Urgensi Wakaf Kembangkan Ekonomi Umat
Oleh: Dr. H. Armiadi Musa, MA
Dosen Pasca Sarjana UIN Ar-Raniry
Jika kita mendalami Islam, akan kita temukan secara umum ajarannya mengandung filosofi atau hikmah yang rasional (ma’qûl al-ma’nâ atau ta’aqqulî). Hanya sedikit sekali ajaran yang bersifat supra rasional (ghair ma’qûl al-ma’nâ), yaitu hanya semata-mata sebagai penghambaan manusia kepada Allah (ta’abbudî), yakni pada ajaran yang merupakan ibadah mahdhah (murni). Demikian juga tidak satupun ibadah yang diperintahkan ataupun yang dilarang Islam, tidak berorientasi kepada kemaslahatan sosial. Islam, sebagai agama universal (rahmatan lil’alamin) memiliki paradigma dan konsep tersendiri, ia sangat khas dan berkarakter visioner. Statemen ini dapat dibuktikan dari doktrin-doktrin dasar Islam. Termasuk, bagaimana Islam menerangkan fungsi kedudukan harta, cara dan etika mendapatkannya, memanfaatkan serta membelanjakannya.
Ibadah wakaf misalnya, ibadah ini tidak hanya berdimensi vertikal namun juga sosial, mempunyai filosofi dan hikmah yang sangat rasional dan bermanfaat bagi kehidupan umat. Manfaat ini sudah terbukti dalam sejarah umat Islam, sejak awal sampai kini. Hal tersebut memang sangat tergantung kepada kemampuan umat sendiri untuk mengaktualisasikan filosofi dan hikmah wakaf dalam kehidupan mereka.
Arti wakaf
Secara bahasa, wakaf artinya menahan atau berhenti, diam di tempat, tetap berdiri. Menurut Sayyid Sabiq, wakaf adalah menahan pokok benda dan mempergunakan hasilnya, yaitu memanfaatkannya di jalan Allah. Wakaf telah disyariatkan pada tahun ke-2 Hijrah. Menurut pendapat Imam Abu Hanifah, wakaf ialah penahan pokok harta yang dimiliki oleh pewakaf dan menyumbangkan manfaatnya (hasilnya) untuk orang miskin, masyarakat umum atau untuk tujuan kebajikan. Menurut ulama Syafi’iyah harta yang telah diwakafkan itu tidak boleh lagi ditasarrufkan, baik dijual, dihibah ataupun diwariskan.
Wakaf itu sendiri bertujuan memperbanyak harta untuk kemaslahatan umum dan khusus, sehingga menjadikan amal perbuatan manusia tidak terputus pahalanya hingga datang kematian. Berdasarkan hadits Nabi SAW yang bersumber dari Abu Hurairah Rasulullah SAW bersabda:
Artinya: Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu) sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang shaleh”. (HR. Muslim no. 1631)
Pemberian harta wakaf itu merupakan sumber dari bersihnya hati yang tidak dicampuri dengan keragu-keraguan, karena hal itu merupakan bukti adanya kebaikan dan kedermawanan yang dikeluarkan karena adanya rasa cinta tanpa adanya ganti sedikitpun. Dan berpengaruh pada pemberian kemanfaatan dan pahala yang berlimpah-limpah.
Memperluas semua jalan yang bersumber pada kecintaan orang yang memberikan harta. Karena orang yang memberi merupakan wujud dari kemuliaan jiwa yang semuanya mendorong pada rasa harumnya keberagamaan dan kemuliaan akhlak. Karena itu, tidak ada keselamatan bagi orang yang kikir terhadap harta dan jiwanya menjadi kotor, sebagaimana Allah SWT menyebutkan dalam al-Qur’an bahwa syaithan selalu menakut-nakuti umat manusia pada kefakiran.
Artinya: Syaitan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir); sedang Allah menjanjikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS. Al-Baqarah : 268)
Keutamaan wakaf
Ibadah wakaf itu termasuk ibadah yang memiliki keutamaan yang sangat besar dan nikmatnya kembali pada orang yang berwakaf (wakif) dan penerima manfaat wakaf (mauquf ‘alaihi). Karena besarnya manfaat wakaf ini, maka wakaf tidak cukup hanya dipahami sebatas aturan atau hukumnya saja, tetapi juga filosofi dan hikmahnya. Manfaat itu bisa dirasakan ketika hidup sekarang maupun setelah meninggal dunia dan di akhirat nantinya, yaitu berupa pahala yang didasarkan pada janji-janji Allah SWT. Ibadah wakaf yang tergolong pada perbuatan sunnah ini banyak sekali keutamaan yang terkandung di dalamnya antara lain:
Pertama, bagi orang yang berwakaf (wakif) akan mendapatkan pahala dan keuntungan yang akan tetap mengalir baik dia masih hidup maupun ketika ia telah meninggal dunia, selagi benda wakaf itu masih ada dan dapat dimanfaatkan. Oleh sebab itulah, diharuskan benda wakaf itu tahan lama. Dalam keadaan seperti ini wakaf sebagai inventaris untuk meraih keuntungan pahala dari Allah. Selain itu, mendapat balasan di dunia baik kepuasan bathin atau semakin terciptanya rekatan ukhuwah islamiyyah bagi mereka. Terhadap perbuatan-perbuatan yang baik seperti ini akan senantiasa mengalir pahalanya setelah meninggal dunia.
Kedua, eksistensi objek atau harta benda yang diwakafkan dapat tetap terpelihara dan terjamin kelangsungannya. Tidak perlu ada kekhawatiran barangnya hilang atau pindah tangan, karena secara prinsip barang wakaf tidak boleh ditasarrufkan, apakah itu dalam bentuk dijual, dihibahkan atau diwariskan (la yuba’, la yuhab, la yurats)
Ketiga, sumber harta wakaf merupakan salah satu sumber dana yang sangat penting dan besar manfaatnya bagi kehidupan agama dan umat. Antara lain untuk pembinaan mental spiritual dan pembangunan fisik material.
Keempat, dampak positif langsung dari ibadah wakaf itu akan membentuk tali hubungan yang erat antara si wakif dengan mauquf ‘alaih atau antara si kaya dan si miskin sehingga terciptalah rasa kesetiakawanan sosial. Ibadah ini bahkan mampu menjadi sumber dana umat Islam untuk mengembangkan dakwah islamiyyah.
Ekonomi wakaf
Di samping itu, manfaat yang sangat nyata dirasakan oleh masyarakat dalam peruntukan wakaf adalah ketika wakaf dikembangkan secara produktif untuk pengembangan ekonomi. Melihat potensi wakaf di Indonesia yang sangat besar dan disisi lain juga tingkat kemiskinan di Indonesia cenderung naik, maka penting untuk menjadikan wakaf sebagai instrumen yang dapat digunakan dalam pengembangan ekonomi umat, sehingga wakaf mampu membantu masyarakat miskin dalam mencukupi kebutuhan utamanya dan mengurangi angka kemiskinan baik di Aceh khususnya dan Indonesia umumnya.
Contoh pengembangan wakaf yang telah berhasil misalnya di Mesir yang dikelola oleh Badan Wakaf Mesir yang berada di bawah Wizarah al-Auqaf (Kementerian Wakaf). Salah satu keberhasilan yang telah dicapai oleh Badan Wakaf Mesir adalah kontribusi harta wakaf dalam meningkatkan ekonomi masyarakat. Selain itu, Al-Azhar University di Cairo juga memiliki aset wakaf produktif, diantaranya beberapa rumah sakit, pengelolaan wakaf Salah Kamil, pengelolaan al-Azhar Conference Center (AAC), pengelolaan gedung al-Azhar, dan juga pengelolaan hadiqah al-Azhar (Taman al-Azhar). Hasil dari pengelolaan wakaf al-Azhar dapat dirasakan langsung oleh mahasiswa berupa fasilitas sarana dan prasarana yang memadai, juga diberikan dalam kegiatan riset (penelitian) dan menyelesaikan studi secara gratis.
Di Indonesia juga terdapat program wakaf produktif yang dijalankan oleh lembaga-lembaga wakaf, misalnya yang dilakukan oleh Rumah Wakaf di Jawa Barat yaitu wakaf produktif di bidang pendidikan yang dikelola secara komersial dimana hasil pengeleloaannya untuk mauquf ‘alaih (sosial kemasyarakatan), program wakaf produktif Klinik Kesehatan bahkan berskala Rumah Sakit yang dikelola secara bisnis. Program wakaf produktif ini sudah lama dipraktikkan oleh ormas-ormas Islam di Indenesia seperti Muhammadiyah, NU dan lain lain.
Contoh paling fenomenal adalah wakaf produktif “Baitul Asyi” dari Habib Bugak al-Asyi pada tahun 1224 Hijriah atau tahun 1809 Masehi. Ikrar tersebut diucapkan Habib Bugak di hadapan Hakim Mahkamah Syariah Mekkah pada waktu itu. Dalam akta wakaf Baitul Asyi juga menyebutkan rumah tersebut diwakafkan kepada orang Aceh untuk menunaikan haji dan orang Aceh yang menetap di Makkah. Wakaf Habib Bugak Asyi kepada masyarakat Aceh kini telah berharga lebih dari 200 juta riyal atau setara Rp 5,2 triliun sebagai wakaf fisabilillah. Pada saat ini, harta wakaf tersebut telah berkembang menjadi aset penting, di antaranya berupa Hotel Ajyad bertingkat 25. Hotel ini berjarak 500 meter dari Masjidil Haram. Selain itu, Baitul Asyi kini juga menjelma menjadi Menara Ajyad bertingkat 28 yang berjarak sekitar 600 meter dari Masjidil Haram. Kedua hotel besar ini mampu menampung lebih 7.000 orang dan dilengkapi dengan infrastruktur yang lengkap. Hasilnya setiap jamaah haji Aceh sebagai mauquf ‘alaih (penerima wakaf) setiap tahun mendapat sekitar 1.200 riyal Saudi Arabia atau sekitar 4.8 juta rupiah.
Keberhasilan seperti contoh di atas dilatarbelakangi oleh penempatan wakaf, baik berupa benda tidak bergerak maupun benda bergerak, yang dikelola dengan cara profesional. Dana wakaf yang terkumpul diinvestasikan dalam bentuk saham dan obligasi pada bank-bank Islam dan perusahaan-perusahaan penting. Manfaat dari penempatan tersebut digunakan untuk mendirikan tempat-tempat ibadah, pendidikan, kesehatan, sosial, dan juga membantu kehidupan masyarakatan Indonesia umumnya.
Peningkatan ekonomi
Jika ibadah mulia ini dijalankan menurut semestinya akan meningkatkan rasa sosial di tengah-tengah masyarakat, terjadi peningkatan dan pertumbuhan ekonomi dikalangan masyarakat sehingga terbentuk atau terjalinlah hubungan yang harmonis antara si wakif atau pewakaf dan keturunannya dengan si mauquf alaihi (penerima manfaat). Hal inilah yang sangat diharapkan yaitu wakaf mampu meningkatkan keharmonisan antara masyarakat kaya dan masyarakat miskin.
Isu kemaslahatan sosial yang diusulkan dalam wacana wakaf memunculkan akar dan substansi masalah sosial, berupa keadilan ekonomi yang ternyata gagal dimanifestasikan oleh teori ekonomi dan pembangunan kapitalis, sosialis dan marxis. Dari sini
akan tumbuh sinar keimanan bagi setiap individu dan terhindar dari segala perpecahan dan perselisihan di antara anggota masyarakat. Memang inilah yang diharapkan dan menjadi sasaran dari ajaran agama kita, khususnya pada jenis filantropi wakaf.*
Editor:smh
Sumber: Gema Baiturrahman, 18 Februari 2022
0 Response
Posting Komentar