Revisi Undang-Undang Kunci Transformasi Wakaf Indonesia

Revisi Undang-Undang Kunci Transformasi Wakaf Indonesia
Share

Oleh: Fahmi M. Nasir

Pendiri Pusat Studi dan Konsultasi Wakaf Jeumpa D’Meusara (JDM) Banda Aceh

Peluncuran Gerakan Nasional Wakaf Uang (GNWU) oleh Presiden Joko Widodo pada 25 Januari merupakan kulminasi gerakan wakaf di Indonesia selama beberapa bulan lalu. 

Kita perlu memberikan apresiasi atas inisiatif ini, namun tidak boleh lupa dengan kegagalan Gerakan Nasional Wakaf Uang (GNWU) yang sebelumnya diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 8 Januari 2010.

Kita juga perlu menyadari kegagalan regulasi wakaf yang ada dalam melakukan transformasi sektor wakaf di Indonesia. Sudah waktunya sektor wakaf di Indonesia melakukan ‘great reset’ melalui revisi regulasi. Kebetulan, salah satu di antara lima program prioritas Badan Wakaf Indonesia (BWI) tahun 2021 adalah melakukan harmonisasi kelembagaan dan aspek hukum perwakafan dengan cara amandemen peraturan, koordinasi, dan kerjasama antar lembaga. 

Isu utama yang perlu dimasukkan ke dalam revisi UU Wakaf antara lain pengaturan sensus aset wakaf, pemberian insentif pajak untuk wakaf, pembagian tugas yang jelas antara pemangku kepentingan wakaf, dan perubahan struktur kelembagaan BWI selaku lembaga independen yang dibentuk untuk memajukan dan mengembangkan perwakafan nasional.

Pertama, pendataan wakaf sangat krusial dalam pemetaan aset, status dan masalah aset wakaf tersebut, jika ada. Sensus memberikan gambaran bentuk aset, nilai, pendapatan dari aset, potensi aset termasuk wakaf uang, dan kondisi finansial aset wakaf. Sensus akan melahirkan pangkalan data aset wakaf yang sangat bermanfaat untuk menetapkan prioritas pengembangan aset wakaf. Bahkan sensus ini juga mampu menarik investor untuk ikut serta mengembangkan aset wakaf karena nilai riil dan potensi aset wakaf sudah diketahui.

Satu-satunya negara yang sudah mengadakan sensus aset wakaf secara komprehensif adalah India karena sensus itu diamanahkan oleh Undang-Undang Wakaf India 1995. 

Kedua, memasukkan ketentuan mengenai insentif pajak untuk mendorong banyak pihak mewakafkan aset-aset baru termasuk wakaf uang. Untuk aset wakaf yang sekarang, insentif pajak diberikan untuk wakaf yang hasilnya 80% digunakan untuk kepentingan publik seperti aturan yang diterapkan di Turki. Insentif untuk nazhir wakaf pula ditingkatkan ke angka 12.5% dari keuntungan pengelolaan aset, lebih besar dari angka 10% yang diatur sekarang. Insentif ini akan mendorong pengembangan sektor wakaf dan juga meningkatkan kemampuan sektor ini untuk menyediakan berbagai pelayanan sosial kepada masyarakat, bahkan mengambil alih pelayanan yang selama ini dibiayai dengan APBN.

Ketiga, tumpang tindih tugas dan kewajiban antara Kementerian Agama (Kemenag) dan BWI harus segera diselesaikan. Begitu juga halnya dengan struktur kelembagaan BWI. Jumlah komisioner BWI sebanyak 25 orang adalah terlalu besar, ini ditambah lagi dengan mereka yang tidak bekerja tetap seperti halnya komisioner yang lain seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Masa kerja komisioner BWI yang hanya tiga tahun untuk satu periode juga perlu ditambah minimal menjadi empat tahun.

Sistem pemilihan komisioner BWI harus diperbaiki. Baru-baru ini ada berita bahwa Presiden Jokowi sudah resmi mengangkat 25 Anggota BWI periode 2021-2024. Dikatakan bahwa mereka telah menjalani serangkaian proses seleksi ketat sejak September 2020 di mana Pansel BWI memilih 122 calon yang lulus administrasi dan berhak mengikuti psikotes. Selanjutnya tinggal 53 calon terpilih mengikuti tahap wawancara, lalu terpilihlah 25 anggota BWI yang diusulkan ke Presiden pada bulan Desember 2020. 

Namun ketika memperhatikan nama-nama Anggota BWI 2021-2024 itu, ternyata ada lima nama yang tidak ada dalam daftar calon lulus saringan administrasi, psikotes dan wawancara. Mengapa nama yang tidak ada sewaktu tahap awal, tiba-tiba ditetapkan menjadi Anggota BWI. Mungkinkah penetapan itu dilakukan secara ex officio (karena jabatan)? Kalau masih ada jatah ex officio, ini menunjukkan bahwa BWI bukanlah lembaga independen dalam tata kelola wakaf sebagaimana bunyi pasal 47 ayat 2 Undang-Undang Wakaf “BWI merupakan lembaga independen dalam menjalankan tugasnya”.

Hal lain yang juga penting adalah mengatur kewajiban pemerintah daerah provinsi menyiapkan cetak biru pengembangan wakaf di daerah. Cetak biru ini dilahirkan melalui peran serta Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda). Bappeda Aceh, misalnya, tahun 2020 sudah melahirkan cetak biru pembangunan wakaf di Aceh.

Selain itu, revisi UU Wakaf perlu mengatur beberapa perkembangan terbaru sektor wakaf termasuk beragamnya produk baru seperti Cash Waqf Linked Sukuk (CWLS), wakaf saham, wakaf asuransi, isu likuiditas (tawriq) aset wakaf, prinsip-prinsip tata kelola wakaf sesuai dengan Waqf Core Principle (WCP), pelaporan wakaf sesuai dengan PSAK 112 tentang akuntansi wakaf, alokasi dana CSR untuk pengembangan aset wakaf, aturan tentang wakaf keluarga, dan tentu saja pengaturan mengenai kemajuan baru terkait dengan aplikasi teknologi blockchain dalam wakaf.

Singkat kata, sudah tiba waktunya untuk melakukan revisi UU Wakaf demi transformasi sektor wakaf secara eksponensial.

*Tulisan ini pernah dimuat di Harian Kompas, 17 Februari 2021

0 Response

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel