Asas Keadilan Sosial Wakaf
Wakafnews.com -- Penegakan keadilan sosial dalam Islam merupakan kemurnian dan realitas ajaran agama. Orang yang menolak prinsip keadilan sosial ini dianggap sebagai pendusta agama (QS 147/al-Ma'un: 17). Substansi yang terkandung dalam ajaran wakaf sangat tampak adanya semangat menegakkan keadilan sosial melalui pendermaan harta untuk kebajikan umum. Walaupun wakaf sebatas amal kebajikan yang bersifat anjuran, tetapi daya dorong untuk menciptakan pemerataan kesejahteraan sangat tinggi. Karena prinsip yang mendasari ibadah wakaf adalah terciptanya kondisi sosial kemasyarakatan yang dibangun di atas kesamaan hak dan kewajiban sebagai makhluk Allah.
Menurut Drs H Ahmad Djunaidi dkk dalam bukunya Paradigma Baru Wakaf di Indonesia (2008: 85-91), sebagai salah satu aspek ajaran Islam yang berdimensi sosial, wakaf menempati posisi penting dalam upaya agama ini membangun suatu sistem sosial yang berkeadilan dan berkesejahteraan. Setelah menyelesaikan tugas wajib dalam melaksanakan zakat, sekurang-kuranya dua setengah persen dari seluruh kekayaan seseorang jika berlangsung selama setahun, para muzakki sangat dianjurkan agar melaksanakan ibadah sosial lainnya dalam rangka pemberdayaan ekonomi lemah seperti infak dan sedekah jariah. Karena, tugas untuk mengentaskan kemiskinan adalah suatu kewajiban bagi pihak-pihak yang memiliki kemampuan lebih secara ekonomi.
Yang terpenting dari ajaran wakaf adalah, ia bukan suatu perbuatan sosial yang hanya nampak kepada sifat kedermawanan seseorang tanpa adanya sebuah bangunan prinsip untuk kesejahteraan masyarakat banyak. Namun wakaf sebenarnya menempati peran yang cukup besar setelah zakat sebagai upaya pemberdayaan masyarakat ekonomi lemah. Jika zakat memiliki gagasan untuk menolong golongan lemah agar bisa tetap hidup untuk mencukupi kebutuhan diri dan keluarganya setiap harinya, maka wakaf menduduki pada peran pemberdayaan mereka secara lebih luas untuk meningkatkan taraf hidup dari sekedar mencukupi sehari-hari.
Untuk itulah, keadilan sosial ekonomi menekankan adanya keseimbangan yang bersifat timbal balik dan terbebasnya dari berbagai bentuk ketimpangan sosial yang berpangkal dari kepincangan kesejahteraan ekonomi. Pemilikan harta kekayaan meskipun diperoleh dari hasil usaha sendiri dengan susah payah, tetapi tidak boleh dipergunakan secara bebas tanpa batas. Mempergunakan harta tersebut harus mempertimbangkan aspek-aspek keadilan sosial dan tidak menimbulkan kerugian bagi orang lain.
Drs H Ahmad Djunaidi dkk menulis, rasa keadilan adalah suatu nilai yang abstrak, tetapi ia menuntut suatu tindakan dan perbuatan yang konkret dan positif. Pelaksanaan ibadah wakaf adalah sebuah contoh yang konkrit atas rasa keadilan sosial, sebab wakaf merupakan pemberian sejumlah harta benda yang sangat dicintai diberikan secara cuma-cuma untuk kebajikan umum. Seorang wakif dituntut dengan keikhlasan yang tinggi agar harta yang diberikan sebagai harta wakaf bisa memberikan manfaat kepada masyarakat banyak, karena keluasan ekonomi yang dimilikinya merupakan karunia Allah yang sangat tinggi.
Tanpa adanya rasa keadilan sosial dapatlah dipahami betapa beratnya hati untuk mengeluarkan harta benda dalam bentuk wakaf untuk orang lain. Pengaruh sosial dari pelaksanaan ibadah wakaf akan tampak dari dua sisi, yaitu: pertama, dari sisi orang yang mendermakan hartanya (wakif), dengan menunaikan ibadah sosial wakaf otomatis membersihkan jiwa mereka dari sifat-sifat asosial seperti bakhil, kikir, egoistis, rakus, serta mendorong mereka bersikap sosial, suka berkorban untuk kepentingan umum dan menolong orang-orang yang tidak mampu secara ekonomi.
Kedua, dari pihak yang menerima wakaf, bahwa dengan keberadaan harta wakaf yang bisa diambil. manfaatnya untuk memenuhi kebutuhan kehidupannya, akan menghilangkan sifat-sifat buruk yang mungkin terpendam dalam hati seperti dengki, iri, benci, dan rencana jahat terhadap pihak-pihak yang dianggap mampu secara ekonomi dan tidak memperhatikan nasib mereka. Dengan kondisi demikian, dimana antara wakif dan pihak yang menerima wakaf tercipta saling mendukung dan memahami posisi masing-masing, sehingga stabilitas sosial dan keamanan yang sangat didambakan oleh semua pihak dapat terjaga dengan baik.
Sayyid Quthb (1964) pemikir Islam dari Mesir dengan gaya pendekatan yang komprehensif dalam bukunya al-'Adalah al Ijtima'iyyah fil Islam berhasil memformulasikan teori keadilan sosial dalam Islam dan instrumen pendukungnya, termasuk wakaf, bukan sebatas teori utopis belaka melainkan kajiannya berangkat dari fakta sejarah peradaban Islam otentik. Setelah mengupas pandangan Islam mengenai kasih sayang, kebajikan, keadilan dan jaminan sosial yang menyeluruh antara orang yang mampu dan yang tidak mampu, antara kelompok yang kaya dengan yang miskin, antara individu dan masyarakat, antara pemerintah dan rakyat, bahkan antara segenap umat manusia, Quthb selalu membeberkan fakta historis bagaimana konsep tersebut membumi dalam perjalanan kesejarahan generasi terbaik Islam.
Sebagai contoh, Quthb mengisahkan sepenggal cerita sejarah solidaritas kalangan sahabat; Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali. Diantara implementasi keadilan sosial melalui prakarsa wakaf dalam pengalaman kesejarahan awal Islam telah dibuktikan Umar bin Khatthab sebagai warga sederhana yang bersedia secara ikhlas atas petunjuk Nabi saw untuk mewakafkan satu-satunya aset berharga yang dimilikinya berupa sebidang tanah di Khaibar untuk kemaslahatan umat.
Menurut Drs H Ahmad Djunaidi dkk, fungsi sosial dari perwakafan mempunyai arti bahwa penggunaan hak milik seseorang harus memberi manfaat langsung atau tidak langsung kepada masyarakat. Dalam ajaran pemilikan terhadap harta benda (tanah) tercakup di dalamnya benda lain, dengan perkataan lain bahwa benda seseorang ada hak orang lain yang melekat pada harta benda tersebut seperti yang dimaksud dalam firman Tuhan aurat adz-Dzariyat, ayat 19: "Dan di dalam harta benda mereka ada hak bagi orang yang minta (karena tidak punya) dan bagi orang-orang yang terlantar". (QS: adz-Dzariyat: 19)
Kepemilikan harta benda yang tidak menyertakan kepada kemanfaatan terhadap orang lain merupakan sikap egoisme kehidupan yang salah. Hidup sendiri dan mandiri dalam ketunggalan yang mutlak, dan dalam keesaan yang tidak mengenal ketergantungan apa pun, hanyalah sifat bagi Allah semata. Manusia yang mencapai kesadaran batin yang tinggi memandang alam semesta di sekitarnya sebagai suatu kesatuan, dimana kehadiran yang satu terkait, tergantung dan berkepentingan dengan kehadiran yang lain. Dalam hubungan ini, Al-Quran memberikan petunjuk untuk selalu memelihara kebersamaan sebagai makhluk sosial dan menempatkan nilainilainya ke dalam pola hubungan kemanusiaan dengan tetap saling menghormati, menjaga, melindungi, mengasihi dan menyantuni sebagaimana diatur dalam sistem ajarannya, seperti perwakafan.
Dengan menunaikan ibadah wakaf akan memberi pengaruh terhadap kehidupan sosial yang positif dan dinamis penuh rasa tanggung jawab sosial, terhindar dari pengaruh paham negatif seperti kapitalisme yang membawa pada sikap individualistis, egoistis, dan komunisme yang menghasut golongan rakyat kecil dengan orang-orang kaya dan pemerintah.
Karenanya, tulis Drs H Ahmad Djunaidi dkk, prinsip dasar wakaf yang bertujuan untuk menciptakan keadilan sosial merupakan implementasi dari sistem ekonomi yang mendorong dan mengakui hak milik individu dan masyarakat secara seimbang. Konsep keadilan dalam Islam mengajarkan agar manusia menyadari sedalamdalamnya bahwa Allah Maha Adil terhadap seluruh makhlukNya. Salah satu keadilan-Nya yang agak sulit dipahami adalah dibeda-bedakan-Nya dalam pemberian rejeki.
Ketentuan Tuhan yang seakan bercorak diskriminatif ini bukanlah suatu ketetapan yang tetap dan tidak dapat diubah, tetapi hal itu merupakan petunjuk bagi manusia untuk menumbuhkan rasa keadilan, dan mendorong manusia agar giat bekerja, karena itulah Allah mewajibkan kepada orang yang diberikan kelebihan rezeki mengeluarkan zakatnya dan sangat dianjurkan melakukan ibadah sosial lainnya, seperti infak dan sedekah jariah. Dengan kewajiban dan anjuran tersebut agar orang-orang lemah secara ekonomi bisa terlepas dari lingkaran kemiskinan. Penegasan agar memenuhi keadilan sosial adalah suatu perintah agama, bukan sekedar acuan etik atau dorongan moral belaka.
Karena itu, Allah melalui al-Quran memberi peringatan keras terhadap orang yang sudah mapan secara ekonomi, tetapi tidak menunjang apalagi menghalangi terwujudnya keadilan sosial, seperti menolak mengeluarkan zakat, infak dan sedekah atau pinjaman kebajikan (qardhul hasan) kepada fakir miskin yang memiliki kemampuan berusaha. (smh)
0 Response
Posting Komentar