Permasalahan dalam Pengembangan Wakaf Produktif
Wakafnews.com -- Banyak pihak yang optimis memperkirakan Indonesia memiliki potensi wakaf -- baik wakaf dalam bentuk harta tak bergerak (seperti tanah) maupun dalam bentuk harta tak tetap/bergerak (seperti wakaf uang atau wakaf tunai) -- yang sangat besar. Ada beberapa faktor yang diperkirakan memunculkan optimisme tentang besarnya potensi wakaf di Indonesia, yaitu:
Pertama, Indonesia memiliki modal legal institusional untuk pengembangan dan pengelolaan wakaf, yaitu berupa payung hukum tentang wakaf berikut lembaga pengelolanya, sebagaimana tertuang dalam UU Wakaf dan peraturan-peraturan turunannya; kedua, kekayaan sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM) yang sangat besar; dan ketiga, pendapatan masyarakat muslim, terutama kelompok menengah ke atas yang cenderung meningkat.
Muhammad Afdi Nizar, dalam tulisannya Pengembangan Wakaf Produktif di Indonesia: Potensi dan Permasalahannya dalam buku Penguatan Fundamental Sektor Keuangan dalam Mendukung Stabilitas Perekonomian (2017: 237) mengungkapkan, meskipun banyak yang optimis dengan potensi wakaf dan banyak kisah sukses dalam pengembangan harta wakaf tak bergerak yang sudah masyhur di dalam negeri, namun upaya pengembangan harta wakaf produktif masih menghadapi beberapa permasalahan, antara lain:
Pertama, para nazhir wakaf yang ada selama ini memiliki karakteristik konservatif tradisional dalam mengembangkan wakaf, karena para pemimpin, fuqaha, dan kaum muslim lebih tertarik dengan perlindungan/proteksi harta wakaf bukan dengan pendayagunaan (utilisasi) wakaf. Dapat dipahami kenapa aspek manajemen dan spirit kewirausahaan atas harta benda wakaf tidak dioptimalisasikan. Wakif menunjuk nazhir karena kepercayaan/amanah dan pengetahuan syariah, namun banyak nazhir memiliki motivasi rendah dan kapasitas terbatas. Sebagian juga ada yang menyalahgunakan harta wakaf.
Kedua, masih banyak umat muslim yang kurang memahami wakaf. Dalam praktiknya, sebagian besar wakaf dilakukan dengan cara tradisional. Muslim tidak mengikuti regulasi pemerintah dan penunjukan nazhir seringkali dilakukan diantara mereka (ikar wakaf atau kontrak wakaf) tanpa pernyataan di atas kertas. Karena itu, banyak konflik yang terjadi berkaitan dengan masalah administrasi wakaf dan kurang mematuhi regulasi pemerintah.
Ketiga, dua permasalahan di atas juga menyebabkan adanya konflik yang berkaitan dengan harta benda wakaf setelah nazhir meninggal dan anak-anak wakif meminta pengadilan untuk menarik harta wakaf. Masalah ini menjadi penting karena konflik tersebut sering menimbulkan hilangnya harta wakaf.
Keempat, masih menurut Muhammad Afdi Nizar, banyak tanah wakaf yang tidak terdaftar sebagai tanah wakaf atau memiliki sertifikat tanah wakaf. Ini terutama karena sebagian besar nazhir tidak memahami atau tidak menyadari tentang pentingnya status tanah. Selain itu, prosedur untuk mendapatkan status tanah sulit karena birokrasi yang rumit.
Kondisi ini, akan menyulitkan upaya pengembangan dan pembedayaan harta benda (tanah) wakaf menjadi harta wakaf yang produktif. Karena salah satu prasyarat yang harus dipenuhi untuk melaksanakan proyek wakaf produktif adalah sertifikat tanah wakaf dari Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Kelima, relatif masih terbatasnya dukungan pemerintah dalam bentuk anggaran guna memfasilitasi gerakan wakaf dan penyediaan layanan untuk administrasi wakaf. Kondisi ini berdampak pada rendahnya kesadaran tentang wakaf.
Berikutnya, masih minimnya kegiatan yang diarahkan untuk mengedukasi dan mensosialisasikan paradigma baru wakaf uang dalam masyarakat muslim; Pendirian dan sebaran lembaga wakaf (nazhir) di daerah-daerah belum memperhitungkan potensi wakaf di setiap daerah. Hal ini selain mempengaruhi jumlah harta wakaf yang berhasil dihimpun juga berpengaruh terhadap biaya operasional lembaga wakaf di masing-masing daerah. (smh)
0 Response
Posting Komentar