Dibandingkan Wakaf Benda Tidak Bergerak, Wakaf Uang Lebih Produktif
Banda Aceh -- Wakaf uang lebih produktif dibandingkan dengan wakaf benda tidak bergerak, karena sesuai dengan perkembangan perekonomian saat ini dan tuntutan ke arah perubahan kultur dalam masyarakat modern. Dengan berwakaf uang nadzir juga bisa mengembangkan harta wakaf dengan baik dan dapat dirasakan manfaatnya oleh penerima manfaat wakaf (mauquf 'alaihi).
Sedangkan wakaf benda tidak bergerak yang dapat menerima manfaat dari benda wakaf hanya orang-orang yang berada di sekitar tempat harta wakaf berada, misalnya mewakafkan tanah untuk membangun masjid.
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh Prof Dr H Armiadi Musa MA menyampaikan hal tersebut dalam penyajian makalahnya dengan topik Wakaf Uang dalam Perspektif Ulama Mazhab. Makalah disampaikan dalam Seminar Wakaf Uang yang terselengara atas kerja sama Baitul Mal Aceh (BMA) dengan Dewan Dakwah (Dewan Dakwah) Kota Banda Aceh di Hotel Lading Banda Aceh, Sabtu lalu (20/7/2024).
Pemakalah lainnya Ketua BWI Perwakilan Aceh Dr Tgk HA Gani Isa SH MAg dan Dirut Bank Hikmah Wakilah Sugito SE ME. Kegiatan seminar ini dirangkai dengan pelantikan Pengurus Daerah Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia Kota Banda Aceh periode 2024-2029.
Menurut Armiadi, wakaf uang dengan wakaf benda tidak bergerak sebenarnya tidak terlalu banyak memiliki perbedaan. Perbedaan diantara keduannya hanya terletak pada benda wakaf (mauquf ). Dengan memperhatikan konsep dan strategi dalam wakaf uang dapat diketahui, bahwa wakaf uang sama seperti wakaf pada umumnya. Pelaksanaan wakaf uang di Indonesia sudah dapat dilaksanakan dengan dukungan fatwa MUI Nomor 2 tahun 2022 dan UU Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf.
“Dengan adanya penggantian barang wakaf menjadikan harta wakaf bersifat kekal dan tetap bendanya, sehingga kekhawatiran tentang hilangnya kekekalan harta benda bisa terhindarkan,” tegasnya.
Armiadi yang juga mantan Kepala BMA, mengatakan, para ulama hanafiah membolehkan wakaf benda-benda bergerak asalkan sudah menjadi kebiasaan (urf) dalam masyarakat. Misalnya wakaf mushaf al-Quran, buku, uang dan benda bergerak lainnya.
“Terkait dengan wakaf uang, ulama Hanafiah mensyaratkan penggantian dari benda yang diwakafkan, jika dikhawatirkan tidak tetapnya zat benda yang diwakafkan tersebut. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menggenti benda tersebut dengan benda tidak bergerak, sehingga manfaatnya tetap kekal,” ungkapnya.
Sementara itu, tambah Armiadi, ulama Malikiaah memperbolehkan wakaf uang, mengingat manfaat uang masih dalam cakupan hadits Nabi Muhammad Saw dan benda sejenis yang diwakafkan oleh para sahabat, seperti baju perang, binatang, dan harta lainnya. Hal tersebut mendapat pengakuan dari Rasulullah saw.
Secara qiyas, wakaf uang dianalogikan dengan baju perang dan binatang. Qiyas ini telah memenuhi syariat illah (sebab persamaan) terdapat dalam qiyas dan yang diqiyaskan (maqis dan maqis 'alaih). Sama-sama benda bergerak dan tidak kekal, yang mungkin rusak dalam waktu tertentu, bahkan wakaf uang jika dikelola secara profesional memungkinkan uang yang diwakafkan kekal selamanya.
Pada bagian lain paparannya, Armiadi menjelaskan pendapat mazhab syafi’i yang beranggapan uang tidak bisa diwakafkan, karena ketika uang sudah digunakan sebagai alat pembayaran maka nilai uang akan habis. Sedangkan makna wakaf adalah menahan harta pokoknya dan menyedekahkan maanfaatnya untuk kepantingan umum, manfaat wakaf harus terus-menerus.
“Dinar dan dirham tidak dapat disewakan karena menyewakan uang akan mengubah fungsi uang sebagai standar harga dan pemanfaatannya tidak tahan lama,” ujarnya, pengutip pendapat mazhab Syafii.
Imam Syafi’i berpendapat, harta benda wakaf harus kekal sesuai dengan hadits Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh al-Nasa’i, tentang wakaf Umar di Khaibar. Berdasarkan hadits tersebut, mazhab Syafi’i berpendapat, wakaf uang dalam bentuk dinar dan dirham tidak dibolehkan, karena dinar dan dirham akan lenyap dengan dibelanjakan dan sulit mengekalkan zatnya.
Namun, ulama dari mazhab Syafi’i yakni Abu Tsaur membolehkan wakaf uang dan ia juga meriwayatkan dari Syafi’i tentang bolehnya mewakafkan uang yang dalam hal ini adalah dinar dan dirham
Armiadi mengutip pendapat Ibnu Qudamah yang mengemukakan pada umumnya para fuqaha dan ahli ilmu dikangan Hanabilah tidak membolehkan wakaf uang, karena uang akan habis usai dibelanjakan dan wujudnya akan hilang. Selain itu, uang juga tidak dapat disewakan karena menyewakan uang akan mengubah fungsi uang sebagai standar harga.
“Sementara pendapat lainnya dari kalangan Hanabilah membolehkan wakaf dalam bentuk uang. Demikian juga Ibnu Qudamah dalam kitab al- Mughni, membolehkan wakaf dalam bentuk benda bergerak termasuk uang,” uangkapnya.
Dengan demikian dapat dipahami, wakaf uang itu hukumnya adalah boleh, sebab tujuan disyariatkan wakaf itu sendiri adalah menahan pokoknya dan menyebarkan manfaat darinya, dan wakaf uang yang dimaksud bukanlah zat uangnya tetapi nilainya, sehingga bisa diganti dengan uang lainnya selama nilainya sama.
“Bahkan, golongan Hanabilah membolehkan menjual benda-benda bergerak dan benda-benda tidak bergerak yang bisa ditukar dengan benda lain sebagai wakaf apabila ditemui sebab-sebab yang membolehkannya,” pungkasnya. (Sayed M. Husen)
0 Response
Posting Komentar