BHA Berhasil Tertibkan Tanah Wakaf

BHA Berhasil Tertibkan Tanah Wakaf
Share
Drs. Irawan Yunus, Mantan Sekretaris BHA 

Pengantar: Baitul Mal Aceh (BMA) sedang menulis buku “15 Tahun BMA”. Salah satu bab buku tersebut adalah menghubungkan sejarah kelembagaan Baitul Mal dengan Badan Penertiban Harta Agama (BPHA) yang dibentuk Pemerintah Aceh tahun 1973, kemudian berubah menjadi Badan Harta Agama (BHA) dan Badan Amil Zakat Infak dan Sedekah (BAZIS). Tidak mudah mendapatkan data-data historis tersebut, terutama kisah pada masa BHA. Salah seorang saksi hidup yang masih sehat wal afiat adalah Sekretaris BHA, Drs Irawan Yunus, di Banda Aceh. Untuk maksud itu, Shafwan Bendadeh dan Sayed Muhammad Husen mewawancarai Manajer Amel Convention Hall itu, untuk bahan penulisan buku sekaligus kami sajikan untuk pembaca Wakafnews.com. Selamat membaca.

Perlu konfirmasi, apakah benar BPHA dibentuk tahun 1973 dan kemudian namanya berubah menjadi BHA tahun 1976?

Iya benar, Badan Penertiban Harta Agama (BPHA) dibentuk tahun 1973 dan melalui Rapat Kerja di Hotel Lading tahun 1976, namanya berubah menjadi BHA. 

Apakah pembentukan BPHA adalah murni gagasaan Aceh atau dipengaruhi pendapat Jakarta?

Tidak ada pengaruh pusat. Pembentukan BPHA dan BHA dimulai dengan kesadaran, bahwa harta agama atau wakaf di seluruh Aceh cukup banyak dan belum dikelola dengan baik. Ketika itu, tak ada wakaf sawah dan kebun yang produktif.  

Bagimana kisahnya anda bergabung dengan BHA? 

Saya mulai bekerja di BPHA tahun 1974. Pada awalnya, organisasinya memang tak berjalan dengan baik sekali, pengurusnya sudah lengkap, namun sekretariatnya belum ada. Lalu ketika saya melamar sebagai pegawai BHA, saya ditempatkan sebagai staf sekretariat.  Hanya saya sendiri yang bekerja di sana. Status saya bukan PNS. Saya mendapatkan informasi dari kawan bahwa BPHA membutuhkan pegawai, lalu saya menyampaikan lamaran. Hari ini saya melamar, besok langsung disuruh bekerja, sebagai pegawai harian. 

Apakah benar kantornya di belakang Masjid Raya? 

Benar. Kantornya di toko di belakang Masjid Raya Baiturrahman. Satu kantor dengan MPU.  Ketua MPU ketika itu  Tgk H Abdullah Ujong Rimba, Ketua Harian Prof Ali Hasymi. Jadi yang menggerakkan itu semua itu, MPU dan BPHA, adalah Prof Ali Hasymi.  Jadi Ketua BPHA secara ex officio ya Ketua MPU, Wakil Ketua Kakanwil Kementerian Agama Prof Ibrahim Husein, Sekretaris Ketua Mahkamah Syar’iyah Zainal Abidin SH. 

Apakah artinya antara MPU dan BPHA satu kesatuan?

Lembaganya tentu saja masing-masing. Sementara pengurusnya orang-orang itu juga. Tak dapat dipisahkan hubungan antara MPU dengan BPHA. 

Sekarang, jika ada ingin menulis tentang kelambagaan BHA, apakah ada dokumen yang dapat kita baca? 

Dulu, kami pernah terbitkan Risalah Harta Agama,  kami tulis juga tentang BHA dan sekarang tak tahu lagi dimana kita bisa cari. 

Ketika BPHA berubah menjadi BHA siapa saja tokoh-tokohnya?

Ketua BHA secara ex officio adalah Ketua MPU Tgk H Abdullah Ujong Rimba, Wakil Ketua Kakanwil Kemenag, Ketua Harian Zaini Bakri, Sekretaris saya sendiri, dan ada lagi kepala-kepala bidang. Yang saya ingat, ada jabatan kepala bidang pendayagunaan, kepala bidang penyuluhan, dan kepala bidang pengawasan. Di antara kepala bidang adalah Bachtiar Panglima Polem, Tgk H Jaafar Hanafiah, dan Sulaiman Jalil. Dalam setiap bidang ada dua orang pengurus.

Mengapa terjadi perubahan nama dari BPHA menjadi BHA?

Filisofinya adalah, bidang tugas BHA menjadi lebih luas, tugas pokok dan fungsinya bukan hanya penertiban harta agama.  Dengan menjadi BHA, mencakup pengelolaan harta agama, termasuk mengelola zakat. Paling utama ketika itu pengelolaan tanah wakaf yang cukup banyak di seluruh Aceh.  

Masa Orde Baru, banyak sekali pembangunan SD Inpres dan Puskesmas. Begitu ada tanah langsung dibangun. Semua kampung perlu sekolah. Demikian juga kampung perlu Puskesmas. Begitu ada tanah langsung dibangun oleh pemerintah. Bagi Pak Keuchik, tanah yang paling mudah diambil ya tanah harta agama, tanah wakaf. SD-SD yang dibangun itu rata-rata di atas tanah wakaf, wakaf umum atau wakaf khusus, kita tak tahu lagi.

Seberapa besar potensi zakat ketika itu?

Yang menonjol hanya zakat fitrah. Sementara zakat lain masih terbatas. Zakat gaji saja dianggap haram, apalagi zakat cengkeh. Zakat kelapa dan zakat tenaman selain padi, itu semua dianggap haram. Hampir seluruh Aceh pemahamannya seperti itu.

Ketika masa BHA mulai disosialisasikan zakat. Salah seorang pembicara utama Drs M Ali Muhamad. Beliau dosen IAIN yang cenderung memahami zakat lebih maju. Beliau sangat terkesan dengan Fikih Zakat Yusuf Qardhawi. Beliau datang ke daerah-daerah menjelaskan tentang zakat dengan biaya BHA. Memang BHA tidak mengelola uang pemerintah, namun bantuan biaya operasional ada pada MPU. Seingat saya, kami tidak mengelola anggaran ketika itu. Namun honor untuk anggota BHA disediakan pemerintah.  

Apa yang diatur BHA tentang zakat?

BHA membuat ketentuan persentase pembagian zakat tijarah tingkat provinsi hingga tingkat desa. Misalnya, BHA membuat ketentuan zakat senif muallaf itu diserahkan kepada BHA tingkat provinsi. BHA membuat berbagai form laporan yang diperlukan BHA daerah. Kami juga buat pendoman menghitung zakat sendiri. 

BHA merencanakan, supaya tak ada lagi muallaf yang masuk kampung minta zakat, sehingga semua muallaf bisa ditampung di tingkat provinsi, anaknya disekolahkan atau masuk pesantren yang ditunjuk. Semuanya diharapkan dapat dibiayai oleh BHA, tapi secara keseluruhan tak berjalan juga dengan baik. Muallaf sendiri tak mau seperti itu. Mereka lebih suka jalan-jalan. Bahkan kita temukan, ada muallaf yang sudah tiga kali masuk Islam. 

Apa yang berhasil dikerjakan BHA? 

Yang paling berhasil adalah menertibkan harta agama atau wakaf. Dalam arti kata, banyak juga perkara harta agama yang kami dampingi sampai ke pengadilan. Ketika itu, semua daerah ada problem wakaf, ada yang diambil kembali oleh keluarga, ada yang diambil untuk bangunan dan lain-lain. 

Apakah pembentukan BHA merata seluruh Aceh? 

Iya merata. Sampai tingkat kecamatan dan desa BHA terbentuk. Misalnya, ketika BHA melalukan rapat kerja di daerah Simeulue, persertanya diundang dari semua kecamatan hingga sampai desa. Setiap kegiatan BHA di daerah disambut dengan baik, bupati-bupati hadir semua, sebab yang datang dari provinsi adalah Prof Ali Hasymi. Atau yang datang tokoh lain, mantan Bupati Aceh Besar, yang juga Ketua Harian BHA, Zaini Bakri. Ini tokoh DI yang dulu cukup punya pengaruh. *

0 Response

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel