Menyelamatkan Harta Wakaf
Oleh: Syahrati, S.HI, M.Si
Pokjaluh Kabupaten Bireuen
Harta merupakan salah satu keberkahan dan karunia kepada manusia sebagai modal hidup dan beribadah kepada Allah. Harta, selain sebagai karunia, juga ujian bagi manusia, karena sejatinya setiap harta yang dimiliki akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akhirat. Ukuran kesuksesan di sisi Allah bukanlah pada besarnya harta yang manusia miliki, namun bagaimana manusia mampu memanfaatkan harta yang dimilikinya untuk tujuan akhirat. Sungguh beruntung dan bersyukur jika manusia memiliki harta yang banyak, sekaligus dengan harta tersebut memberi manfaat yang besar untuk kemaslahatan ummat.
Salah satu wujud pemanfaatan kebajikan harta adalah dengan mewakafkannya. Pemberian harta wakaf merupakan sumber dari bersihnya hati yang tidak dicampuri dengan keragu-keraguan, sebagai bukti adanya kebaikan dan kedermawanan yang dikeluarkan karena rasa cinta, tanpa adanya ganti sedikit pun. Ibadah wakaf termasuk ibadah yang memiliki keutamaan sangat besar dan nikmatnya kembali pada orang yang berwakaf (wakif) dan penerima manfaat wakaf (mauquf ‘alaihi).
Sumber harta wakaf merupakan salah satu sumber dana yang penting dan besar manfaatnya bagi kesejahteraan kehidupan agama dan ummat, diantaranya untuk pembinaan mental spiritual dan pembangunan fisik. Wakaf pada hakikatnya menyerahkan kepemilikan harta manusia menjadi milik Allah atas nama ummat. Sebagai salah satu harta agama, keberadaan wakaf wajib dipelihara sebagaimana harapan wakif menjadikan wakaf sebagai amal jariyah yang terus mengalirkan pahala baginya.
Perlindungan harta wakaf
Salah satu bentuk perlindungan harta wakaf adanya bukti autentik atas harta wakaf yang tertuang dalam Akta Ikrar Wakaf (AIW). AIW merupakan bukti pernyataan kehendak wakif untuk mewakafkan harta benda miliknya guna dikelola nazhir, sesuai dengan peruntukan harta benda wakaf yang dituangkan dalam bentuk akta.
Karena itu, keberadaan tanah wakaf memerlukan adanya suatu perhatian yang serius dalam pengelolaannya dan perlu segera dilakukan penanganan secara profesional, agar hasilnya lebih optimal. Akan tetapi, pada kenyataannya, banyak ditemui tanah wakaf yang tidak memiliki AIW, akibatnya tak jarang muncul berbagai persengkataan, karena tidak terdapat bukti tertulis ikrar wakaf atau harta benda wakaf tersebut tidak tersertifikasi.
Pada umumnya, perselisihan dan persengketaan wakaf terjadi setelah wakif meninggal, baik itu sengketa tentang status harta benda wakaf maupun peruntukan wakaf. Sengketa status harta benda wakaf dapat terjadi karena pengingkaran ahli waris wakif terhadap status wakaf tanah yang diwakafkan oleh wakif yang sudah meninggal dunia. Pada saat nazhir tidak dapat menunjukkan bukti, maka ahli waris wakif pada gilirannya mengambil alih wakaf menjadi aset pribadi.
Melestarikan harta wakaf
Dalam konteks ini, pemerintah telah berusaha mengamankan dan melestarikan harta wakaf, agar manfaat harta wakaf dapat dinikmati, baik oleh wakif, maupun umat sesuai dengan tujuan wakif. Pemerintah telah mengaturnya dalam pasal 47 ayat (3) Undang-Undang Pokok Agraria (UU No 5/1960).
Sebagai realisasinya, diterbitkannya PP No 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik yang disahkan presiden 17 Mei 1977. Kemudian, untuk melindungi harta agama ini telah dikeluarkan pula Instruksi Bersama Menteri Agama dan Kepala Badan Pertanahan Nasiaonal Nomor 4 tahun 1990/24 tahun 1990 tentang Persetifikatan Tanah Wakaf. Demikian pula disahkannya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf sebagai penyempurna peraturan yang ada.
Dengan berbagai regulasi ini, diharapkan harta agama dalam bentuk wakaf memiliki legalitas, terlindungi secara hukum, dan dikembangakan secara optimal oleh nazhir. Sekali lagi kita tegaskan, perlindungan dan pengembangan harta agama (wakaf) hanya dapat dilakukan oleh nazhir yang amanah, kredibel dan profesional.
Editor: smh
0 Response
Posting Komentar