratis, mendirikan lembaga-lembaga pendidikan, serta mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi (Soekarno 2016). Menurut Fauza (2015) dan Koto & Saputra (2016), pengelolaan wakaf produktif di beberapa negara dikenal sebagai Economic Corporation yaitu wakaf yang memiliki modal untuk dikembangkan yang menguntungkan bagi kepentingan masyarakat, sehingga sifatnya sebagai investasi masa depan dan pengembangan harta produktif untuk generasi yang akan datang. Dalam kasus ini, maka berperan sebagai mata rantai potensi ekonomi masyarakat yang mampu menghasilkan dana bagi kesejahteraan umum.

*Disarikan dari buku Bunga Rampai Distruptive Mindset Sektor Jasa Keuangan, Editor Syahrir Ika dan Suparman Zen Kemu, diterbitkan oleh IPB Press (2018)

0 Response

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel