Wakaf Menurut Fiqh Sunnah Sayyid Sabiq
Asal usul wakaf dari tatanan bahasa Arab yaitu habs atau menahan, waqafa yaqifu waqfan, artinya habasa yahbisu, habsan. Menurut syarak, wakaf adalah menahan harta kemudian dipergunakan untuk fisabilillah. Adapun jenis wakaf seperti wakaf ahli, wakaf dzurri (keluarga) atau wakaf khairi (kebajikan).
Wakaf dalam Islam memiliki legalitas tersendiri, dengan tujuan supaya hamba lebih dekat kepada Allah Azza Wajalla. Pada permulaan Islam, orang jahiliyah tidak mengenal wakaf, hanya Rasulullah saw mengajak berwakaf sebagai bentuk kecintaan beliau kepada kaum fakir, miskir, dan orang yang membutuhkan.
Dari Abu Hurairah r.a Rasulullah saw bersabda, “Bila manusia mati, maka terputuslah amalnya kacuali tiga perkara, sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaaat, anak saleh yang mendoakannya. (HR Muslim At Tirmizi dan An Nasai)
Dari Ibnu Majah, Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya di antara apa yang dijumpai oleh seorang mukmin dari amalnya dan kebaikannya setelah dia mati adalah ilmu yang disebarkannya, anak saleh yang ditinggalkan, mushaf yang diwariskannya, masjid yang didirikannya, rumah yang didirikan untuk ibnu sabil, sungai yang dialirkannya, atau sedekah yang dikeluarkan dari hartanya diwaktu sehat dan hidupnya. Semua dia jumpai pahalanya sesudah dia mati”.
Rasulullah saw dan para sahabat mewakafkan masjid, tanah, sumur, kebun dan kuda. Juga kaum muslimin hingga saat ini masih mewakafkan harta benda demi kemaslahatan umat. Adapun beberapa permisalan wakaf pada masa Rasulullah, dari Anas ra, berkata, “Rasulullah saw datang di Madinah dan memerintahkan untuk membangun masjid. Beliau berkata, wahai Bani Najar, apakah kamu hendak menjual kebunmu ini? Mereka menjawab, demi Allah kami tidak meminta harganya kecuali kepada Allah saw. Maksudnya agar Rasulullah mengambilnya dan menjadikannya masjid”. (HR Bukhari, At Tirmizi dan An Nasai)
Dari Anas ra, dia berkata, adalah Abu Thalhah seorang Anshari yang paling banyak hartanya di Madinah dan adalah harta yang paling dia senangi itu Bairaha (kebun kurma dekat Masjid Nabawi). Bairaha ini menghadap ke masjid. Dan Rasulullah saw sering memasukinya dan meminum air segar di dalamnya. Maka ketika turun ayat yang artinya, kamu sekali-kali tidak akan sampai kepada kebaktian yang sempurna sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai (QS Ali Imran: 92), maka pergilah Abu Thalhah kepada Rasulullah saw, kata dia:
“Sesungguhnya Allah Taala berfirman di dalam kitab-Nya, kamu sekali-kali tidak akan sampai kepada kebaktian yang sempurna sebelum kamu menafkahkan harta yang paling kamu cintai. Sesungguhnya harta yang paling aku cintai adalah Bairaha. Dan Bairaha itu aku sedekahkan karena Allah, yang aku harapkan kebaikan-Nya dan simpanan di sisi Allah; maka tentukanlah sedekah itu sebagaimana engkau sukai wahai Rasulullah.”
Rasulullah berkata: bukan main, itulah harta yang menguntungkan, itulah harta yang menguntungkan. Aku telah mendengar apa yang engkau katakan mengenai Bairaha itu. Sesungguhnya aku berpendapat agar engkau menjadikannya sebagai sedekah bagi kaum kerabat. Lalu Abu Thalhah menjadikannya sebagai wakaf bagi kaum kerabatnya dan anak-anak pamannya. (HR Bukhari, Muslim dan At Tirmizi)
Wakaf sah dan terjadi melalui dua perkara yaitu, pertama, perbuatan yang menunjukkan padanya seperti bila seorang membangun masjid dan dikumandangkan azan untuk shalat di dalamnya, dan ia tidak memerlukan keputusan dari seorang hakim. Kedua, ucapan. Ucapan ada dua, yang sharih (tegas) dan kinayah (tersembunyi). Yang sharih, misalnya ucapan seseorang yang mewakafkan: “aku wakafkan,” “aku hentikan pemanfaatannya”, “aku jadikan untuk sabilillah”, “aku abadikan”. Kinayah, seperti ucapan orang yang mewakafkan, “Aku sedekahkan”, tetapi dia berniat mewakafkannya.
Tetapnya wakaf apabila seseorang berwakaf berbuat sesuatu yang menunjukkan kepada wakaf atau ucapan wakaf, maka tetaplah wakaf itu, dengan syarat orang yang berwakaf adalah orang yang sah tindakannya, misalnya cukup sempurna akalnya, dewasa, merdeka dan tidak dipaksa. Apabila wakaf telah terjadi, maka tidak boleh dijual, dihibahkan dan diperlakukan dengan sesuatu yang menghilangkan kewakafannya.
Bila orang yang berwakaf mati, maka wakaf tidak diwariskan, sebab yang demikian inilah yang dikehendaki oleh wakaf, karena ucapan Rasulullah saw, “Tidak dijual, tidak dihibahkan dan tidak diwariskan.” Abu Hanifah berpendapat, bahwa wakaf boleh dijual. Pendapat yang kuat dari madzhab Syafi’i, bahwa milik yang ada pada wakif itu berpindah kepada Allah Azza Wajalla, maka ia bukanlah milik orang yang berwakaf dan bukan pula milik orang yang diberi wakaf. Malik dan Ahmad berpendapat, bahwa milik itu berpindah ke tangan orang yang diberi wakaf.
Lalu, apa saja yang sah diwakafkan? Yang sah adalah tanah, perabot yang bisa dipindahkan, mushaf, kitab, senjata dan binatang. Demikian pula sah untuk diwakafkan yang boleh diperjual-belikan dan boleh dimafaatkan dan tetap utuhnya barangnya. Yang tidak sah adalah apa yang rusak dengan dimanfaatkannya, seperti uang, lilin, makanan, minuman, dan yang cepat rusak seperti bau-bauan dan tumbuhan aromatik. Tidak diperbolehkan pula mewakafkan apa yang tidak boleh diperjual-belikan seperti barang tanggungan (borg), anjing, babi, dan binatang buas lainya.*
Editor: smh
0 Response
Posting Komentar