Kedudukan Harta Wakaf

Kedudukan Harta Wakaf
Share

 

Wakafnews.com -- Dalam pandangan al-Maududi (1985) sebagaimana dikutip oleh Imam Suhadi dari bukunya Wakaf untuk Kesejahteraan Umat, pemilikan harta dalam Islam itu harus disertai dengan tanggung jawab moral. Artinya, segala sesuatu (harta benda) yang dimiliki oleh seseorang atau sebuah lembaga, secara moral harus diyakini secara teologis ada sebagian dari harta tersebut menjadi hak bagi pihak lain, yaitu untuk kesejahteraan sesama yang secara ekonomi kurang atau tidak mampu, seperti fakir miskin, yatim piatu, manula, anak-anak terlantar dan fasilitas sosial.

Azas keseimbangan dalam kehidupan atau keselarasan dalam hidup merupakan azas hukum yang universal. Azas tersebut diambil dari tujuan perwakafan, yaitu untuk beribadah atau pengabdian kepada Allah Swt sebagai wahana komunikasi dan keseimbangan spirit antara manusia (makhluq) dengan Allah (khaliq). 

Menurut Drs H Ahmad Djunaidi dkk dalam bukunya Fiqih Wakaf (2004: 63), titik keseimbangan  tersebut pada gilirannya akan menimbulkan keserasian dirinya dengan hati nuraninya untuk mewujudkan ketenteraman dan ketertiban dalam hidup. Azas keseimbangan telah menjadi azas pembangunan, baik di dunia maupun di akhirat, yaitu antara spirit dengan materi dan individu dengan masyarakat banyak.

Azas pemilikan harta benda adalah tidak mutlak, tetapi dibatasi atau disertai dengan ketentuan-ketentuan yang merupakan tanggung jawab moral akibat dari kepemilikan tersebut. Pengaturan manusia berhubungan dengan harta benda merupakan hal yang esensial dalam hukum dan kehidupan manusia. Pemilikan harta benda menyangkut bidang hukum, sedang pencarian dan pemanfaatan harta benda menyangkut bidang ekonomi dan keduanya bertalian erat dan tidak bisa dipisahkan.

Pemilikan harta benda mengandung prinsip atau konsepsi semua benda hakikatnya milik Allah Swt. Kepemilikan dalam ajaran Islam disebut juga amanah (kepercayaan), yang mengandung arti, bahwa harta yang dimiliki harus dipergunakan sesuai dengan ketentuan yang diatur oleh Allah. Konsepsi tersebut sesuai dengan firmanNya: “Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di dalamnya”. (QS  al-Maidah: 120)

Sejalan dengan konsep kepemilikan harta dalam Islam, maka harta yang telah diwakafkan memiliki akibat hukum, yaitu ditarik dari lalu lintas peredaran hukum yang seterusnya menjadi milik Allah, yang dikelola oleh perorangan dan atau lembaga nazhir, sedangkan manfaat bendanya digunakan untuk kepentingan umum.

Sebagai konsep sosial yang memiliki dimensi ibadah, tambah Drs H Ahmad Djunaidi dkk, wakaf juga disebut amal sedekah jariah, dimana pahala yang didapat oleh wakif (orang yang mewakafkan harta) akan selalu mengalir selama harta tersebut masih ada dan bermanfaat. Untuk itu, harta yang telah diikrarkan untuk diwakafkan, sejak itu harta tersebut terlepas dari kepemilikan wakif dan kemanfaatannya menjadi hak penerima wakaf. 

Dengan demikian, harta wakaf tersebut menjadi amanat Allah kepada orang atau badan hukum (yang berstatus sebagai nazhir) untuk mengurus dan mengelolanya.

Apabila seseorang mewakafkan sebidang tanah untuk pemeliharaan lembaga pendidikan atau balai pengobatan yang dikelola oleh suatu yayasan, misalnya, maka sejak diikrarkan sebagai harta wakaf, tanah tersebut terlepas dari hak milik wakif, pindah menjadi hak Allah dan merupakan amanat pada lembaga atau yayasan yang menjadi tujuan wakaf. Dan, yayasan tersebut memiliki tanggung jawab penuh untuk mengelola dan memberdayakannya secara maksimal demi kesejahteraan masyarakat banyak.

Posisi nazhir sebagai pihak yang bertugas untuk memelihara dan mengurusi harta wakaf mempunyai kedudukan yang penting dalam perwakafan. Sedemikian pentingnya kedudukan nazhir dalam perwakafan, sehingga berfungsi tidaknya wakaf bagai mauquf 'alaih sangat bergantung pada nazhir wakaf. Meskipun demikian tidak berarti nazhir mempunyai kekuasaan mutlak terhadap harta yang diamanahkan kepadanya.

Drs H Ahmad Djunaidi dkk menulis, pada umumnya para ulama bersepakat, kekuasaan nazhir wakaf hanya terbatas pada pengelolaan wakaf untuk dimanfaatkan sesuai dengan tujuan wakaf yang dikehendaki wakif. Asaf AA Fyzee berpendapat, sebagaimana dikutip oleh Dr Uswatun Hasanah, kewajiban nazhir adalah mengerjakan segala sesuatu yang layak untuk menjaga dan mengelola harta. 

Sebagai pengawas harta wakaf, nazhir dapat mempekerjakan beberapa wakil atau pembantu untuk menyelenggarakan urusan-urusan yang berkenaan dengan tugas dan kewajibannya. 

Oleh karena itu, nazhir dapat berupa nazhir perorangan maupun nazhir berbentuk badan hukum. Nazhir sebagai perorangan atau badan hukum yang berkewajiban mengawasi dan memelihara wakaf tidak boleh menjual, menggadaikan atau menyewakan harta wakaf kecuali diizinkan oleh pengadilan. Ketentuan ini, sesuai dengan masalah kewarisan dalam kekuasaan kehakiman yang memiliki wewenang untuk mengontrol kegiatan nazhir.

Dengan demikian, keberadaan harta wakaf yang ada di tangan pada nazhir wakaf dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat banyak dan juga bisa dipertanggungjawabkan secara moral dan hukum Allah Swt. (smh)

0 Response

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel